This feels awful.
Aku terbangun dengan sakit kepala luar biasa. Kepalaku serasa ditimpa beban puluhan kilo. Aku mengerjapkan mataku sambil mengerang, bergerak di atas kasur mencari posisi yang enak.
Tunggu! Ini bukan kasurku.
Cepat, aku membuka kedua mataku. Panik yang melanda membuat sakit kepalaku tidak lagi terasa. Ini benar bukan kasurku. Aku mengintip ke dalam bed cover yang menyelimutiku. Aku mengenakan t-shirt abu-abu kebesaran dan boxer garis-garis. What? Aku tidak ingat aku sempat berganti pakaian, atau sampai di sini. Seketika aku melemas sadar kalau aku tidak mengenakan pakaian dalam.
"Good afternoon, sunshine."
Panik, aku berbalik dan ada Ezra dengan santainya duduk di sofa di samping kasur lalu menyalakan TV sambil kedua kakinya bersilang di atas coffee table sembari menikmati sandwich yang entah mengapa terlihat sangat lezat. Kurasa aku lapar, tapi banyak hal yang ingin kutanyakan saat ini juga. Hanya saja aku tidak tau harus bertanya yang mana lebih dulu. Kenapa aku bisa di sini? Kenapa aku memakai pakaian orang lain? Apa yang terjadi semalam?
"Ini di mana?" tanyaku tegang. Nafasku sampai tidak beraturan karena panik sambil terus menatap Ezra, tidak berani melihat sekeliling.
Tanpa menoleh ke arahku, Ezra menjawab, "apartemen gue."
Oh, no. Kepalaku terasa semakin sakit. Oh, God, seharusnya aku tidak pernah mengiyakan permintaan orang ini. Harusnya aku tau orang ini brengsek. Lebih dari brengsek. No... no... no...
Ezra melirik ke arahku. Aku tidak tau apa aku mengutarakan apa yang ada di pikiranku, atau aku bergumam tidak jelas, tapi ekspresi Ezra berubah. Keningnya mengernyit sejenak lalu mendengus. "Don't worry. I didn't touch you. I wasn't even sleeping here," ujarnya agak sinis sambil kembali menoleh ke layar TV.
Mendengar itu, aku bernafas lega. Lega selega-leganya. Paling tidak kami tidak tidur bersama. "Baju gue mana?" tanyaku.
Dengan dagunya, Ezra menunjuk ke meja bar di belakangnya. Aku melirik ke arah yang ditunjuknya dan mendapati pakaianku rapi terlipat di sana. Aku baru sadar tempat ini seperti studio room, lengkap dengan dapur dan mesin cuci. Tapi aku tidak berniat memperhatikan tempat ini lebih detail. Aku kembali menatap tajam ke Ezra.
"Siapa yang gantiin gue baju?" Aku sama sekali tidak ingat aku sempat mengganti pakaian. "Ini baju siapa?"
"Chill. Gue nyuruh orang hotel yang ngurusin lo—cewek. Dia juga yang nyuciin baju lo. You were soaking wet, remember?" Ezra menaikkan sebelah alisnya ke arahku. "And that's my clothes you're wearing."
Ah, iya. Aku ingat aku loncat ke dalam kolam renang semalam. Tidak ada yang kuingat apapun yang terjadi setelahnya. Ini pertama kalinya aku semabuk itu. Aku memijat keningku yang terasa semakin menusuk.
"I'll give you fifteen minutes and we'll leave."
Aku mengadah dan Ezra sudah berdiri membuka lemari baju di belakang kasur ini. Dia mengambil satu stel pakaian lalu berjalan ke dapur sambil meletakkan pakaiannya di bahu dan membuka rak di atas meja westafel, mengambil sesuatu yang tidak bisa kulihat. Dia mengisi satu gelas air dari dispenser lalu berjalan ke arahku.
"Here, aspirin," ujarnya menjulurkan tangan kanannya yang berisi satu butir aspirin dan segelas air di tangan kirinya.
Aku meraih keduanya lalu menenggak aspirin dibarengi dengan sedikit air. Aku menyerahkan kembali gelas itu ke Ezra yang masih berdiri di hadapanku.
"Inget, lima belas menit. I'll be in the room across the hall," ujarnya lalu berbalik, meletakkan gelas itu di atas meja bar dapur. "There are some foods in the fridge. Ambil aja semau lo," lanjutnya lalu berjalan keluar.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...