Sesampainya di rumah, aku langsung menyeruak berlari ke kamar. Aku sempat berpapasan dengan bunda yang bingung dengan sikapku, tapi aku abaikan. Sedetik saja terlambat, tangisku bisa pecah di ruang keluarga. Saat ini aku hanya mau sendiri, di kamarku.
Begitu menutup pintu kamar dan menguncinya, aku terjerembab terduduk bersandar pada daun pintu karena aku tidak lagi punya tenaga untuk mencapai kasur. Semua memori tentang aku, Tama, kak Bila, dan Rizky, yang berarti hampir seluruh delapan tahun hidupku, berebut untuk melintas di benakku. Kenapa mereka bisa melakukan ini padaku?
Aku berusaha keras untuk mengingat apa yang sudah kulakukan sampai mereka tega-teganya mengkhianatiku seperti itu. Aku mempercayai Tama lebih dari apapun. Aku mencintainya lebih dari hidupku sendiri. Kenapa ini terjadi padaku? Aku tidak sanggup menerima ini semua. Kupikir tidak ada yang lebih buruk dari kepergian Tama. Dan sekarang aku dikhianati tiga orang yang paling kupercaya sekaligus. Ini terlalu menyakitkan sampai di titik aku tidak tau apa aku akan pernah bisa bangkit dari ini.
"Sayang, kamu ga papa?" kudengar suara bunda dari balik pintu. Beliau mengetuk pintuku khawatir.
Aku memang tidak sedang menangis, tapi suaraku sulit keluar. Aku berusaha menelan ludah, tapi rasanya seperti menelan bola berduri.
Bunda mengetuk sekali lagi. "Kaniss, buka pintunya, sayang."
"Aku ga papa, Bun." Aku berhasil mengeluarkan suara, walaupun sangat parau dan sangat bertolak belakang dengan apa yang kuucapkan.
"Kanissa, buka pintunya," ucap bunda ulang. Kali ini lebih tegas.
Aku tidak bisa langsung menjawab, karena memang kesulitan bersuara.
"Kanissa, jawab Bunda, nak." Aku bisa dengar bunda sudah terisak. Aku hampir tidak pernah mendengar bunda menangis. Bahkan di masa-masa depresiku ditinggal Tama, bunda selalu memasang tampang segar, agar bisa menguatiku.
Mendengar bunda menangis, hatiku semakin terasa perih, itu pun kalau masih ada yang tersisa dari hatiku yang sudah habis dihancurkan. Aku menggelengkan kepala. "Aku mau sendiri dulu, Bun. Please."
Aku merasa sangat berdosa sudah membuat bunda ikut menangis, tapi aku benar-benar butuh sendiri. Beruntung, bunda mengerti. Setelah beberapa saat aku mendengar isak tangisnya, aku bisa dengar suara bunda melangkah menjauh. Aku berharap aku juga bisa menangis, karena mungkin itu akan membuatku merasa lebih baik. Tapi tubuhku sendiri menolak untuk merasa lebih baik, aku tidak menangis. Aku tidak bisa mengeluarkan air mata. Aku hanya mematung duduk memeluk kedua lututku. Pandanganku kosong, begitu juga dengan otakku. Yang bisa kurasakan sekarang hanya sakit fisik di dadaku.
Entah berapa lama setelah itu, bunda kembali mengetuk mengajakku makan malam. Suara bunda tidak lagi terisak. Aku menolak dan berkata aku tidak lapar. Aku terus berada dalam posisi ini dan tidak sadar kalau matahari sudah tenggelam. Tak lama setelah itu, pintuku kembali diketuk.
"Sayang."
Untuk pertama kalinya semenjak aku terduduk di sini, aku mengadah. Itu suara Fathir yang ada di balik pintu. Apa yang dia lakukan di sini? Bukannya dia ada di Bali?
"Ini aku, Fathir."
Iya, tentu aku tau.
"Buka pintunya, ya," pintanya lembut.
Aku menelan ludah yang terasa sangat sakit di tenggorokan. Fathir sampai datang ke sini? Aku tau aku kacau sekarang, tapi aku tidak ingin sampai terlalu mengkhawatirkan orang lain.
"Aku mau sendiri dulu, Fat. Please." Aku tau ini cukup kejam untuk Fathir yang sampai datang dari Bali, tapi aku benar-benar tidak ingin bertemu dengan siapa pun.
Fathir tidak langsung menjawab. Mungkin dia kecewa dengan perkataanku. "Cuma aku, kok yang masuk, ya?"
Apalagi kamu.
Selain dua orang itu—aku bahkan sudah enggan menyebut nama mereka, Fathir adalah orang ketiga yang paling tidak ingin kutemui saat ini. Kejam memang, tapi terlambat. Aku akui sekarang, kalau aku sudah terlalu dalam menganggap Fathir sebagai Tama. Dia terlalu mengingatkanku pada Tama. Dan untuk pertama kalinya, alasan itu yang membuatku enggan bertemu dengannya.
"Aku bakal baik-baik aja besok," ucapku, berbohong. "Sekarang aku cuma butuh sendiri."
Tidak ada balasan, tapi aku yakin Fathir masih berdiri di sana.
"Yaudah. Tapi kamu makan, ya."
Apa mereka tidak mengerti kalau hal terakhir yang kubutuhkan sekarang adalah makanan? Aku tidak lapar.
"Iya, nanti," jawabku singkat dan dingin.
Aku cukup bersyukur Fathir tidak memaksa apapun lagi. Aku hanya mendengar suara langkah kakinya menjauh, dan aku pun perlahan menjatuhkan diri rebahan di lantai, masih dengan memeluk kedua lutut. Untuk pertama kalinya ada air mata yang menetes, walaupun tanpa suara dan hanya setetes. Kenapa hal ini bisa terjadi? Aku rela melakukan apapun, memberikan apapun yang kupunya, untuk lima menit bertemu dengan Tama. Aku butuh penjelasannya. Hanya penjelasan darinya yang bisa kudengar. Hanya penjelasan darinya yang kubutuhkan.
Lagi-lagi aku tidak sadar sudah berapa lama aku tiduran di lantai. Bunda dan ayah sempat mengetuk pintu memaksaku untuk makan, tapi aku tetap enggan membukanya. Sampai akhirnya mereka meletakan makananku di depan pintu berharap aku akan keluar kalau tidak ada siapa-siapa di sana. Tapi aku tetap dalam posisiku, karena aku tidak lapar.
Tok!
Suara apa itu? Aku mengernyit karena masih ragu apa benar barusan aku mendengar suara ketukan dari arah jendela.
Tok!
Tidak, aku tidak salah. Ada suara seperti sesuatu dilemparkan ke jendela kamarku.
Akhirnya aku terpaksa bangkit. Berjam-jam tiduran di lantai membuat tubuhku terasa kaku, tapi tidak sakit. Sepertinya tubuhku sudah mati rasa.
Aku berjalan mendekati jendela kamarku. Posisi kamarku memang agak unik. Kamarku bukan di lantai dua, tapi lebih tinggi dari lantai satu. Dan jendelaku menghadap langsung ke taman belakang, satu-satunya kamar di rumah ini yang menghadap ke arah itu.
Dan ketika aku membuka tirai jendelaku, aku sangat terkejut melihat Ezra berdiri di antara semak-semak dekat jendela. Dengan wajah tidak sabar, dia memintaku membuka jendela ini tanpa suara. Aku menatapnya dengan dahi mengernyit heran sambil membuka kaca jendela. Mulutku masih menganga tipis ketika Ezra berhasil memanjat dan masuk ke dalam kamarku. Aku masih terdiam menatapnya ketika dia sibuk membersihkan celana dan kaosnya dari daun-daun yang menempel. Dan ketika dia mengadah menatapku, dia ikut mengernyit. Tapi bukan mengernyit heran, dia mengernyit jijik.
"You look awful," ledeknya sambil mendengus tertawa pelan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...