32.Breakfast

46 5 3
                                    

[Eleanor]

   "Selamat pagi, sayang", terdengar suara paginya berbisik di telingaku, hangat dan menenangkan, membuatku semakin larut ke dalam tidurku yang sangat nyenyak. Aku merasakan tangannya mulai membelai punggungku, lembut, "Bangunlah", bisiknya.

   Sangat ingin rasanya aku menjawab ucapannya, memintanya agar menghentikan ini, agar aku dapat bangun dari tidurku, jika itu yang ia inginkan, namun aku tak bisa. Sentuhannya ibarat ganja bagiku, sangat memabukkan dan selalu meronta agar aku mendapatkannya lagi dan lagi.

   Perlahan aku membuka kedua mataku, mendapati senyuman paginya, sedikit terlihat malas namun tetap menggoda, mungkin lebih ke seringaian paginya, dengan rambut paginya yang sangat berantakan, tak lupa dengan tubuh bidangnya yang terpampang jelas, mengingat ia tak pernah mengenakan kausnya saat sedang tidur. Sungguh, aku tak pernah mengeluhkan itu karena ini adalah pemandangan yang sangat indah bagiku di saat aku membuka kedua mataku.

   Ia mengecup keningku, menarikku semakin dekat ke dalam dekapannya. Sial, ini sangat nyaman. Aku membawa satu tanganku ke sekitaran tubuhnya yang hangat, membelai punggungnya lembut. Sensasi kulitnya yang bersentuhan dengan kulitku selalu berhasil membuat bulu kudukku berdiri. "Pagi", bisikku perlahan, namun tetap memejamkan kedua mataku, menikmati setiap belaian lembutnya di kulitku.

   "Sayang, maafkan aku harus membangunkanmu, namun aku memiliki janji untuk makan pagi bersama dengan Aaron dan kekasihnya, tentu bersamamu juga", bisiknya lembut, namun diiringi dengan suara berat paginya. Perlahan aku membuka kedua mataku, membawa tatapanku ke arah kedua matanya yang terlihat hangat. Ia memberiku senyuman simpulnya sebelum mengecup keningku singkat.

   "Kau tidak mengatakannya padaku semalam", ujarku, namun sungguh ia tidak mengatakan apapun mengenai ini, dan lagi ini adalah hari terakhir ku berada di London, malam ini kami akan kembali ke New York dan merayakan natal disana bersama dengan keluarga kami masing-masing. "Ya, maafkan aku, aku lupa mengatakan itu", jawabnya singkat, terus membelai punggungku lembut.

   Menarik nafas dalam, aku berusaha mengumpulkan seluruh nyawaku. Ini akan sangat menyenangkan, aku sudah mengetahui Aaron sejak pertama kali ia memgangkat panggilanku untuk Nathan saat itu dan mengenalnya saat aku bertemu dengannya pertama kali disini. Selama aku berada disini, tak jarang ia berkunjung ke rumah Nathan atau menghabiskan waktu bersama kami di sebuah kafe. Ia sangat baik dan menyenangkan. Usianya tentu lebih tua 2 tahun dibandingkan kami, ia tidak berkuliah dan memutuskan untuk bekerja di perusahaan milik pamannya.

   Selama aku berada disini, ia mengatakan bahwa kekasihnya sedang berada di Manchester, menjenguk neneknya yang sedang sakit, dan ini akan menjadi hari yang sangat menyenangkan untuk bertemu dengannya. Kalau tidak salah, ia bernama Courtney. Aku tidak pernah melihat fotonya, namun yang ku yakini ia akan terlihat sangat cantik, mengingat Aaron sangatlah tampan, walau tentu Nathan tetaplah juaranya.

   "Baiklah, aku akan berganti pakaian", ujarku sebelum mengecup bibirnya singkat. Beranjak dari tempat tidur adalah hal yang paling menjengkelkan, karena dalam sekejap aku dapat merasakan dingin yang menyambar sekujur tubuhku dengan cepat, mengingat aku tak lagi mengenakan selimut. Udara London terasa semakin dingin di pagi hari, namun itu menyejukkan, beruntung aku membawa beberapa pakaian hangat untuk ku kenakan.

   Menggosok gigiku dengan cepat, tak lupa membasuh wajahku agar terlihat lebih segar, aku memutuskan untuk tidak mandi terlebih dahulu mengingat udara sangat dingin di luar. Setelahnya, aku segera mengganti pakaian tidurku dengan celana jeans berwarna biru terang dan sebuah sweater tebal berwarna abu-abu serta sedikit sentuhan berwarna putih.

   "Apa kau tidak masalah jika kita mengendarai sepeda motorku?", tanyanya sembari mengenakan sweater garis-garisnya. Menganggukkan kepalaku, tentu itu tak masalah mengingat Aubrey harus ke kantor hari ini dan tentu mengendarai mobilnya. "Baiklah, aku akan menunggu di bawah", ujarnya. Memgecup keningku singkat, kemudian ia segera keluar dari kamar.

Like We DidTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang