Chapter 30 - Guilty

9.1K 1.3K 48
                                    

Begitu film selesai, kami berdua sama-sama diam. Aku berkali-kali nonton ini, tapi selalu saja dibuat speechless diakhir cerita.

"Aku pengen kita kayak gitu," gumam Fathir tiba-tiba, membuatku menarik tubuhku lalu menatapnya bingung. "Bukannya ngarep kamu kena Alzheimer," Fathir buru-buru membenarkan, "just how strong they were together, till death do them apart."

Aku terdiam, terpaku dengan perkataannya. Fathir meraih pipiku dengan sebelah tangannya lalu mendekat dan dengan lembut mencium bibirku. Aku reflek menarik wajahku di detik kedua, bahkan sebelum aku sempat membalas. Sama sekali tidak bermaksud menolak ciumannya.

Sesaat Fathir terlihat terkejut, kedua alisnya terangkat tipis. Tapi kemudian dia tersenyum hangat, senyumnya yang meneduhkan. Aku masih syok, tidak tau apa yang harus aku lakukan untuk membenarkan tindakanku barusan.

Fathir kembali menarikku ke dalam pelukannya. Dia mengecup pangkal kepalaku cukup lama. "I love you," gumamnya lembut.

Respon Fathir atas tindakanku sama sekali tidak mengejutkan. Hal seperti barusan tidak hanya sekali terjadi selama kami berpacaran, apalagi di awal-awal hubungan kami. Fathir mengerti kenapa aku beberapa kali menarik wajahku ketika diciumnya, seolah terkejut. Menurutnya sangat wajar jika bayangan Tama masih terus-terusan menghantuiku, mengingat seberapa traumanya aku kehilangan Tama. It takes time, he said. Dan dia rela menunggu sampai aku siap.

Oh, God. Aku menggigit bibir bawahku panik di dalam pelukan Fathir. Aku sangat merasa bersalah—pada Fathir dan juga Tama, karena yang barusan terlintas di bayanganku adalah wajah Ezra.

---

Hari Jumatnya aku diundang makan malam bersama orang tua Fathir karena mereka kebetulan sedang berlibur di sini. Awalnya aku deg-degan. Lebih dari itu, aku sempat panik. Tapi semua berjalan dengan baik. Orang tuanya sangat ramah padaku. Hanya saja ada topik yang membuat mood-ku langsung drop.

"Kamu ga berniat ambil spesialis, Kaniss?" tanya papanya Fathir, om Malik, tiba-tiba setelah topik sebelumnya sudah habis dibahas.

Aku mendengar pertanyaan itu langsung diam, tidak tau harus menjawab apa. Kami sama sekali tidak membahas soal profesiku sebelumnya. Tapi dari cara bertanya om Malik, kurasa dia sebenarnya sudah tidak sabar ingin menanyakan hal itu dari awal.

Sebelum aku bisa menjawab, Fathir membuka suara duluan, "Pa," ucap Fathir dengan tatapan menegur ke arah om Malik di hadapannya, "kan aku udah bilang, Kaniss lagi istirahat."

Aku menoleh ke Fathir yang duduk di sampingku. Dia masih menatap papanya memberi kode. Well, aku berterimakasih dia sudah membantu menjawab pertanyaan yang aku sendiri tidak tau jawabannya. Tapi istirahat? Kenapa Fathir bisa-bisanya bilang kalau aku lagi istirahat? Padahal dia tau, aku tidak ada pikiran untuk kembali ke dunia kedokteran.

"Iya, Papa tau. Tapi Papa cuma mau nanya aja rencana Kaniss ke depannya," om Malik membela diri, berbicara seolah aku tidak ada di sana.

"Aku belum ada rencana ambil spesialis, Om," jawabku akhirnya, berusaha menahan diri agar tidak terdengar ketus.

Om Malik dan tante Nina diam menatapku, mulut mereka sama-sama membulat sambil manggut-manggut. Mereka tidak pandai menyembunyikan kekecewaan mereka pada jawabanku. Aku maklum, mereka dari keluarga yang sangat berpendidikan. Om Malik seorang profesor di bidang ekonomi dan tante Nina master di bidang ilmu sosial. Bisa kubayangkan Fathir mempromosikanku di depan mereka dengan embel-embel gelarku.

"Ada yang mau dessert?" tanya Fathir berusaha mencairkan suasana yang mendadak canggung.

Sisa malam itu dihabiskan dengan percakapan-percakapan ringan. Tidak ada lagi yang membahas profesiku. Rupanya om Malik dan tante Nina lebih pengertian dari yang kukira, hanya saja tidak bisa dipungkiri aku rasa cara mereka memandangku berubah. But then again, mungkin aku yang terlalu perasa.

Kami makan malam di salah satu restoran di daerah Denpasar, dan Fathir mengantarku pulang ke Ubud. Kami sampai di guest house milik Dewi saat waktu menunjukkan hampir jam sebelas malam.

"Kamu istirahat ya," ujar Fathir di depan pintu rumah.

Aku mengangguk lesu.

Mungkin sadar sikapku aneh, Fathir menarik tanganku sebelum aku berbalik hendak masuk. "Kamu kenapa?" tanyanya lembut.

Aku ragu mau menjawab. Tidak tau bagaimana mengatakannya dengan baik. "Kayaknya... orang tua kamu ga suka sama aku," jawabku akhirnya biarpun bukan ini yang aku maksud.

"What?" Fathir terlihat terkejut, "no," bantahnya, "mereka suka banget sama kamu. Justru yang aku khawatirin, kamu yang kurang cocok sama mereka."

Aku menggeleng cepat. "Mereka baik kok. Aku suka."

Fathir diam sejenak, menatapku penuh makna tanpa aku mengerti apa yang dia pikirkan. Dia maju lalu mengecup keningku cukup lama, lebih lama dari biasanya.

"Tidur yang nyenyak ya," bisiknya. Wajahnya masih sangat dekat di hadapanku. "Besok, lunch?"

Aku mengangguk, tersenyum. Kemudian Fathir pamit pulang. Aku menunggunya, masih dengan senyumku, sampai dia hilang masuk ke lobi. Sikapnya yang seperti ini yang selalu membuatku terenyuh. Aku bisa merasakan betapa sayangnya Fathir padaku.

Dan tidak seharusnya aku membiarkan otakku sedikitpun memikirkan Ezra.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang