Chapter 12 - He's Just So... Tama

12.1K 1.6K 46
                                    

And it's true.

Satu minggu kemudian, aku yang tengah bersantai membaca buku di atas kasur sebelum tidur, mendapat telfon dari nomer yang tidak kukenal.

"Halo?"

"Hai," suara Fathir terdengar. Terakhir aku bicara dengannya ya pada saat kita ngopi waktu itu. Dia tidak pernah menelfon setelahnya, tapi hebatnya aku bisa langsung mengenali suaranya. Mungkin karena suaranya yang khas. Lembut dan menenangkan.

"Hai," balasku sambil mengernyit, bingung kenapa dia menelfonku.

"How's the book?" tanyanya langsung.

"Oh." Aku meraih buku rekomendasi Fathir yang sudah habis kubaca tapi masih kuletakkan di atas meja di samping kasur. "Bagus."

"Pilihan gue emang ga pernah salah."

"Tapi..."

Fathir tiba-tiba tertawa pelan sebelum aku menyelesaikan kalimatku. "Gue udah nebak pasti ada tapinya. Gue ga punya banyak pulsa. Besok sore? You pick the place."

"Hah?"

"Iya, ngopi."

"What?" Orang ini benar-benar ajaib. "Mmm... tapi gue tinggal di Ubud." Aku yakin banker seperti Fathir pasti tinggal di daerah Denpasar. Males banget kalau aku harus jauh-jauh ke sana atau ke Kuta cuma demi kopi.

"Great. Gue tau tempat enak banget, Padma. Lo tau?"

Aku mengulum senyumku, cukup terkejut. "Tau."

---

Jadilah kami menikmati another cup of coffee di restoran favoritku, Padma. Kami janjian bertemu di sini karena aku menolak dijemput. Lagipula guesthouse tempatku tinggal hanya berjarak sepuluh menit jalan kaki.

"Eh, mbak Kaniss," sapa Kadek, waitress yang kukenal, ketika dia menghampiri meja kami. "Tumben ga sendirian?" Kadek tersenyum ke arah Fathir yang membalas tersenyum lalu melirik ke arahku.

Aku meringis, malu. Kadek tidak bertemu dengan Rizky dan yang lain waktu itu, jadi wajar dia kaget aku membawa seseorang selain Dewi.

Aku hanya menyengir dipaksakan ke arah Kadek. "Aku pesen yang biasa aja."

Fathir memesan pesanannya dengan senyum hangat, lalu setelah Kadek pergi, dia menoleh ke arahku dengan senyum dikulum. "Oke, at least gue udah dapet dua info baru soal lo. Pertama, cleary, ini restoran langganan lo, yang berarti selera kita sama. Kedua, gue orang pertama yang lo bawa ke sini."

Aku tersenyum lalu memajukan tubuhku. "Pertama, emang bener, tempat ini udah kayak rumah kedua buat gue. Kedua, gue emang jarang bawa temen, tapi I'm so sorry, lo bukan yang pertama. Lagian, lo yang ngajak gue ke sini bukan gue yang bawa lo ke sini."

"Tapi gue cowok pertama yang bareng lo di sini?" tembaknya langsung.

Aku terdiam sejenak sambil mengernyit. "Oooh..." Aku manggut-manggut. "Jadi ini pick-up line lo?"

Fathir malah terlihat terkejut. "Engga... gue ga maksud kayak gitu. Jangan salah sangka dulu." Wajahnya mengerut. "I'm engaged to be married."

What?

Dan tiba-tiba orang ini tertawa. Puas. "Lo mesti liat muka lo." Dia tidak berhenti tertawa.

Aku mengernyit, reflek melirik ke jari tangannya. Tidak ada cincin. Sial.

"Ga lucu," gerutuku kesal.

"Sorry, sorry." Dia mengatupkan mulutnya berusaha berhenti tertawa, tapi matanya jelas masih meledekku. "Cuma seneng aja, ternyata lo takut kalo gue engaged."

"Iya, takut sama calon istri lo kalo tau lo di sini," gumamku sinis.

"Loh? Emang kenapa kalo gue di sini?" mulut Fathir membulat. "Oooh... lo pikir this is a date? No... it's not," ledeknya, lagi.

Aku kehabisan kata-kata. Sedikitpun aku tidak pernah berfikir kalau ini sebuah kencan. Tidak sama sekali. Tapi aku diam saja, tidak ingin kata-kataku dibalikkan lagi.

"Oke, oke. Gue stop bercanda." Fathir menarik nafas. "Muka lo lucu banget kalo dibercandain soalnya."

Aku diam. Kalimat itu, kalimat yang sering kali Tama ucapkan padaku.

Muka kamu tuh polos banget, tau. Enak dibercandain.

"Hei."

Aku tersentak dari lamunanku.

"Lo ga papa?"

Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum simpul.

Kening Fathir mengernyit. "Udah dua kali lo kayak gini. Sure you're okay?"

Aku menggangguk. "Cuma meleng aja dikit."

Fathir menatapku dengan tatapan curiga yang dibuat-buat. "Ini makanya lo berhenti jadi dokter?" Kedua matanya menyipit. "Lo suka mendadak lost? Emang bahaya sih."

Kedua alisku terangkat, terkejut dengan asumsinya. "Bukan," jawabku sambil terkekeh pelan. Orang ini ada-ada saja. "Gue berhenti jadi dokter soalnya—"

"No!" serunya mengagetkanku. "Jangan kasih tau dulu."

"Hah?" gumamku tanpa suara.

"Biar gue yang nebak sampe jawaban gue bener," ujarnya dengan senyum jenaka.

Aku menggelengkan kepalaku sambil tersenyum. "Terserah lo deh."

"Oke." Fathir menyatukan kedua tangannya di atas meja. "So, how was the book?"

Aku menatapnya bingung. "Gue kira lo mau nebak."

"I will. Tapi gue ga suka nebak sembarangan. Gue butuh clue."

"Clue as in..." kalimatku menggantung, menunggu Fathir melengkapinya.

"Gue mesti tau lebih banyak soal lo."

Aku diam, mulutku setengah terbuka, lalu kukatupkan sambil mengulum senyum. "You're good." Aku manggut-manggut.

Fathir tertawa. Selama sekitar dua jam setelah itu kami membahas tentang buku yang Fathir rekomendasikan padaku dan buku-buku lainnya yang dia anggap harus aku baca. Kuakui, mengobrol dengannya cukup menyenangkan. Sudah lama aku tidak ngobrol panjang lebar dengan orang yang baru kukenal. Bisa aku lihat, dia orangnya pintar tapi tidak menggurui, terkadang mengesalkan tapi ada batasan. Yang kusuka, walaupun dia memang cukup percaya diri, dia tidak sombong. Tidak sedikitpun aku mencium ada bau-bau pamer terselubung. Apparently, he is a good guy.

Setelah ngopi di Padma, dia tidak pernah menghubungiku, tidak sms, line, atau apapun itu. Which is good. Karena itu membuatku nyaman. Aku menganggap dia sebagai teman ngopi yang asyik. Aku rasa kalau sekali saja dia mencoba sms atau line 'lagi ngapain?' aku pasti tidak akan mau bertemu dengannya lagi. And he's not. Sekalinya dia menelfon ialah ketika aku kebetulan sedang di perjalanan menuju Seminyak karena diminta menulis review tentang Anomali, sekitar seminggu setelah ngopi soreku dengan Fathir di Padma. Pertanyaan pertamanya ketika aku mengangkat telfon darinya adalah lokasiku. Dan begitu dia tau aku menuju Anomali, dengan santainya dia bilang 'see you there'.

Ternyata tidak rugi juga dia bersamaku di Anomali. Masukan-masukannya sangat membantu untuk review-ku. Di situ dia mengajukan tebakan keduanya.

"Lo berhenti jadi dokter karena lo sadar lo ga pinter-pinter amat," tebaknya ketika aku tidak bisa membedakan macchiato dan affogato.

Aku terkekeh. "Gue emang ga tau banyak soal kopi, tapi, just so you know, gue lulusan terbaik FKUI. Termuda juga, by the way. So trust me, bukan itu alasannya," tuturku dengan nada bangga. Sudah lama aku tidak menyombongkan hal ini. Aku bukan tipe penyombong, tapi ketika bersama Tama, aku sering bercanda soal ini kalau dia mulai meledek kebodohanku. Sama seperti sekarang.

Aku bisa lihat Fathir terkejut, tapi dia tutupi dengan mengernyit protes. "Orang mana yang nyuruh orang yang ga tau soal kopi, bikin review soal kopi."

Aku tertawa. Dari semua itu tetap saja yang dia tonjolkan adalah ketidaktahuanku soal kopi. He's just so... Tama.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang