Chapter 11 - Déjà Vu

12.5K 1.6K 17
                                    

Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore dan aku masih terduduk di kamarku memperhatikan kartu nama Fathir di tanganku. Yang membuatku pusing adalah teori Ezra yang dijelaskannya kemarin malam. Kalau aku menelfon bilang kalau aku ga bisa pergi dengannya malam ini, menurut Ezra, Fathir pasti berusaha mencari kesempatan lain, apalagi dia akan punya nomer hpku. Tapi kalau diiyakan, aku yang ga mau. Yang paling benar menurutku ya tidak usah menelfon. Biarpun kata Ezra Fathir akan mencari cara lain, aku tidak yakin. Mana mungkin dia into me. Lagipula jabatannya yang tinggi itu pasti menyibukkan, mana sempat dia mengurus hal seperti ini.

Kenapa aku jadi memusingkan hal ini, deh? Kenapa juga aku jadi kepedean gini? Belum tentu juga Fathir tertarik denganku. Sial. Ini gara-gara Ezra yang meracuni pikiranku.

Sudahlah. Aku tersenyum sendiri. Tanpa pikir panjang lagi aku membuang kartu nama itu ke tempat sampah.

---

Sampai hari Sabtu, enam hari setelah pernikahan Rizky, aku menghabiskan waktuku di rumah. Dua kali Inaya dan Vita, sahabatku jaman kuliah, menyambangiku ke rumah. Kami mengobrol-ngobrol tapi tidak banyak yang kuceritakan, karena memang tidak ada yang bisa diceritakan. Inaya sebentar lagi akan bertunangan, berniat menikah akhir tahun ini. Sementara Vita belum lama putus dengan pacarnya, tapi dia terlihat santai-santai saja.

Tidak sekalipun aku kepikiran soal Fathir, tidak, sampai tiba-tiba orang itu muncul di Aksara ketika aku tengah iseng mencari novel karena buku-bukuku di rumah sudah habis kubaca.

"Hai," sapanya ringan. "Kebetulan banget ya ketemu di sini."

Aku tidak yakin dengan itu. Seketika aku teringat teori Ezra. "Lo ngikutin gue?" tanyaku menuduh, kemudian meringis karena bahkan untuk diriku sendiri, aku terdengar bodoh.

Fathir tertawa, tapi tidak mengelak. "You didn't call."

Jadi Ezra benar? Jadi orang ini mengikutiku? Apa itu berarti dia tertarik denganku? Aku menatap orang ini dengan tatapan horror. "Lo tau dari mana gue di sini?"

Fathir terkekeh lagi. Dia kenapa sih?

"Bukan salah gue kalo ternyata lo cerita soal gue ke temen kantor gue." Dia terdengar tersanjung. "Dunia sempit."

Natasha. Seriously, I'm gonna kill her. I will.

Tapi ini tidak menjawab pertanyaanku. Aku tidak pernah berhubungan dengan Natasha, apalagi mengabarinya kalau aku sedang di Aksara.

"Tapi jujur, barusan gue liat lo parkir di depan, makanya gue nyamperin," terang Fathir mengangkat kedua tangannya sambil tersenyum tipis. "Just flattered you told stories about me."

Aku menghela nafas panjang. Orang ini pasti makin kepedean. Aku semakin menyesal menanyakan soal orang ini ke Natasha.

"Jadi, lo bakal beli apa engga?" tanyanya melirik buku di tanganku.

Aku mengernyit bingung kenapa tiba-tiba Fathir menanyakan itu. "Well, masih liat-liat sih," jawabku agak canggung.

Dengan seenaknya dia mengambil buku ini dari tanganku, meletakkannya kembali ke rak, lalu mengambil satu buku lainnya, menyodorkannya padaku. "Kalo lo suka classic romance, lo mesti baca yang ini."

Aku bengong melihatnya, tapi tetap menerima buku rekomendasinya yang bahkan kulihat pun tidak.

"Ayo."

"Hah?" aku mengernyit bingung.

"Gue mau ngajak lo ke tempat ngopi kesukaan gue deket sini."

What?

"Malah bengong. Ayo."

Aku tersentak dari lamunanku. "So-sorry," aku melirik jam tanganku, "udah ada janji."

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang