Chapter 38 - How Are You?

8.7K 1.4K 12
                                    

"Happy birthday!"

Semua orang mulai mengerubungiku, mulai dari bunda, ayah, dan yang lainnya. Aku merespon dengan tersenyum padahal aku tidak benar-benar menangkap apa yang mereka ucapkan. Aku senang mereka datang. Sangat senang. Hanya saja otakku seketika tidak bekerja dengan baik. Pikiranku kemana-mana. Aku menoleh ke Fathir yang masih berdiri tak jauh di sampingku. Dia terlihat sangat bahagia karena kejutannya berhasil. Melihat senyum bahagianya, aku merasa bersalah. Kenapa orang itu bisa di sini?

Aku cipika-cipiki sana-sini. Rupanya orang tua Fathir juga datang. Kenapa mereka rela-rela datang? Apa pentingnya ulang tahunku? Tidak ada orang asing juga di sini, yang berarti Fathir sudah mem-booking seluruh isi restoran, atau paling tidak seluruh lantai dua. Usaha Fathir memang luar biasa, dan dia lakukan semuanya untukku.

"Happy birthday, Kan," ujar Rizky menghampiriku, setelah kak Bila memelukku.

"Hai... thank you, Ky," jawabku sambil tersenyum. Aku melirik ke belakang Rizky, tapi yang kucari tidak ada. Berusaha membuyarkan lamunanku, aku menoleh ke Rania yang berdiri di samping Rizky. Perutnya sudah membesar. "Wah, udah tau jenis kelaminnya belum?" tanyaku basa-basi.

Rizky yang menyengir bersemangat. "Kemungkinan sih Rizky junior, Kan," jawabnya sementara Rania hanya tersenyum.

Kami berempat (aku, Rizky, Rania, dan kak Bila) saling bertukar cerita melepas rasa kangen. Aku tidak bicara banyak karena memang tidak banyak yang bisa kuceritakan. Kak Bila berkali-kali menyebutkan betapa beruntungnya aku bisa mendapatkan Fathir. Fathir yang mengurus acara ini sepenuhnya. Menghubungi temanku satu persatu walaupun dia belum kenal. Bahkan untuk orang tuaku dan mas Adam, Fathir sendiri yang mengurus tiket pesawatnya.

Aku melirik ke arah Fathir yang sedang berbincang-bincang dengan orang tuanya. Memang benar kata kak Bila, aku sangat beruntung dan sudah seharusnya aku bersyukur memiliki seseorang seperti Fathir. Tidak seharusnya aku memikirkan hal lain yang tidak jelas.

Namun sebagaimanapun aku berusaha meyakinkan diriku sendiri, aku tetap diam-diam mencari sosoknya. Di saat semua orang sudah menghampiriku dan mengucapkan selamat, dia malah menghilang. Menyapaku pun tidak.

"Doi lagi ngerokok di bawah," bisik Dewi tiba-tiba sudah berdiri di sampingku. Aku bahkan tidak sadar kehadirannya.

Aku cepat menoleh ke arah Dewi. Dia hanya mengangkat kedua alisnya dengan wajah datar. Kurasa wajahku memerah, malu kepergok mencari keberadaan orang itu. Aku harap hanya Dewi yang sadar. Dan tampaknya demikian, karena kak Bila dan yang lainnya masih santai berbincang-bincang di depanku.

"Lo penasaran sama kabarnya, kan?" tanya Dewi lagi. "Gue juga, tapi belom sempet ngobrol tadi."

Iya, Dewi benar. Aku penasaran dengan kabarnya. Hanya itu. Dewi memang temanku yang paling pengertian. Aku meyakinkan diriku sendiri kalau itu kenyataannya walaupun rasanya ada yang janggal.

"Bilang gue ke toilet ya, Wi," pintaku pelan, tidak mau yang lain mendengar. Dewi mengangguk mengiyakan. Dengan tidak ingin menarik perhatian, aku diam-diam keluar dari kerumunan dan turun ke bawah.

Untungnya toilet di restoran ini berada di lantai satu, jadi aku bisa sekalian menyelinap ke halaman samping yang penuh dengan patung dan ornamen Bali. Sebenarnya di dalam pun boleh merokok, tapi aku sudah sekilas memeriksa lantai satu dan dia tidak di sana. Jadi kupikir dia pasti di halaman samping.

Pelan-pelan aku memasuki area halaman. Karena dari baranda atas halaman ini bisa terlihat, aku tidak berani jauh-jauh dari area yang masih luput dari lantai dua, dekat dengan tiang-tiang lantai satu.

"Looking for me?"

Aku terlonjak saking kagetnya. Dengan sebelah tangan mengelus dada, aku berbalik ke arah asal suara di belakangku. Ezra sedang berdiri santai dengan punggung bersandar di dinding batu yang penuh ornamen dan sebelah jari tangan menjepit sebatang rokok. Dia tertawa melihat reaksiku.

Dan aku, melihatnya tertawa, reflek tersenyum. Walaupun aku sebelumnya masih kesal karena dia tiba-tiba pergi begitu saja tanpa pamitan dan sekalipun tidak memberi kabar, sekarang aku seketika merasa hal itu sudah tidak penting lagi. Kesalku menguap begitu saja. Aku hanya merasa lega melihatnya di sini, baik-baik saja.

"Lo apa kabar?" tanyaku setelah dia berhenti tertawa.

Dia mengangkat kedua bahunya singkat dengan kedua ujung bibir ditekuk ke bawah. "Good, as always," jawabnya. "Lo?" tanyanya balik sambil menatap mataku.

Aku menjawab dengan sebelumnya sempat diam beberapa detik, "baik." Dia manggut-manggut mendengar jawabanku.

Sama-sama diam, aku kemudian kembali bersuara. "Kok lo bisa di sini?" tanyaku sebisa mungkin terdengar santai.

"Kebetulan gue lagi di Jakarta. Rizky yang ngajak gue. Emang gue berencana ke Bali to check on the hotel while I'm in Indonesia. So I thought, why not?" tutur Ezra menjawab sambil terkekeh ringan.

Aku hanya manggut-manggut. Jadi dia benar baik-baik saja? Selama ini aku menghabiskan waktuku khawatir untuk sesuatu yang tidak nyata. Kesalku hampir saja kembali kalau aku tidak ingat bahwa ayahnya Ezra meninggal. Sebenci apapun kamu dengan keluargamu, tetap saja, pasti tidak akan mudah kalau mendadak ditinggalkan.

"Sorry, soal bokap lo," ujarku agak canggung. "Gue turut berduka cita."

"Thanks. But don't worry, I'm fine," jawabnya ringan.

Don't worry, I'm fine? Kenapa tidak dia katakan itu tiga bulan yang lalu? Apa sulitnya menghubungiku satu menit saja, mengabari hal ini? Ingin rasanya aku melemparkan pertanyaan ini dan serentetan pertanyaan-pertanyaan lainnya yang ada di benakku ke depan wajahnya.

Tapi tidak kulakukan. Yang dia lakukan itu tidak salah. Aku sama sekali tidak berhak menerima kabar apapun darinya kalau memang dia enggan memberitahuku. Kami berteman baik saja baru-baru, dan sebelumnya aku sama sekali tidak menyukainya. Rizky yang sepupunya saja tidak tau-menahu soal kabarnya selama tiga bulan ini, apa pentingnya aku untuk tau? Aku sadar itu, tapi tetap saja selama tiga bulan ini aku kepikiran. Aku mungkin sebelumnya memang terus mengelak, tapi sekarang kuakui, aku khawatir padanya. Sangat khawatir. Dan rupanya, dia baik-baik saja. Selalu baik-baik saja.

"Hey."

Kudengar Ezra memanggil, membuyarkan lamunanku. Aku mengangkat kedua alisku reflek, lalu memaksakan untuk menarik senyuman. Tidak pernah seumur hidupku aku merasa sebodoh ini. Tidak, bukan karena melamun, tapi karena merasa khawatir.

"Mending lo naik. Nanti mereka curiga lo ga bener-bener ke toilet," ujarnya sambil menggerakan dagunya singkat ke arah tangga.

"Oh." Bagaimana dia tau aku berpura-pura ke toilet? "Oke," jawabku masih agak termenung. Aku berbalik hendak berjalan menuju tangga.

"Hey," panggil Ezra lagi. Aku menoleh. "Happy birthday," ujarnya lembut. Sangat lembut. Terlalu lembut. Dan tatapan itu... bukan tatapannya yang menggoda, atau menghipnotis. Tapi tatapan yang teduh. Tatapan yang tulus.

Takut tenggelam terlalu dalam, aku buru-buru mengangguk dan beranjak naik. Jantungku berdegup tidak karuan. Apa yang barusan terjadi? Ezra bahkan berdiri dua meter jauh dariku. Tidak dekat, tidak sama sekali seperti berniat menciumku. Tapi kenapa jantungku seperti ini?

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang