Kami sudah tiba di villa sebelum jam 9 karena memang rencananya akan mengadakan bachelor party kecil-kecilan untuk Rizky. Bahkan Rizky dan Ezra sudah menyiapkan berbotol-botol minuman alkohol yang tidak murah.
"Shot poker aja," Ezra mengidekan apa yang asik kami lakukan untuk menghabiskan malam terakhir Rizky dan kak Bila di Bali, "jadi yang kalah drink a shot."
Rizky dan kak Bila terlihat bersemangat, sementara aku merengut. "Gue ga ikut minum ya, Ky." Entah mengapa kalau soal seperti ini aku seringnya mengharap back-up dari Rizky. Memang kak Bila paling dewasa, tapi aku merasa Rizky yang paling mengerti aku apalagi setelah kepergian Tama.
Rizky dengan santai mengiyakan.
"Well then, if you don't do shot poker, you gotta do strip one," ujar Ezra ringan sambil mengocok kartu dengan lihainya.
"Ga!" tegasku.
"Iya, ngaco lo Ez. Kaniss anak bawang aja," Rizky membelaku yang didukung penuh oleh kak Bila. Yes, thank you.
"What? Sucks."
Aku mencibir kesal ke arah Ezra yang membalas dengan ekspresi yang sama. Walau masih terlihat kesal, Ezra tetap membagikan kartu dan kami mulai bermain.
Butuh dua jam shot poker untuk akhirnya Rizky dan kak Bila mabuk berat. Aku sendiri sudah berhenti main sejak sejam yang lalu. Aku memilih untuk menonton sampai bosan dan akhirnya duduk-duduk santai di kursi pantai dekat dengan kolam renang. Aku hanya ikut tertawa dan sesekali menoleh sejenak kalau sudah mendengar Rizky bernyanyi atau mereka mendadak tertawa keras. Aku tetap sama sekali tidak menyentuh minuman-minuman itu. Minuman alkohol selalu mengingatkanku pada penyebab kematian Tama. Rizky dan kak Bila juga sebenarnya hampir tidak pernah minum-minum seperti ini. Malam ini pengecualian demi Rizky yang akan menikah dalam dua bulan.
Waktu menunjukkan pukul setengah satu pagi ketika villa akhirnya hening. Aku masih bersantai tiduran di kursi pantai, menikmati suasana dan bintang-bintang yang cukup terlihat jelas malam ini.
"Those two are totally wasted."
Aku menoleh ke asal suara yang dengan santai ikut tiduran di kursi pantai sebelah kursiku, masih dengan segelas minuman di tangannya. "Gue kaget lo engga," sindirku.
Ezra melirik ke arahku, dia terkekeh. "It takes a hell lot more than that to see me drunk."
Mataku menyipit melihatnya menenggak gelas minumannya. Aku hanya menggelengkan kepala dan kembali memandang langit cerah malam ini.
Lama sama-sama tidak bersuara, aku mulai merasa canggung.
"Gue tadi ngeliat lo sama cewek yang di El Kabron." Aku bahkan tidak tau kenapa aku berkata demikian. Kalimat itu keluar begitu saja. Mungkin karena memang cuma itu topik yang bisa aku bicarakan dengan orang ini.
"Which part? The kissing part?" tanyanya terdengar bingung, membuatku berspekulasi kalau ada adegan lebih dari itu setelah aku pergi.
"Mm," jawabku mengiyakan.
"Why? Are you jealous?"
Reflek aku menoleh tidak percaya, tapi kudapati wajah Ezra polos seolah menawarkan hal kecil seperti minuman. "Udah mabok lo ya?" tuduhku.
Dia malah tertawa. Kemudian kami sama-sama kembali diam.
"Gara-gara itu makanya kita dapet kursi?" Lagi-lagi aku bersuara tanpa aku fikirkan. Mungkin sebaiknya aku masuk saja ke kamar.
Ezra lagi-lagi tertawa. Mungkin karena aku dengan polosnya bertanya demikian. "Jadi lo pikir, I'm selling myself out for a seat?"
Yup, exactly. Tapi aku memilih diam, aku tau dia tau kalau aku memang berfikir demikian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...