Chapter 3 - Self-Centered Asshole

15.9K 2K 47
                                    

Setelah makan, kak Bila dan Rizky memutuskan untuk beristirahat di villa yang sudah mereka sewa di daerah Seminyak. Jujur aku sangat bersyukur ketika Ezra menolak ajakan Rizky untuk menginap di villanya, karena aku akan menginap di sana selama Rizky dan kak Bila di sini.

"Well, it's either your villa or my girlfriend's," Ezra mengerutkan bibirnya, "gotta say it's a tough choice, but I'll have to go with the latter, " lanjutnya sambil menyeringai dengan tatapan menggodanya. Aku, yang berdiri di belakang Rizky, memutar bola mataku jengah melihat tingkah Ezra.

"Tai lo," Rizky terkekeh.

"Besok ikut lah, jalan," ajak kak Bila, terdengar sudah akrab dengan Ezra.

Ezra mengambil helm dari kaca spion motornya. "Sure, would love to," godanya sambil mengedipkan sebelah mata ke kak Bila yang membuat kak Bila menyengir tapi tidak terlihat tersipu. Baguslah. Berarti kak Bila sudah tidak lagi terhipnotis seperti tadi saat pertama kali berkenalan.

Kemudian Ezra akhirnya pergi dengan motornya. Rizky dan kak Bila berjalan menuju mobil sewaanku, aku mengikuti.

"Kok gue ga pernah ketemu Ezra sebelumnya ya, Ky?" tanya kak Bila yang duduk di belakang ketika kami sudah dalam perjalanan menuju villa.

Aku menoleh ke Rizky yang menyetir, ikut penasaran. Sudah bertahun-tahun kami berteman dan sering datang ke acara keluarga besar masing-masing. Aku kenal keluarga Rizky sampai ke saudara sepupu kakek-neneknya. Tapi sama sekali tidak tau soal Ezra sebelumnya. Sebenarnya aku bukan penasaran untuk diriku sendiri, tapi aku penasaran apa Tama sempat kenal dengan Ezra. Aku yakin Tama juga pasti bakal bersikap sepertiku kalau dia kenal Ezra. Dulu kita sering nongkrong di coffee shop di mall cuma untuk mengomentari orang-orang sekitar yang kelakuan atau gayanya ajaib. Cuma untuk bercandaan. Dan Ezra masuk di kategori orang-yang-tau-dirinya-ganteng-akhirnya-sok-asik-ngerasa-semua-cewek-ngelirik-dia. Mengingat itu aku sekuat tenaga menahan senyumku agar tidak ditanya kenapa aku mendadak senyam-senyum sendiri. Aku rindu bercanda dengan Tama.

"Doi tuh kelahiran Amerika, pas SMP pindah ke Jakarta sampe pertengahan SMA. Abis itu balik lagi ke Amerika. Terus udah, cuma sesekali doang dateng ke Jakarta, makanya kalian ga pernah kenal. Gue aja baru tau ternyata dia udah setahun tinggal di Bali."

Aku dan kak Bila manggut-manggut. Pantesan aku tidak pernah kenal orang itu.

"Lo pada tau tante Fira, kan?" Rizky bertanya.

"Tau," jawabku dan kak Bila berbarengan. Mana mungkin aku lupa dengan tantenya Rizky yang biarpun cuma sekali bertemu, tapi sangat berkesan saking cantik dan mengagumkan. Tante Fira yang berdarah Arab—iya, Rizky memang keturunan Timur Tengah—sangat dikenal karena keaktifannya membangun yayasan Fira-Reinhard yang bergerak di bidang sosial dan kelestarian alam. Aku ingat jaman masih kuliah, aku, Tama, kak Bila dan Rizky pernah datang ke acara charity tahunan debutante ball yang digelar yayasan Fira-Reinhard. Acaranya besar-besaran dan diadakan di rumah megah milik tante Fira yang bahkan ada mini ball room­-nya sendiri. Tamu yang datang kebanyakan orang-orang penting. Aku dan yang lain bisa datang tentu saja karena undangan dari Rizky yang sebenarnya ogah-ogahan datang karena tidak suka acara formal seperti itu. Hanya saja tahun itu, Anissa, adik Rizky, menjadi salah satu debutante. Makanya Rizky dipaksa datang. Cuma sekali itu saja kami semua datang.

Sebenarnya aku juga tidak terlalu suka acara formal seperti itu, tapi datang ke annual debutante ball yayasan Fira-Reinhard merupakan suatu kehormatan yang sayang dilewatkan. Lagipula, turns out, acara itu menjadi kenangan yang menyenangkan untukku dan Tama. Aku ingat itu pertama kalinya setelah bertahun-tahun kami pacaran, kami akhirnya berdansa formal diiringi alunan musik bossanova. Kami sama-sama tidak tau cara berdansa yang benar seperti apa. Sempat kikuk di tengah-tengah dance floor bersama orang-orang yang sudah lihai. Tapi bukannya merasa malu, kami malah tertawa dan menikmati kebodohan kami.

Aku tidak bisa menahan senyum kali ini. Aku mengalihkan pandanganku ke jendela samping, berharap Rizky dan kak Bila tidak memperhatikan.

"Nah, Ezra itu anak tante Fira nomer dua."

"Hah? Serius lo?" seru kak Bila kaget.

Aku juga cepat menoleh kembali ke Rizky, sama kagetnya dengan kak Bila. Sama sekali tidak terbayang wanita seanggun tante Fira punya anak seperti Ezra.

Rizky menaikkan kedua alisnya mengiyakan.

"Anjrit, jadi udah ganteng parah, tajir mampus lagi," gumam kak Bila.

Aku melirik ke arah kak Bila yang melongo takjub di belakang.

"Tapi gitu ya anaknya... rada-rada kelakuannya," lanjut kak Bila. Aku mendengus tersenyum, berarti bukan cuma aku yang merasa Ezra annoying.

"Emang gitu dia, cuek banget. Jaman SMA sering dipanggil self-centered asshole. Kalo ngomong nyeleneh," ujar Rizky sambil fokus menatap jalanan di depan, "untung aja dia pinter."

"Pinter gimana?" kak Bila terdengar tidak percaya. Aku juga mengernyit menunggu penjelasan Rizky.

"Ya pinter." Dia menoleh singkat ke arahku dan kak Bila. "Gue jaman sekolah kan sekelas mulu sama dia." Rizky bersekolah dari SD sampai SMA di salah satu sekolah internasional termahal di Jakarta. "Anaknya bandel, tapi pinter. Pinter banget, deh. Ga pernah keliatan belajar padahal. Makanya dia ga pernah dikeluarin dari sekolah padahal bermasalah mulu," Rizky terkekeh sendiri. "Lo pada pasti ga bakal nyangka dia itu benernya kerjanya apaan."

"Apaan?" tanya kak Bila.

"Pengacara."

"Ah, bohong," sanggah kak Bila cepat.

Mulutku terbuka tipis saking kagetnya. Ezra, yang barusan sama sekali ga ada image pengacara.

"Serius," Rizky meyakinkan, "dia itu, apa namanya, senior associate, ya? Pokoknya oke lah jabatannya di salah satu law firm besar di Manhattan. Lulusan Harvard Law School doi."

"Serius lo?" kak Bila hampir tersedak.

Aku manggut-manggut kagum. Hebat juga orang itu. Mungkin aku harus menilai ulang Ezra.

"Serius. Nyokap gue aja sering banggain dia lebih dari bangga sama anaknya sendiri," Rizky menggerutu. "Ponakan saya ada tuh yang lulusan Harvard, sekarang udah jadi pengacara di Amerika, di kota apa tuh, Ky? Manahan?" lanjutnya menirukan gaya bicara tante Nita, mamanya, berikut dengan kekehan khas beliau.

Aku reflek tertawa, kak Bila juga. Rizky menggelengkan kepalanya takjub dengan mamanya sendiri.

"Terus kenapa sekarang di Bali, Ky?" tanya kak Bila penasaran.

"Tau. Sempet jadi omongan keluarga besar gue, sih. Tapi anaknya cuek ini, jadi mana peduli dia."

"Terus dia berhenti aja gitu jadi pengacara? Emang umurnya berapa, sih?"

"Cuma lebih tua setaun dari kita. Udah dua delapan harusnya. Gue lupa ulang taunnya kapan."

Aku sudah berhenti mendengarkan, fokus dengan aplikasi Waze di tanganku. "Ky, abis lampu merah depan, ke kiri."

"Oke."

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang