4.Hurt

95 10 2
                                    

[Eleanor]

   Sudah hampir 2 minggu, Nathan sedikit menjaga jaraknya denganku. Aku tidak mengatakan bahwa ia benar-benar menjauhiku, namun kenyataannya adalah aku mulai merasakan secara perlahan ia menjauhiku. Ia tetap menjemputku dan mengantarku, tapi ia tidak lagi mengecup keningku atau mungkin pipiku, tidak sama sekali. Ia juga tidak menggandeng tanganku atau bahkan melingkarkan tangannya di sekitaran leherku seperti biasanya.

   Aku tidak mempermasalahkan itu selama ia tetap makan siang bersama denganku dan juga Adriana. Adriana mulai mempertanyakan sikap Nathan yang berubah menjadi lebih dingin padaku, namun aku hanya mengatakan bahwa aku tidak tau dan tidak ingin memaksanya untuk bercerita. Aku tidak akan mengatakan pada Adriana ahwa ia mencintaiku.

   Aku dan Nathan selalu langsung pulang kerumahku saat kami pulang sekolah. Ia tidak lagi berkunjung ke rumahku hanya untuk bersantai dan berbincang-bincang. Ia selalu mengatakan bahwa ia lelah atau memiliki janji dengan teman-temannya yang lain. Entahlah, aku tidak akan memaksanya untuk kembali seperti dulu yang mungkin bisa jadi akan membuatnya semakin mencintaiku. Aku akan menjalani persahabatan kami seperti biasanya. Ia tidak akan berubah menjadi lebih buruk dari sekarang. Aku yakin itu.

   "Hei", sapaku pada Nathan yang sudah terlebih dulu berada di kelas seni. Tidak seperti biasanya, ia tidak menyusulku ke loker, namun seperti yang sudah ku katakan, ia menjadi lebih dingin dan aku tidak akan menyalahkannya jika ini adalah salah satu usahanya untuk berhenti mencintaiku selama ia akan kembali menjadi seperti sedia kala saat ia sudah berhasil menghapus rasa cintanya padaku.

   Ia tersenyum ke arahku setelah mematikan dan memasukkan ponselnya ke dalam kantung celananya. "Uh...Hei", jawabnya. Menatap mataku sejenak, kemudian ia membuang tatapannya. Dengan sigap aku mengambil duduk di sampingnya, menaruh semua perlengkapanku.

   "Nathan", sahutku menatap ke arahnya, ia memutar kepalanya dan menatap kedua mataku. Matanya tidak lagi bercahaya seperti sedia kala, matanya tidak lagi membuat jantungku berdegup kencang karena keindahannya, matanya kini menggambarkan rasa kecewa dan mungkin rasa tidak peduli dengan apa yang akan ku katakan.

   Berdeham, aku pun memberanikan diri untuk mencobanya lagi kali ini, "Apa...apa kau ingin menemani ku ke Picollo sepulang sekolah nanti? Sudah lama kita tidak kesa...-"

   Memotong ucapanku, ia menjawab, "Maaf, El, aku harus segera pulang, aku sangat lelah", ujarnya dengan singkat sebelum kembali menatap ke arah papan tulis. Kelas mulai sedikit ramai, beberapa siswa sudah membawa keperluan apa saja yang sudah Nyonya Rose sampaikan minggu lalu.

   "Apa yang kau lakukan semalam hingga kau sangat lelah?", tanyaku dengan nada penasaran. Ia selalu memberikan alasan itu jika aku mengajaknya keluar, setidaknya setelah kejadian malam itu. Aku selalu mengatakan bahwa aku yang akan menyetir mobilnya, namun ia tetap tidak mau dan langsung mengantarku pulang ke rumah setelah jam sekolah usai. Jangan tanyakan, selama di perjalanan kami sangat jarang berbicara, terkadang aku memberikan sebuah lelucon namun itu hanya bertahan sekitar 2 menit, tidak lebih.

   Nathan hanya terdiam. Ia kembali mengeluarkan ponselnya. Aku melihat terdapat sebuah pesan singkat yang baru saja ia terima. Ia kembali menatap ke arahku sebelum kembali memasukkan ponselnya ke kantung. "Kau berbohong", bisikku. Nathan menoleh ke arahku cepat dengan wajahnya yang terlihat bingung dan sedikit terkejut.

   "Apa yang kau katakan?", jawabnya. Kedua alis nya saling bertautan. Aku dapat membaca ke arah matanya serta gerak-geriknya bahwa ia sedang berbohong. Seketika dadaku terasa nyeri. "Kau berbohong. Kau tidak lelah karena kau tidak melakukan apapun semalam. Kau selalu mengatakan itu jika aku mengajakmu pergi atau berkunjung ke rumah, setidaknya setelah kejadian malam itu", jawabku sedikit berbisik. Ia memasang ekspresi yang lebih kaku, kedua rahangnya menegang.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang