Aku tengah tidur lelap ketika suara ponselku berdering kencang. Duh, sepertinya mulai sekarang aku harus membiasakan diri untuk mematikan ponsel sebelum tidur, atau at least put it on silent mode.
Masih dengan mata terpejam, aku meraba-raba meja samping kasurku mencari ponsel yang suaranya semakin mengganggu. Siapa juga yang menelfon malam-malam begini? Biarpun aku belum tau ini jam berapa, tapi yang pasti sudah lewat tengah malam.
"Halo," sapaku malas-malasan begitu meraih ponselku, tidak sempat memperhatikan nomer siapa yang tercantum di layar.
"Did I wake you up?"
Oh, shit.
Reflek aku langsung bangkit terduduk. Mataku membelalak kaget dan ngantukku otomatis hilang tanpa tersisa sedikitpun. Aku melihat nama yang tercantum di layar biarpun aku sudah mengenali suaranya.
Benar saja, Ezra.
Ngapain dia nelfon jam segini? "E-engga..." jawabku dengan sebelumnya berdehem sepelan mungkin sambil menjauhkan ponsel dari telinga. "Kenapa, Ez?" tanyaku berlagak santai.
"No, it's just..." Ezra diam, cukup lama. Aku bisa mendengar dia menarik nafas panjang, suaranya agak bergetar. Aku mengernyit. Something's not right.
"Ez?" panggilku karena Ezra belum juga menyelesaikan kalimatnya.
"I'm in your parking lot."
"Whaa—" aku hampir tersedak, "—lo di sini? Like, right now?"
Tidak ada jawaban. Yang kudengar hanya suara nafas Ezra. Ini aneh, tapi perasaanku tidak enak. Ini agak mengkhawatirkan.
"Yaudah, lo tunggu gue di sana," ujarku akhirnya tidak menunggu balasan dari Ezra. Aku mematikan telfonnya lalu terdiam, berfikir.
Ezra di sini? Jam segini?
Aku mengecek jam di ponselku. Sudah lewat dari jam satu malam. Ngapain dia ke sini? Aku memeriksa calling logs di ponselku, memastikan kalau memang barusan Ezra menelfonku dan kemudian merasa bodoh karena sempat-sempatnya berfikir kalau bisa saja aku mengigau.
Sadar Ezra sedang menunggu di luar, aku buru-buru bangkit menuju kamar mandi, mencuci muka dan sikat gigi. Untuk apa, aku juga tidak tau. Tubuhku bergerak cepat dan otomatis tanpa sempat aku pikirkan terlebih dahulu. Aku buru-buru turun sambil mengikat rambutku membentuk ekor kuda dengan asal. Dengan hati-hati aku membuka pintu depan, tidak ingin sampai Dewi terbangun. Tapi sepertinya aku aman, she's a deep sleeper. Dengan asal aku memakai sendal jepit yang tersedia, kebetulan size kakiku sama dengan Dewi.
Jam segini lobi hanya dijaga dua hotelier, mas Bama dan mas Indra, dan satu satpam, pak Kasim. Aku tersenyum kikuk ke arah mereka bertiga yang sedang duduk bersama bermain domino. Suasana sudah sangat sepi. Tentu saja, ini sudah lewat tengah malam.
Mereka bertiga tersenyum balik, tanpa menanyakan apa yang hendak kulakukan jam segini. Ini yang kusuka dari pekerja-pekerja di guest house milik orang tua Dewi ini. Mereka semua saling menjaga privasi tanpa tertarik ikut campur.
Keluar dari lobi, aku bisa menemukan mobil Ezra terparkir di paling ujung, padahal yang dekat dengan pintu juga kosong. Hanya berbalut celana pendek dan t-shirt polos—buat apa aku berganti baju terlebih dahulu, benar?—aku ragu-ragu berjalan mendekat. Udaranya cukup dingin, membuatku menyesal tidak mengenakan jaket. Mobilnya masih menyala dan bisa kulihat Ezra di dalamnya duduk menatap setir walaupun tidak begitu jelas karena kaca filmnya yang cukup tebal.
Aku sudah berdiri di samping pintu pengemudi sambil memeluk tubuhku sendiri, kedinginan, tapi Ezra masih diam menatap setirnya. Aku menyipitkan mataku berusaha melihat lebih jelas—seriously, apa kaca film setebal ini diperbolehkan? Ezra masih belum sadar juga dengan keberadaanku. Walaupun tidak begitu jelas, entah kenapa aku bisa merasakannya, he doesn't look good.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...