"Boleh duduk di sini?" tanya Ezra sopan ke Fathir, sementara aku masih membuang muka. Benar dugaanku. Aduh, mudah-mudahan dia tidak bicara yang aneh-aneh.
"Boleh, silahkan," jawab Fathir dengan senyum ramahnya. Aku diam-diam melirik ke arah Ezra, yang hebatnya bisa kebetulan sedang melirik ke arahku juga sambil menarik kursinya dan duduk. Buru-buru aku kembali mengalihkan pandanganku.
Ezra menjulurkan tangannya ke Fathir yang langsung disambut hangat. "Ezra."
"Fathir."
"I know you," celetuk Ezra bangga, membuatku langsung melirik panik ke arahnya, lalu ke arah Fathir yang mengernyit heran. "You're the sick guy on the plane," lanjut Ezra santai sambil tersenyum cukup lebar.
Fathir tersenyum kaget sekaligus heran. Dia menoleh ke arahku seolah meminta penjelasan. Aku sudah membuka mulut ingin menjelaskan, tapi keduluan orang itu.
"Ah, dia ga cerita?"
Fathir kembali menoleh ke Ezra, masih kebingungan.
"I was with her, on that flight," terang Ezra yang entah kenapa terdengar seolah kami memang melakukan perjalanan bersama. It wasn't like that.
Buru-buru aku meletakkan tanganku di atas tangan Fathir di atas meja, membuatnya menoleh kepadaku. "Iya kebetulan kita satu flight, soalnya yang beliin tiket kita Rizky. Kan waktu itu aku ke Jakartanya buat nikahan Rizky." Aku tersenyum hangat ke arah Fathir yang mulutnya membulat.
Masih dengan tersenyum, namun kali ini kupaksakan, aku menoleh ke Ezra dan mendapati dia sekilas memperhatikan tanganku yang menggenggam tangan Fathir. Aku mengernyit ketika Ezra mengalihkan tatapannya ke arahku. Dia terlihat terhibur, tapi aku merasa dia lebih seperti mengejekku. Aku segera mengalihkan pandanganku kembali ke Fathir.
"Sorry, gue ga ngenalin lo. I was pretty sick that time," ujar Fathir meminta maaf.
"No that's fine. I could see that," ujar Ezra santai. "Besides, how could you notice me with her lovely face around?" Ezra melirik ke arahku sejenak dengan tatapan menggodanya. Aku memutar bola mataku jengah.
Fathir tertawa renyah sambil merangkulku lalu mengusap kepalaku. Di dalam rangkulan Fathir, aku tetap menatap Ezra sinis. Aku cuma bisa berharap dia tidak akan menyebut apapun tentang malam itu. Sungguh, aku benar-benar menyesal pernah berbaik hati menemaninya.
"So," kedua mata Ezra menyipit menyelidiki kami berdua. "You guys are a thing now?"
Sebelum menjawab, Fathir menoleh ke arahku lalu menyematkan rambutku ke belakang telinga. Aku menoleh ke arahnya dan mendapati dirinya menatapku dengan senyum tulus. "Lucky me, huh?" ujarnya sungguh-sungguh, tidak sedetikpun melepaskan pandangannya dari mataku.
Aku terenyuh. Sikap Fathir seperti ini yang membuatku yakin kalau dia benar menyayangiku. Tentu saja belum sesayang Tama padaku. Tapi tatapannya, senyumnya, dan sentuhannya membuatku yakin kalau tidak perlu waktu yang lama untuk dia menjadi the closest one to Tama for me.
Ezra berdeham, membuyarkan lamunanku dan menyadarkanku dengan keberadaannya yang barusan sempat aku lupakan.
Kami berdua sama-sama menoleh ke arahnya. Fathir masih dengan senyumnya yang tulus, sedangkan aku hanya bisa berusaha untuk tidak terlihat terlalu sinis.
"Out of curiousity," ujar Ezra bertopang dagu di atas meja, menatap kami bergantian. "Sejak kapan kalian started dating?"
Aku mengernyit tidak mengerti. Untuk apa dia menanyakan hal ini?
"Hmm... udah sebulan lebih ya?" Fathir menoleh kepadaku dengan wajah berfikir.
Aku tersenyum sambil mengangguk mengiyakan. Fathir benar-benar seperti Tama, tidak begitu memusingkan tanggal jadian. Untungnya untuk mereka, aku bukan tipe perempuan yang repot dengan anniversary yang malah dirayakan setiap bulan dan marah setengah mati kalau pasangannya lupa tanggal jadian.
"Oh," gumam Ezra. Dan ketika aku menoleh ke arahnya, dia mengulum senyum menatapku, seolah aku bisa mengerti apa maksudnya.
Tunggu! Oh, no. Sepertinya aku mengerti maksudnya. Orang ini pasti berniat mencocokan kapan aku mulai berpacaran dengan Fathir dengan kejadian aku mabuk berat waktu itu. Memang tidak lama setelah itu sih, tapi mudah-mudahan dia tidak menyinggung apa-apa.
"Lo ga pesen makanan?" tanyaku sambil sedikit melebarkan mataku dan tersenyum dibuat-buat berharap dia mengerti kalau ini kode dariku agar dia tidak banyak bicara.
Ezra malah mendengus pelan sambil menyeringai tipis. "I had lunch," jawabnya. "Tapi dessert is fine." Dia memutar sedikit tubuhnya dan begitu menemukan sosok waitress, dia mengangkat sebelah tangannya memanggil.
Huft. Aku rasa sementara ini aku aman. Apa sebaiknya aku dan Fathir pamit pulang duluan?
"Ngobrolin apa nih?" Dewi muncul dengan senyum lebarnya menarik kursi di samping Ezra dan duduk dengan kedua tangan terlipat di atas meja. "Eh, Fat. Gue udah tanyain ke temen gue. Katanya bisa kok didiskon lagi buat grup kantor lo. Masih buat tiga bulan lagi kan?"
"Yes!" Fathir menyeringai senang. "Thank you banget ya, Wi. Langsung di-book aja deh buat tiga puluh orang. Kamu yakin ga mau ikut, sayang?" tanyanya padaku. Aku menggelengkan kepala dengan bibir merengut.
"Mana mau dia diajak diving," celetuk Dewi yang hanya kubalas dengan senyum sinis.
"You never dive?" tanya Ezra terlihat terkejut. Memangnya aneh? Banyak kok orang yang tidak pernah dan tidak mau diving. Aku menggelengkan kepala singkat.
"Jangankan diving, snorkeling aja ga berani," ujar Dewi sambil terkekeh mengejek.
"Wow," gumam Ezra terdengar tidak percaya.
"Bukannya ga berani," protesku kesal. "Males aja."
Ezra menggelengkan kepalanya sambil mendengus mengejek.
"Kalo ga takut, ayo diving," tantang Dewi mantap. Apa-apaan sih, jelas-jelas dia tau aku takut laut. Teman macam apa Dewi, bukannya membelaku, malah menjebak. "Weekend depan boat bokap gue belom ada yang booking. Kita bisa ke Tulamben aja yang deket."
"Yuk!" Fathir menyambut penuh semangat.
Ini lagi satu. Apa dia lupa aku beneran takut laut? Duh. Aku berdecak pelan. "Hmm... boleh juga, sih. Tapi gue ga bisa ikut diving-nya dong. Gue ga punya license," ujarku sok santai memberi alasan. Fathir memang cukup sering diving dan punya license. Begitu juga dengan Dewi. Walaupun sebenarnya alasanku sama sekali tidak solid karena di Bali banyak orang yang diving bebas tanpa perlu license. Aku sudah siap mendengarkan ocehan Dewi mematahkan alasanku.
"Don't worry. I'm a certified diving instructor," Ezra membuka suara. Aku menoleh cepat ke arahnya, senyum liciknya tersungging.
Aku mengernyit protes kepadanya. Memangnya ada yang mengajaknya ikut? Dan dia seorang diving instructor? Aku tidak percaya.
"Great!" seru Dewi sumringah. "Berarti gue ga perlu ngajak Marcel."
Kedua mataku menyipit sinis. Berarti tadi Dewi berniat membawa-bawa nama Marcel untuk membantah alasanku. Marcel adalah teman Dewi yang kebetulan seorang diving instructor. Aku tidak pernah bertemu dengannya, tapi Dewi cukup banyak bercerita soal pria yang juga adalah salah satu mantannya.
"Is it okay kalo gue bawa temen satu orang?" tanya Ezra kepada Dewi.
Aku tidak lagi mendengarkan kelanjutan pembicaraan mereka. Yang otomatis kupikirkan sekarang cuma bagaimana cara membujuk Fathir untuk membatalkan rencana ini. Membujuknya di depan Dewi dan Ezra adalah hal yang percuma. Aku punya waktu seminggu untuk melakukan itu.
Dia kan pacarku. Sudah seharusnya dia dipihakku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...