Chapter 36 - The Real Reason

8.9K 1.3K 37
                                    

Minggu kedua setelah Emma Reinhard menanamkan ide di otakku untuk pulang ke Jakarta, aku masih maju mundur dengan keputusanku untuk pulang. Dan ketika akhirnya untuk pertama kalinya aku membicarakan hal ini dengan Fathir (aku tidak bercerita soal Emma, karena itu berarti aku harus bercerita soal Ezra menginap di rumah), dia justru bersemangat dan malah membuat rencana untuk terbang bersamaku ke Jakarta.

"Weekend ini gimana? Biar aku minta cuti sampai Rabu jadi bisa lima hari di sana."

Bibirku mengerucut berfikir. Boleh juga sih, jadi aku punya alasan untuk hanya lima hari di sana.

"Tapi kalo kamu masih mau lama di sana, ga papa. Aku pulang duluan," ujarnya dengan senyumnya yang ringan. Tidak, Fathir. Aku tidak mau berlama-lama di sana.

Tanpa bicara banyak lagi, aku mengiyakan sebelum aku mundur lagi dengan keputusanku. Fathir saking bersemangatnya, langsung memesan tiket untuk dua orang saat itu juga. Aku tidak diijinkannya membayar, padahal aku sudah memaksa. Ini membuatku merasa tidak enak, dan jadi sedikit menyesal dengan rencana pulang ke Jakarta. Tapi toh tiket sudah dibeli. Sebaiknya aku tidak berfikir berlebihan lagi.

Sore harinya, begitu Fathir sudah mengantarku pulang, aku baru ingat kalau hari ini Rizky berulangtahun.

"Ky, happy birthday!" seruku begitu Rizky mengangkat telfonnya.

Kudengar dia tertawa. "Ah! Lo masih inget!"

"Jelas, dong. Mana mungkin gue lupa." Aku tertawa pelan. Sepertinya pulang ke Jakarta memang keputusan yang tepat. Hanya mendengar suara yang sangat familiar dengan kota itu, rasanya aku ingin berada di sana saat ini juga.

"Gimana kehidupan berumah tangga?"

"Hehe..." Aku bisa membayangkan cengiran khas Rizky. "Rania hamil, Kan. Bentar lagi gue jadi bapak."

Mulutku menganga lebar. "Hah?!" pekikku kaget. "Selamat ya, Ky! Gue seneng banget dengernya!"

"Baru tiga bulan sih. Doain ya, Kan."

"Jelaslah, pasti gue doain," ujarku. "Mm, Ky, gue Sabtu ini ke Jakarta."

"Hah? Serius lo?" Rizky terdengar kaget. "Asik, deh! Perlu gue jemput?"

"Ga usah, Ky,"—aku diam sejenak menarik nafas—"gue berangkat bareng pacar gue." Sungguh, rasanya sangat amat aneh memberitahu Rizky soal ini. Semua orang yang kukenal di Jakarta, termasuk keluargaku, belum tau soal hubunganku dengan Fathir. Aku merasa sangat tidak enak. Tidak mau dianggap sudah melupakan Tama karena, jelas, aku tidak akan pernah lupa. Lagipula bersama Fathir justru banyak mengingatkanku dengan Tama, dan aku suka itu.

Rizky tidak langsung menjawab. Aku tegang menunggu responnya. Setelah berdiam diri agak lama, kudengar dia menghembuskan nafas panjang. "Kenalin sama gue, ya," ujarnya ringan, seolah ini berita biasa. Tapi aku tau, dia hanya berlagak santai untukku.

Aku tersenyum simpul. "Iya, Ky. Pasti."

"Kita musti makan malam bareng. Gue, Rania, lo, pacar lo, Bila sama pacarnya. Eh, lo belom tau ya? Bila udah punya pacar!"

"Serius?" Aku kaget, tapi sangat senang dengan berita ini. "Akhirnya..."

"Iya, akhirnya. Duh, seru deh nih rame-rame begini."

Aku menggigit bibir bawahku, ingin bertanya sesuatu. Kuharap tidak terdengar aneh. "Kalo Ezra? Ga lo ajak? Dia lagi di Jakarta kan sekarang?"

"Oh, lo belom denger?" tanya Rizky dengan nada suara yang tidak mengenakan.

"Denger apa, Ky?" tanyaku khawatir.

"Bokapnya Ezra meninggal." Reflek, aku menarik nafas tajam. Ayahnya Ezra meninggal? "Ezra udah balik ke New York dari minggu lalu."

Aku langsung terdiam. Dahiku mengernyit tipis. Ezra sudah kembali ke New York? "Sampai kapan, Ky?" tanyaku pelan, pikiranku mulai melayang kemana-mana.

"Wah. Ga tau sih gue. Doi langsung ngurusin perusahaan bokapnya. Ga yakin gue dia bakal balik. Kapan-kapan kali ya, kalo liburan."

Kapan-kapan? Kalo liburan? Maksudnya Ezra sudah pindah kembali ke New York?

"Emang kenapa, Kan?"

"Engga, ga papa," jawabku cepat. Aku masih belum bisa berfikir jernih. "Ya udah, thanks, Ky." Untuk apa aku berterima kasih? "Mm... happy birthday, ya."

Rizky berterima kasih lalu mengucapkan sesuatu yang hanya kuiyakan padahal tidak kudengar. Begitu kututup telfonnya, aku terduduk di atas kasur. Masih termenung.

Orang itu... pergi begitu saja tanpa mengabariku, sama sekali? Maksudku, entahlah... say something, text me at least. Memang dia tidak wajib memberiku kabar tapi kan... kaosnya masih di aku. Iya, kaosnya!

Hhh... apa yang kupikirkan? Apa pentingnya kaos polos yang kurasa Ezra punya selusin dengan warna yang sama? Dan juga jasnya, yang aku yakin dia juga lupa. 

Tapi kupikir, aku dan dia... kita sudah... berteman baik. Iya. Kupikir kami berteman baik. Tentu kamu pasti akan mengabari teman baikmu kalau berencana pindah keluar negri kan? Atau setidaknya mengabari kalau ayahmu meninggal dunia. Dia bisa-bisanya tengah malam datang ke rumahku karena sedang dalam masalah dan butuh teman, tapi sama sekali tidak mengabariku soal berita sebesar ini. Bahkan tidak sekalipun menghubungiku semenjak kepulangannya ke Jakarta. Sempat sekali, sehari setelah kedatangan Emma Reinhard ke rumah, aku mengirim SMS singkat ke Ezra, mengatakan kalau kaosku sudah sampai. Dan dia membalas sekali dengan lebih singkat lagi. Hanya dua huruf, O dan K. Mengesalkan bukan?

"Hhhh..." Kuhempaskan diri tiduran di kasur, menatap langit-langit kamar. Mendengar berita ini membuatku tidak lagi menanti hari Sabtu."Sial," umpatku pelan, kesal dengan diriku sendiri.

Tak bisa kupungkiri, aku menyesal tidak pulang ke Jakarta lebih awal. Dan ini membuatku akhirnya mengakui, setidaknya pada diriku sendiri, apa yang sebenarnya menjadi tujuan utamaku ke sana.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang