Chapter 1 - Hi, I'm Kaniss

33.5K 2.5K 75
                                    

"Boleh saya angkat piringnya?"

Aku tersenyum tipis ke arah pelayan restoran yang menghampiri sambil sedikit bergeser memberi ruang agar piring hidangan penutup yang sudah kosong ini bisa diangkat. Semenjak kepindahanku enam bulan yang lalu ke pulau dewata, restoran di daerah Ubud ini sudah menjadi langgananku hampir setiap sore. Hampir semua pelayan di sini pun sudah mengenaliku meski hanya satu atau dua orang yang sepertinya tau namaku. Tentu saja tidak susah untuk mengenali wanita muda yang hampir selalu datang sendirian dengan laptop atau buku novel dan selalu duduk di tempat yang sama, di balkon lantai atas. Dan apabila kursi-kursi di balkon itu sudah penuh, maka sudah dipastikan aku memutuskan untuk pulang. Aneh? Menurutku tidak. Aku selalu ngotot duduk di sini karena posisinya yang menghadap langsung ke hamparan bukit hijau yang memukau di belakang restoran ini. Sudah begitu, aku juga bisa merasakan hembusan angin sepoi-sepoi yang membuatku terhanyut dalam lamunan kalau sedang malas menulis, atau justru membuatku amat terinspirasi untuk menulis. Either way, aku merasa sangat nyaman duduk di sini. Terasa begitu dekat dengan alam.

Aku Kanissa Tsabita Farah, atau biasa dipanggil Kaniss. Usiaku menginjak dua puluh lima tahun, tahun ini. Pekerjaanku semenjak pindah ke Bali adalah freelance writer dan tugasku adalah menulis apapun yang mereka inginkan namun kebanyakan di bidang kesehatan. Bayarannya tidak banyak, hanya mencukupi hidup santaiku di sini tanpa bisa menyisihkan sebagian untuk tabungan masa depan. Tapi toh aku sudah berhenti memikirkan masa depan.

Hampir semua orang yang baru kukenal di Bali tidak mengetahui bahwa sebenarnya aku adalah seorang dokter. Mengejutkan memang, tapi aku sudah berhenti dari profesi itu. Aku tau aku terlalu dini mengakhiri karirku di bidang itu—aku belum lama menyelesaikan masa internshipku ketika aku memutuskan untuk tidak lagi menjadi seorang dokter sekitar setahun yang lalu. Bukan, aku bukan berhenti menjadi dokter karena merasa tidak cocok dengan dunia itu. Bukan juga karena jalur itu aku tempuh atas paksaan orang tua ketika masa kuliah dulu. Cita-citaku sejak kecil memang menjadi seorang dokter, dan tidak pernah berubah atau menambahkan alternatif lain. Lulus menjadi lulusan terbaik dan termuda dari fakultas kedokteran Universitas Indonesia tentu bukti kalau aku bersungguh-sungguh ingin menjadi dokter. Pengalaman setahun ditempatkan di desa terpencil di Flores sebagai intern juga bukan pengalaman yang menyiksa untukku, justru luar biasa. Lalu mengapa aku tidak lagi ingin menjadi seorang dokter? Kalau boleh, aku ingin menyalahkan takdir untuk itu. Untuk alasan yang sama yang membuatku pindah ke Bali, sendirian.

Sampai hampir setahun yang lalu, aku masih menjadi tunangan dari Aditama Prayoga, alias Tama, kekasihku semenjak aku masih duduk di bangku SMA kelas 1. Dia seniorku saat itu. Dan ketika aku kembali ke Jakarta setelah berhasil menyelesaikan internshipku, dia melamar dan aku langsung mengiyakan. Kalau saja semua masih berjalan sesuai rencana, aku dan Tama mungkin bersama-sama di sini menikmati liburan sebagai pasangan suami-istri—bukan honeymoon, karena aku dan dia berencana menikmati honeymoon kami di Turki, ingin menyaksikan sunrise spektakuler di atas balon udara di langit Kapadokya.

Aku masih ingat jelas kejadian itu, setiap detiknya. Kejadian yang tentu tidak akan aku lupakan seumur hidup. Kejadian itu terjadi sekitar dua bulan setelah acara lamaranku dan Tama berlangsung. Saat itu hari Sabtu, hari biasanya aku, yang belum lama bekerja di rumah sakit terbesar di Jakarta, berleha-leha santai. Sore itu aku dan Tama memutuskan untuk menikmati malam minggu kami dengan bersantai menonton DVD di rumah keluarga Tama—setiap weekend Tama menginap di rumah orang tuanya sementara hari lainnya dia tinggal di apartemen dekat dengan tempatnya bekerja sebagai electrical engineer. Aku ingat ponselku berdering saat aku sedang nyamannya bersantai bersama Tama di atas sofa. Telfon dari rumah sakit. Saat itu aku sudah bisa menebak apa yang rumah sakit inginkan. Meski dengan ogah-ogahan, aku cukup bertanggung jawab dan mengangkat telfon tersebut untuk mendapati kalau rumah sakit membutuhkan tenaga tambahan di IGD karena dokter yang seharusnya berjaga saat itu mendadak tidak masuk. Tepat seperti dugaanku.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang