Chapter 47 - I Give Up

10.5K 1.3K 2
                                    

Aku terbangun ketika sadar kalau aku masih berada di pelukan Ezra. Matahari sudah menyeruak masuk dari jendela, dan tidurku terasa sangat nyenyak. Tapi sekarang, melihat Ezra masih memelukku dengan mata terpejam, jantungku langsung berpacu cepat.

Aku semalaman tidur bersama Ezra?

Bisa kurasakan pipiku memanas. Mendengar Ezra mendengkur pelan, aku menggigit bibir bawahku sembari perlahan melepaskan diri dari bawah tubuh Ezra, berusaha agar tidak membangunkannya karena tidurnya terlihat sangat lelap.

Ketika sudah terduduk di pinggir kasurku, aku menenggelamkan wajahku ke kedua tanganku di atas lutut, berusaha menelaah apa yang sudah terjadi. Aku sendiri tidak tau apa yang aku rasakan saat ini. Terlau membingungkan. Tapi yang pasti, aku tidak merasa menyesal, atau apapun sejenis itu. Tidak ada perasaan yang negatif. Justru sebaliknya, aku merasa tenang. Sangat tenang.

Aku menoleh melewati bahuku, memperhatikan wajah Ezra yang masih terlelap. Aku memperhatikan setiap inci wajahnya. Alisnya yang tebal, hidungnya yang mancung, rahangnya yang tajam, rambut ikal keemasannya yang berkilau di bawah cahaya. Walaupun biasanya wajahnya terlihat serius karena sering kali mengerutkan dahi, dia terlihat seperti anak kecil ketika tertidur. Aku selalu tau kalau Ezra memang tampan, tapi tidak kusangka aku bisa menganggapnya menggemaskan. Sangat menggemaskan sampai-sampai aku ingin kembali tidur di sampingnya dan memeluknya erat.

Tapi aku tau, aku tidak bisa melakukan itu.

"Giving me the eye much?" ucap Ezra tiba-tiba, tanpa membuka matanya. Aku buru-buru mengalihkan pandanganku dari wajahnya, dan ketika aku melirik ke arahnya lagi, dia sudah membuka sebelah matanya. "Good morning," sapanya dengan suara bangun tidurnya yang jauh lebih parau dari suaranya yang biasa, yang harus kuakui terdengar seksi di telingaku. Sepertinya ada yang salah dengan otakku pagi ini.

Aku tidak menjawab sapaannya. Tidak seperti Ezra, aku sangat kikuk dengan keadaan ini. Pria itu malah masih dengan santainya menggeliat di atas kasurku.

"What time is it?"

Aku melirik ke arah pergelangan tanganku, di mana seharusnya jam tanganku berada karena aku ingat aku belum melepaskan benda itu. Tapi pergelangan tanganku kosong, dan kulihat jam tanganku tergeletak di atas meja kecil di samping kasurku. Apa Ezra semalam melepaskan jam tanganku?

"Jam delapan kurang lima menit," jawabku setelah melihat ke arah jam dinding.

Ezra mengucek-ucek matanya sembari berusaha bangun, walaupun terlihat kesulitan. Dan ketika dia berhasil menyandarkan tubuhnya pada kedua sikunya, dia menatapku sambil tersenyum. "How was your sleep?"

Aku hanya mengangkat kedua alisku menjawab. Aku tidak ingin mengakui terang-terangan kalau tidurku semalam sangat nyenyak. Aku bahkan sempat terlupa tadi malam aku mengalami breakdown dan masalahku sebenarnya belum selesai. Bukankah kemarin aku yakin kalau aku tidak akan pernah merasa lebih baik? Setidaknya tidak dalam waktu dekat. Dan sekarang aku terbangun dalam keadaan tenang, seolah yang terjadi kemarin itu sudah sangat lama kualami. Walaupun setiap bayangan tentang Tama dan kak Bila terlintas, jantungku serasa ditohok, aku merasa seharusnya aku lebih terpuruk dari ini. Ini aneh. Ini asing.

"I think I better get going."

Aku tidak sadar Ezra sudah duduk di sampingku. Dia terlihat masih sangat mengantuk tapi memaksakan diri untuk bangun. Aku berusaha menahan diri untuk tidak menawarinya untuk tidur lebih lama di kasurku. Sebesar apapun keinginanku untuk menahannya di sini, itu bukan ide yang bagus. Ayah dan bunda bisa terkena serangan jantung kalau tau Ezra berada di kasurku semalaman.

Ezra berada di kasurku semalaman. Aku masih tidak percaya. Technically, kami tidur bersama.

Pipiku memanas. Kuharap wajahku tidak berubah merah.

"Are you okay?"

Lagi-lagi aku tersentak dari lamunanku. Sebelah tangan Ezra sudah menyentuh keningku dan kedua matanya menatapku dengan kening mengerut. Dia terlihat serius. Dia terlihat khawatir.

Dan yang kulakukan justru menggigit bibir bawahku karena sangat sulit untukku tidak menarik wajahnya dan menciumnya. Aku ingin menciumnya. Wajahnya sangat dekat. Memori ketika dia tiba-tiba menciumku malam itu di La Laguna muncul dan semakin mempersulitku menahan diri. Ini membuatku gila.

"Don't," gumam Ezra lembut. Tangannya yang tadi dia tempelkan di keningku sudah turun dan ibu jarinya perlahan melepaskan bibir bawahku dari gigitanku sendiri. Untuk beberapa saat yang terasa sangat lama, kami saling bertatapan. Dari caranya menatapku, aku yakin dia akan menciumku. Dan aku diam, menunggu dengan tegang. Namun kemudian dia melepaskan tangannya dari wajahku dan berdiri.

"Gue saranin lo ketemu Rizky," ucapnya tanpa melihat ke arahku. Dia celingukan ke arah luar jendela, pintu masuknya tadi malam. Baru kemudian dia menoleh ke arahku. "Now that you've cooled down, you should talk to him."

Aku menarik nafas berat. Ucapan Ezra menyadarkanku kalau aku masih punya masalah yang seharusnya kupusingkan, bukan duduk seperti orang bodoh, kecewa karena sudah mengharapkan yang tidak-tidak barusan. Kalau saja Ezra memberi saran ini tadi malam, pasti sudah kutolak mentah-mentah. Tapi sekarang aku merasa jauh lebih baik dan jauh lebih rasional. Ezra benar. Aku harus bicara, setidaknya pada Rizky, karena sebaik apapun perasaanku sekarang, aku masih belum mau bertemu kak Bila.

"Oke," jawabku dengan nafas berat. Aku mengadah menatap Ezra yang sudah membuka kaca jendela kamarku. "Thanks, Ez."

Ezra tersenyum. Detik itu juga aku tau, pemandangan ini adalah pemandangan yang ingin selalu kulihat seumur hidupku. Aku menyerah. Ezra benar-benar sudah merasukiku. Otak dan perasaanku.

"If you ever need my help, just let me know."

Aku mengangguk polos. Ucapan Ezra bukan sekedar basa-basi. Dia bersungguh-sungguh dan aku tau itu.

Ketika Ezra memanjat turun dan hilang dari pandanganku, yang masih terduduk di pinggir kasur seperti orang bodoh, aku merasa kehilangan. Kenapa aku tidak menahannya? Tadi ketika wajahnya begitu dekat di depanku, kenapa aku tidak langsung menciumnya? Aku sudah mengakui pada diriku sendiri kalau aku ingin merasakan bibir itu lagi, dan Ezra tidak mungkin akan menolak. I mean, he kissed me.

Kenapa tidak sekali-kali aku melakukan apa yang kumau? Regardless, apa yang akan terjadi setelahnya.

Karena kamu masih resmi bertunangan dengan Fathir, bodoh, alam bawah sadarku mengingatkan.

Fathir! Kenapa aku baru teringat dengannya sekarang?

Entah apa yang memberiku keberanian dan keyakinan saat ini, tapi sekarang aku tau, aku punya dua hal penting yang harus kulakukan hari ini. Aku hanya perlu menentukan yang mana yang harus kulakukan terlebih dahulu.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang