Chapter 10 - Don't Call

12.6K 1.7K 31
                                    

Aku berhasil melewati malam pernikahan Rizky dan Rania tanpa another break down. Begitu sampai rumah, aku langsung memesan tiket pesawat ke Bali untuk tiga hari lagi. Aku tau ini tidak adil untuk keluargaku. Mereka masih rindu padaku, begitu juga aku pada mereka. Tapi aku tidak bisa berlama-lama di Jakarta, aku belum sanggup. Terlalu banyak yang mengingatkanku pada Tama, dan semua orang yang kukenal masih saja bersikap aneh di sekitarku. Termasuk bunda dan ayah.

Besok siangnya aku janjian makan siang dengan keluargaku di Pacific Place, selagi ayah dan mas Adam sedang jam makan siang kantornya. Tadinya mereka mengajak makan malam, tapi malam ini ada acara Rizky dan Rania mengadakan dinner khusus untuk para bridesmaid dan groomsmen. Biarpun aku lebih memilih diam di rumah, aku tetap menghargai Rizky dan berjanji untuk datang.

"Jadi kamu bakal balik lagi ke Bali?" tanya Ayah sebelum menyuap caesar salad pesanannya.

Aku menelan ludah. Sama sekali tidak mengira kalau ternyata ayah mengharapkan aku tidak kembali ke Bali. Aku melirik ke bunda dan mas Adam yang menatapku penuh harap. Oh, God, bagaimana aku bilang ke mereka kalau semalam aku sudah membeli tiket untuk lusa.

"Iya," jawabku ragu-ragu, "aku udah beli tiket balik."

"Oh," Ayah terlihat berusaha santai tapi aku bisa menangkap nada kecewa dari suaranya. Aku melihat bunda mengalihkan pandangannya dariku.

"Ada kerjaan soalnya," sambungku cepat. Tentu saja aku berbohong. Pekerjaanku sebagai freelance writer tidak pernah mengikat.

Tapi ini white lie. Lihat saja wajah bunda dan ayah seketika berubah sumringah. "Kamu sibuk ya di Bali?" tanya Bunda sambil menyentuh sebelah lenganku. Dia terlihat terharu. Mungkin bangga anaknya bisa move on juga akhirnya.

"Lumayan," jawabku sambil menyengir dipaksa. "Mas Adam gimana kerjaannya?" aku langsung buru-buru mengganti topik. Tidak ingin berbohong lebih banyak.

Mas Adam menelan makanan di mulutnya terlebih dahulu sebelum akhirnya menjawab, "ribet. Tapi mudah-mudahan bentar lagi naik pangkat," dia menyeringai bangga.

Aku ikut tersenyum. Lalu bunda berceletuk kalau sudah saatnya mas Adam serius mencari pasangan hidup. Mas Adam tahun ini usianya sudah dua puluh sembilan tahun, dan aku bahkan sudah tidak bisa menghitung berapa kali mas Adam gonta-ganti pacar.

Mereka sedang berbincang-bincang seputar pekerjaan mas Adam ketika aku permisi ke toilet. Tidak ada toilet di dalam restoran ini, jadi aku harus berjalan keluar.

Di perjalanan balik dari toilet, aku melewati Fossil, membuatku ingat aku pernah membelikan Tama kado jam tangan di sana. Jam tangan yang sampai akhir hayatnya selalu dia kenakan.

BRUKK!

Tak sengaja aku menubruk bahu orang yang lewat. Salahku, karena aku melamun. "Maaf."

Yang kutubruk malah menatapku dengan kedua alis terangkat. "Dok?" tanyanya kaget.

Aku mengernyit. Memang mukanya familiar, tapi aku sudah lama tidak memegang pasien—oh!

"Pak Fathir?" Sama seperti terakhir aku melihatnya, dia rapi dengan mengenakan jas.

"Fathir aja, ga usah pake pak," gumamnya memamerkan rentetan gigi putih dan rapi.

Aku tersenyum canggung, "oh, iya."

"Maaf banget waktu itu saya belum sempat ngucapin terima kasih. Saya langsung diseret keluar begitu landing."

Aku menyeringai canggung. Tentu saja begitu pesawat mendarat, dia jadi orang pertama yang turun dengan bantuan kursi roda dan dua awak kabin. Tapi seingatku dia sempat bilang terima kasih sesaat sebelum aku kembali ke kursi ekonomiku. Tapi sudahlah, mungkin dia tidak ingat.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang