Chapter 40 - It Feels Right

9.4K 1.4K 80
                                    

Aku masih tidak bisa melepaskan pandanganku dari cincin yang menghiasi jari manisku sekarang. Walaupun sempat ragu dan dalam hati berharap Fathir tidak menanyakannya saat itu juga, aku tau keputusanku sudah tepat. Semua yang Fathir lakukan sudah sempurna. Dan memang dia yang terbaik untukku. Dia baik, cerdas, pekerja keras, penyayang, dan selalu mengutamakanku. Hanya dengan Fathir aku tidak akan merasa mengkhianati Tama. Entah karena apa. Mungkin karena justru Fathir selalu mengingatkanku pada Tama dengan sifat dan sikap mereka yang mirip. Aku beruntung bisa bersamanya sekarang. Dan dia kemudian menawariku to spend the rest of our lives together, aku tidak bodoh untuk menolaknya.

"Jangan diliatin terus, nanti bosen."

Aku menoleh ke Fathir yang sedang menyetir di sampingku. Kami sudah dalam perjalanan pulang dari Padma. Semua tamuku tadi sudah pulang ke penginapan masing-masing. Rencananya orangtuaku dan mas Adam akan menginap di guest house milik Dewi besok malam. Sampai ketika pulang, aku tidak lagi melihat sosok Ezra. Entah dia sudah pulang atau bagaimana, aku enggan memikirkannya.

"Ga bakal bosen, sih, kayaknya," jawabku. "At least, ya... setaun dua taun deh," lanjutku sambil menggoyangkan tanganku dengan telapak menghadap ke bawah membuat gesture kira-kira.

Fathir tertawa. "Jangan gitu dong. Aku mau kamu pake itu selamanya," ujarnya sekilas menoleh ke arahku dengan mata melotot dan wajah yang dibuat seram dan didramatisir.

Giliran aku yang tertawa. "Iya, deh, iya."

Dengan menatap jalanan di depan, Fathir tersenyum simpul dan aku bisa melihat dia sangat lega dan bahagia. Dia meraih sebelah tanganku, menggenggamnya lembut. Dan melihat tanganku di dalam genggamannya, aku tersenyum. Aku yakin, keputusanku untuk bersedia menikahinya adalah keputusan yang tepat.

---

"Aku ga ikut masuk, ga papa?" tanya Fathir begitu mobil sudah diparkirkan di guest house. "Aku mesti langsung ke hotelnya mama papa."

Aku mengangguk. "Iya, ga papa, kok. Aku yakin aku bisa sendiri dari sini sampai kamar dengan selamat," jawabku. "Kecuali Dewi tiba-tiba numpahin sesuatu, terus aku kepleset sampai cedera."

"Hush," sanggah Fathir tapi tetap tertawa pelan.

"Ya udah, aku masuk dulu ya," pamitku hendak berbalik membuka pintu. Tapi Fathir buru-buru menarik tanganku, tangan yang sekarang jarinya sudah dihiasi cincin pemberiannya.

"Sebentar," gumam Fathir memperhatikan cincin darinya di jariku. Dia menatapnya sambil tersenyum, seolah masih belum percaya kalau cincin itu ada di sana. Wajar saja, karena aku sendiri masih belum percaya.

Fathir kemudian mengecup lembut tanganku yang tadi diperhatikannya. Masih dengan bibirnya menempel di punggung tanganku, dia menatapku. Aku tersenyum tersipu.

"I love you," bisiknya lembut.

Aku mengulum senyum. Tidak mampu membalas karena kehabisan kata-kata. Sebagai gantinya, aku maju dan mengecup pipinya lembut. "Thank you, sayang," bisikku dekat telinganya.

Kemudian aku turun dari mobil. Aku masih berdiri di sana, melambaikan tangan sampai mobil Fathir melesat di jalanan. Aku membuang nafas panjang begitu mobil Fathir sudah tidak terlihat, lalu berjalan masuk ke dalam. Banyak mobil yang terparkir. Mungkin guest house ini sedang banyak tamu. Tapi menurut Dewi masih ada satu bungalow kosong untuk diinapi keluargaku besok.

Aku masih di perjalanan menuju rumah, melewati tanaman-tanaman besar dan kolam renang beserta patung-patung ala Bali di antara lobi dan rumahku, ketika aku merasa diperhatikan. Aku sempat berhenti sejenak, memasang telinga. Tidak ada suara siapa-siapa. Aku kemudian mengabaikannya dan kembali berjalan.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang