Chapter 44 - Tama and Bila

10.3K 1.4K 107
                                    

B? Siapa B? Aku mengulang isi surat ini sekali lagi. Aku tidak pernah mendengar soal ini dari Tama. Apa ini surat milik temannya? Tapi kenapa dia simpan di dalam kotak ini?

Aku sama sekali tidak berfikir macam-macam sampai akhirnya aku melihat tulisan tangan Tama di balik kertas itu.

Is that even possible to love two people at the same time? You've been with me my whole life, how did I not see it? Now I have no choice. I couldn't stand losing any of you. This might be selfish of me, but the only way to have you both is to stay friends with you.

Let see if what you said works. I wrote this down to bury down the feeling. But sure enough, I'll treasure it. Nevertheless, you're my first. Let's try it in another lifetime, Bil.

Bil? Love two people at the same time? My first?

Seketika aku panik. Aku membongkar kembali isi kotak itu, memperhatikan kembali foto-foto yang tersimpan. Hanya dengan pikiran yang berubah, caraku memandang foto-foto ini juga berubah. Dan ketika aku menemukan satu amplop lagi berisi foto-foto polaroid yang terselip, aku serasa ditampar, ditohok, dihancurkan sekaligus. Foto-foto tersebut hanya berisi Tama dan kak Bila. Satu foto menampilkan kak Bila dipelukan Tama, dan Tama mencium pangkal kepalanya sambil memejamkan kedua matanya. Dari posisinya, sepertinya Tama yang mengambil foto tersebut. Dan dari tanggal yang tercetak, itu hanya dua tahun sebelum Tama pergi. Dua tahun sebelum kami bertunangan. Lima tahun setelah kami berpacaran.

Jantungku mulai berdegup tidak karuan. Tanganku gemetaran. Tergesa-gesa, aku mengumpulkan semua foto tersebut, meletakannya di dalam kotak, menutupnya, dan membawanya keluar. Aku harus mencari penjelasan soal ini.

Aku berpamitan dengan tante Eva yang langsung menatapku lebih prihatin lagi. Aku bisa menebak beliau mengira aku seperti ini karena terbawa suasana di kamar Tama. Apapun itu, aku harus segera pergi.

Aku menyetir dengan tidak sabar. Aku harus segera sampai di kosan kak Bila dan meminta penjelasan ini karena setiap menitnya aku semakin berfikir yang tidak-tidak.

Tidak. Aku tidak mau berfikir hal seperti ini. Aku yakin akan ada penjelasan yang masuk akal.

Sesampainya di kosan kak Bila, dekat tempatnya bekerja, aku mengetuk pintu dengan tidak sabar sambil menggigiti kuku ibu jari tanganku panik.

Begitu kak Bila muncul dari balik pintu, dia tersenyum sumringah melihatku. "Kaniss?" Namun ekspresinya langsung berubah khawatir melihatku panik. "Kamu kenapa, sayang?"

Tergesa-gesa, aku membuka kotak yang kupeluk sedari tadi. Aku menyodorkan surat itu ke hadapan kak Bila. "Ini apa, Kak?"

Sepanjang perjalanan aku berharap kak Bila akan merespon tertawa dan berkata kalau ini salah satu inside joke yang pernah mereka lakukan. Tapi respon kak Bila adalah respon yang paling kutakutkan. Wajahnya berubah pucat.

"K-kamu... dapet ini dari mana?"

"Jawab aja, Kak. Ini apa?"

Kak Bila gelagapan sementara matanya menelusuri isi surat itu.

"Itu tulisan kak Bila?" tanyaku lagi. Tapi kak Bila tidak bisa menjawab.

Tidak. Tidak. Tidak. Ini tidak mungkin terjadi. Tidak kepadaku. Kumohon.

"Kak Bila... sama Tama..." suaraku bergetar hebat dan aku tidak sanggup menyelesaikan kalimat itu.

"Itu... ini... ga kayak yang kamu pikirin, Kan."

"Ga kayak yang aku pikirin?!" bentakku. Aku berusaha mengatur nafas, tapi gagal. "You're my first... apa maksudnya?" Dengan jariku yang gemetar, aku mengambil surat itu dari tangan kak Bila dan menunjuk ke bagian yang berisi tulisan Tama. Aku tidak tau kenapa menanyakan hal ini terlebih dahulu dibanding yang lain. Aku hanya terlalu kalut dan tidak tau apa yang harus aku lakukan, apa yang harus aku katakan.

Kak Bila lagi-lagi membisu, tidak berani menatapku.

Aku menarik surat itu ke depan wajahku. Dengan dahi mengernyit panik aku menelaah isi surat itu, seperti orang yang dihadapkan kunci jawaban lima menit sebelum ujian dimulai. Otakku yang sudah kalut ini kupaksakan untuk berfikir. First love? Tidak, kak Bila sendiri yang menulis kalau he loves her later. First kiss? Tidak, aku yakin akulah ciuman pertama Tama. Itu pun kalau Tama jujur. Ya, Tuhan, aku mempertanyakan Tama, orang yang paling kupercaya di muka bumi ini. Ini seperti mimpi buruk. Jauh lebih buruk dari itu.

Jadi, apa maksud dari first ini?

Dan kemudian sesuatu terlintas di otakku. Sesuatu yang sebelumnya tidak mungkin pernah terlintas di benakku. Tidak soal Tama.

"Kak Bila... kalian... apa kalian... pernah..."

Kak Bila lagi-lagi terdiam. Jantungku seakan berhenti. Aku tidak tau apa lebih baik kak Bila menjawab dan menyuarakan isi otakku, atau diam saja seperti ini. Apapun itu, berarti dugaanku benar.

"Kenapa?" bisikku lirih sambil menunduk. Aku tidak mengharapkan jawaban. Dan ketika aku mengadah, aku sadar aku bahkan terlalu jijik untuk melihat wajah kak Bila. Orang yang selama ini sudah kuanggap kakak sendiri. Aku pun pergi meninggalkan kak Bila yang masih mematung memegang kotak dan surat itu.

Aku pikir tangisku akan pecah begitu sampai ke dalam mobil. Tapi aku hanya mematung. Dalam hati aku berharap kalau ini tidak baru saja terjadi. Aku masih yakin kalau aku salah. Kalau kak Bila tidak bisa membantah hal itu, aku tau harus kemana.

Walaupun pikiranku kalut, aku salut pada diriku sendiri karena tetap bisa sampai di rumah Rizky tanpa menyasar padahal aku sama sekali tidak memperhatikan jalan.

Untungnya Rizky ada di rumah, sedang makan siang bersama Rania.

"Kaniss?" Rizky juga heran melihatku berdiri di balik pintu rumahnya. Aku tidak lagi terlihat panik, melainkan diam membeku. "Kok lo ga nelfon gue? Ada apaan?"

"Lo tau soal Tama sama kak Bila?" tanyaku dingin, tanpa menyapa terlebih dahulu.

Air muka Rizky berubah. Aku menarik nafas tajam. Dia tau. Dan itu berarti memang benar pernah ada yang terjadi.

Tidak menunggu penjelasan apapun lagi, aku berbalik dan berjalan cepat menuju mobil. Rizky mengejarku dan menahan lenganku.

"Kan, biar gue jelasin dulu."

"Lepasin," perintahku dingin. Rizky belum mau melepaskan lenganku. "Lepasin, Ky," tegasku sekali lagi, pelan dan penuh penekanan. Rizky masih belum menurut juga. Aku meronta menarik tanganku kasar, tidak peduli kalau ini menyakitkan. Aku yakin tidak akan ada yang lebih menyakitkan dari apa yang kutemukan hari ini.

"Lo harus tau, Tama bener-bener cinta sama lo," ucap Rizky.

Sungguh, apa yang dia harap dari ucapannya itu? Agar aku merasa lebih baik? Apa yang diucapkannya justru seperti jeruk nipis yang diusap kasar di atas luka terbuka. "Kenapa ga lo suruh dia ngomong sendiri?"

Aku tau aku kelewat batas dengan ucapanku barusan. Tapi hatiku sudah hancur berkeping-keping. Tidak pernah aku merasa sesakit ini. Satu-satunya orang yang mungkin bisa membuatku lebih baik sudah tergeletak tiga meter di bawah tanah. Tidak ada yang bisa melakukan apa-apa soal itu.

Mendengar ucapanku, Rizky akhirnya melepaskan tangannya dari lenganku. Tanpa mau menoleh ke arahnya lagi, aku berlari masuk ke dalam mobil dan langsung menancapkan gas. Aku juga jijik melihat wajah Rizky. Orang yang sudah kuanggap sahabat, tapi justru menutupi hal seperti ini. Tama, Rizky, dan kak Bila, tiga orang yang paling kupercaya lebih dari siapa pun. Rupanya aku hanya orang keempat. Orang yang mereka khianati.

Tidak. Tidak. Tidak. Tama tidak mungkin mengkhianatiku. Tama tidak mungkin melakukan ini. Ini pasti hanya mimpi buruk.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang