Chapter 13 - So Do You Like Him?

11.5K 1.5K 14
                                    

"Lo dipecat, soalnya lo selalu nolak tawaran bos lo buat nganterin lo pulang," tebak Fathir yang sudah mulai terdengar putus asa, ketika lagi-lagi aku menolaknya mengantarkanku pulang.

Ini sudah hampir dua bulan sejak ritual ngopi kami dimulai. Berawal dari seminggu sekali, sekarang dua sampai tiga kali seminggu. Berkali-kali di Padma, sisanya kebanyakan di coffee shop sekitar Ubud juga. Cuma sesekali kami ke daerah Seminyak/Petitenget, ketika aku diminta membuat review dan dia setia menjadi asistenku. Biasanya aku meminjam kendaraan Dewi setiap keluar, tapi pernah sekali dua kali Fathir yang mengantar-jemputku, biarpun lebih sering aku memaksa tidak diantar maupun dijemput. Hampir di setiap pertemuan kami, dia mengajukan tebakan-tebakannya yang dari masuk akal sampai yang hanya bisa kutertawakan.

Sama seperti yang sekarang, aku hanya bisa tertawa pelan sambil menggelengkan kepalaku. Fathir berdecak kesal. "Nyerah?" tantangku.

Fathir menggelengkan kepalanya dengan wajah horror. "No, no, no... Fathir Kamil ga pernah nyerah."

Aku terkekeh. "Terserah deh."

"Mbak, taksinya udah di depan." Salah satu pelayan kafe ini menghampiri kami yang berdiri dekat kasir, bersiap pulang.

Kulihat Fathir mengatupkan bibirnya kesal.

"Let me know kalo udah nyerah."

Fathir tersenyum lalu mengantarkanku sampai taksi.

"Bye," gumamku sebelum menutup pintu.

"Bye."

Aku melambaikan tanganku dari dalam, Fathir membalas dengan satu tangan lainnya dimasukkan ke dalam kantong celana. Begitu taksi mulai menjauh, aku sedikit menoleh dan melihat sosok Fathir berbalik berjalan menuju parkiran mobilnya. Aku kembali menoleh ke depan, menghempaskan tubuhku ke jok taksi ini. Aku tersenyum, entah untuk apa.

Sampai di rumah—guesthouse ini sudah kuanggap rumah—aku menemukan Dewi sedang bersantai menonton TV di ruang tamu. Guesthouse ini memang berbentuk seperti beberapa rumah kecil bernuansa etnik Bali. Total ada delapan rumah yang memiliki ukuran berbeda-beda. Dewi adalah anak pemilik guesthouse ini. Demi menghemat biaya, dan aku juga sudah dekat dengan Dewi, aku pindah ke rumah yang ditempati Dewi. Rumah terbesar kedua di guesthouse ini. Orang tua Dewi tinggal di rumah yang paling besar dan paling dalam, tiga rumah dari sini. Jadi sebenarnya, jatuhnya aku seperti ngekos di rumah Dewi yang memiliki dua kamar. Aku tinggal di kamar atas karena memang itu yang kosong. Dewi paling malas kalau harus naik turun tangga.

Oh ya, FYI, Dewi juga editor-in-chief majalah yang memperkerjakanku. Jadi bisa dibilang, aku berhutang amat banyak dengan temanku yang satu ini. Aku kenal dia dari mas Adam. Mereka teman sekelas masa kuliah dulu. Dewi memang asli Bali, tapi dia lama tinggal di Jakarta.

"Dianter Fathir?" tembak Dewi langsung begitu aku membuka pintu. Dia menoleh penuh harap ke arahku.

"Engga."

Terlihat kesal, Dewi kembali menatap layar TV. "Kapan nih gue mau dikenalin?"

Waktu sekalinya Fathir mengantarku, Dewi sedang tidak di rumah.

"Apaan deh, kayak siapa aja pake dikenalin. Kalo lo mau, ikut kita ngopi aja. Santai kali."

Dewi kembali menoleh kepadaku, tatapannya terselubung. "Sini, jangan langsung naik. Lo belom cerita lengkap soal 'temen' baru lo ini," ujarnya menekankan kata temen.

Aku mendengus kesal tapi tetap menurut. Aku duduk di sofa samping sofa tempat Dewi duduk. Dia menatapku menunggu cerita.

"Ga ada apa-apa, beneran. Cuma temen ngopi," terangku membuat Dewi menatapku kecewa.

"Oh, come on. Lo ga punya temen selain gue di sini. And all of sudden, ada Fathir yang rajin banget ngajak lo 'ngopi'." Lagi-lagi Dewi menekankan satu kata yang dianggapnya rancu. "I bet you guys texting all the time."

Aku menggeleng sambil nyengir, senang Dewi sudah salah tebak. "Ga sekali pun."

Wajah Dewi melongo kaget. "Ga sama sekali?" Aku menggeleng. "Terus kalian kok bisa jalan?"

"Cuma nelfon aja kalau dia ngajak jalan."

"Lo ngarep dia sms, atau line, atau whatever?"

Aku menggelengkan kepalaku santai. Karena memang tidak.

Dewi mengernyitkan dahinya kencang. "Lo suka ga sih sama dia?"

Aku tertawa sejenak. Dewi ini memang ada-ada aja. "Bukan suka. Gue cuma ngerasa..." aku memikirkan kata yang tepat, "...nyaman. Ga banyak orang yang bikin gue nyaman sekarang." Dewi masih menatapku bingung. "Dia, somehow, ngingetin gue sama... Tama."

Ekspresi Dewi tidak banyak berubah. Itu yang kusuka darinya. Sekarang, hampir semua orang yang kukenal pasti berubah canggung atau jadi prihatin setiap aku menyebut nama Tama. Segimanapun mereka berusaha santai, aku tetap bisa melihat itu.

"Which is good or..." Mata Dewi menyipit menunggu jawabanku.

"Good," jawabku cepat. "Itu yang bikin gue bingung juga. Unlike other things, Fathir ngingetin gue soal Tama in a good way. Bukannya bikin sedih, malah bikin gue nyaman, tenang, dan betah ngobrol sama dia."

"Lo ngerasa kangen lo keobatin kalo bareng Fathir."

Aku diam. Aku belum pernah berfikir ke arah itu, apalagi menyadarinya. Tapi mendengar Dewi berkata demikian, aku jadi berfikir. Apa iya? Apa itu wajar?

"Menurut gue gapapa sih, ya. Selama ga ngerugiin siapa-siapa," ujar Dewi seolah membaca pikiranku.

Aku tetap diam termenung, menatap Dewi sejenak lalu kembali menatap kosong ke arah lantai sambil menggigit bibir bawahku. Aku meyakinkan diriku sendiri biarpun aku melihat sosok Tama di diri Fathir, itu bukan berarti dia akan menggantikan Tama. No way. Aku tidak berfikir ke arah sana. He's just a good friend. That's it. Lagipula, sampai kapanpun tidak akan ada yang bisa menggantikan Tama.

Sampai kapanpun.

---

"Halo, Kan?"

"Hai, Fat," sapaku begitu mengangkat telfon. Aku sedang santai mengerjakan artikel di meja dapur sambil menemani Dewi mencoba resep baru.

"Hari Rabu nih. Gue bisa cabut kantor lebih cepet. Kopi?"

Oh, ya, aku belum bilang, sekarang aku dan Fathir secara tidak resmi menjadwalkan temu kopi kami. Setiap Rabu dan Sabtu. Kadang kalau terlalu sibuk, Rabu ditukar jadi Kamis.

"Oh." Aku melirik ke Dewi yang sibuk mengaduk adonan tapi menoleh ke arahku, dia tau siapa yang menelfon. "Gue malem ini udah janji mau nemenin Dewi nonton film di rumah. Dia lagi pengen nonton A Walk to Remember tapi ga sanggup nonton sendiri," tuturku menjelaskan.

"Oh," sahut Fathir ringan.

Tiba-tiba dengan cepat Dewi menarik ponselku dari tanganku. "Dateng aja kalo mau ikut nangis bareng."

"Hey!" seruku protes. Bukan protes karena Dewi mengundang Fathir, tapi protes karena dia asal merebut ponselku.

Sambil terkekeh Dewi mengembalikan ponselku.

"Halo?"

"Itu tadi yang namanya Dewi?" Fathir memang belum pernah bertemu Dewi, tapi aku sudah sering menyebut namanya.

Aku melirik sinis ke arah Dewi yang masih tersenyum puas. "Iya."

"Terus? Undangannya berlaku ga?"

"Well." Aku sok-sok berfikir. "Berhubung dia yang punya rumah, undangannya lebih valid daripada gue."

"Pret." Aku dengar gumaman Dewi walaupun pelan. Aku terkekeh.

"Okay, then. Enaknya gue ke sana jam?"

"Tujuh?" aku melirik ke Dewi yang mengangkat bahu santai. "Nanti di depan, minta resepsionis nganterin ke rumah Dewi."

"Oke, see you."

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang