Chapter 24 - Gala Dinner

9.9K 1.4K 15
                                    

"Kan, Sabtu ini ada gala dinner pimpinan-pimpinan hotel di Bali, lo dateng ya. Entar lo tulis artikelnya buat issue bulan depan," ujar Dewi ketika aku turun dari kamar. Dia tengah bersantai di ruang TV. "Lo ajak aja Fathir. Gue kasih lo dua invitation. Acaranya di Bhagawan."

Sudah hampir tiga minggu berlalu sejak diving disaster itu terjadi. Dewi sudah terlihat biasa-biasa saja bahkan keesokan harinya setelah kejadian malang itu. Dia tidak terlihat trauma atau apapun, dan kami memang tidak pernah membicarakan hal itu lagi.

"Oke," jawabku ringan menuruti permintaan bos /housemate-ku ini.

---

Kupikir mendapat kesempatan datang ke acara besar di Taman Bhagawan sounds good. Tapi rupanya Fathir sedang ditugaskan ke Jakarta sejak dua hari yang lalu dan baru pulang hari Selasa. Sedangkan Dewi memang dari awal sudah bilang tidak bisa datang karena ada acara keluarga, makanya dia menyuruhku mengajak Fathir. Dewi bukan tipe orang yang bisa menolak undangan acara seelit ini kalau bukan karena hal penting.

Karena aku satu-satunya penulis majalah Dewi yang menganggur hari ini, dan juga karena bonusnya yang cukup lumayan, jadilah aku di sini, di Taman Bhagawan, sendirian dengan mengenakan long strapless satin dress polos berwarna merah gelap milik Dewi. Dewi melarangku mengenakan pakaian formalku karena menurutnya terlalu office-look dan dia tidak mau representatif majalahnya under-dressed

Tapi sungguh, tidak pernah kusangka aku akan datang ke acara formal sendirian, dan diharuskan mewawancarai orang-orang yang tidak kukenal. Mungkin seharusnya aku menolak permintaan Dewi. Tapi aku tidak enak. Semenjak kejadian Dewi hampir celaka waktu itu, aku reflek mengiyakan apapun yang dia minta. Ya sudahlah, aku hanya perlu mengumpulkan informasi secukupnya dan mengikuti acara sampai selesai. Tidak susah dan aku yakin tidak akan lama.

Dua puluh menit pertama aku masih berdiri kaku menenggak welcome drink-ku sementara rekan reporter dari majalah lain sudah mulai berbincang-bincang dengan tamu yang datang setelah berfoto di booth dekat pintu masuk. Selama ini aku hanya diminta menulis review restoran atau hotel atau soal kesehatan yang meminimalisir interaksi dengan orang lain. Baru kali ini aku harus menulis artikel tentang acara yang tentu saja aku harus mewawancarai beberapa tamu pentingnya. Ada dua reporter majalah mencoba mengajakku bicara, mungkin prihatin melihatku planga-plongo sendirian. Tapi sepertinya aku benar sudah kehilangan kemampuan bersosialisasi. Aku hanya menjawab pertanyaan mereka seadanya sampai mereka sendiri terlihat lelah karena akhirnya mereka hanya berdiri di sampingku berbicara dengan satu sama lain seolah aku tidak ada.

"Itu dari hotel mana? Aku ga pernah lihat, nok."

Pembicaraan dua reporter di sampingku ini terdengar.

"Aku juga sing pernah lihat. Masih muda, bagus sajan," jawab reporter yang satu lagi dengan aksen Balinya yang kental.

Aku pun akhirnya ikut menoleh ke photo booth. Aku tau mereka pasti membicarakan tamu yang baru datang.

Melihat siapa yang datang, sudah lama aku tidak merasa selega ini. Dan yang lebih ajaibnya lagi, tidak pernah kusangka aku bisa merasa sebersyukur ini melihat orang itu. Ezra.

Seperti melihat oasis di padang gurun, aku buru-buru menghampiri Ezra sebelum dua orang reporter di sampingku bergerak hendak mewawancarainya. Walaupun begitu, aku keduluan satu reporter entah dari majalah mana yang sudah mengajak ngobrol Ezra. Aku melambaikan tanganku memberi kode, dan Ezra sama terkejutnya begitu matanya menangkap sosokku.

"Ngapain lo di sini?" tanyanya langsung, tanpa mempedulikan reporter di depannya yang baru saja memberi pertanyaan tambahan. Reporter itu ikut menoleh ke arahku, terlihat kesal. Entah kesal denganku atau dengan Ezra.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang