Chapter 8 - Is There A Doctor Here?

13.6K 1.8K 44
                                    

"Halo, Kan?"

"Ky, undangan lo udah sampe nih." Aku melirik ke undangan berwarna rusty brown di tanganku yang baru saja sampai, sebulan setelah kepulangan Rizky dan kak Bila dari Bali.

"Asik deh... tiket pesawatnya juga kan?"

Aku tersenyum tipis melihat amplop putih yang datang bersamaan dengan undangan tersebut. "Udah. Lagian lo nih ya, gue udah bilang tiket pesawat gue beli sendiri aja. Kan ke Jakarta doang, anggep aja gue pulang."

Rizky terkekeh. "Lo itu tamu penting. Wajar dong undangannya dateng berikut tiket pesawat."

Aku mendengus tersenyum. "Thanks ya, Ky."

"Anytime, Kan."

Aku sudah mau menutup telfon ketika Rizky tiba-tiba teringat sesuatu. "Oh, ya, Kan. Si Ezra juga flight-nya bareng sama lo. Barengan aja ke airportnya kalo mau, biar gue suruh Ezra jemput lo."

Oh, God. Aku menelan ludah sebelum menjawab, "ga usah, Ky. Gue sendiri aja. Kesian dia kalau ke Ubud dulu. Muter jauh." Tentu saja alasan yang sebenarnya adalah aku sebisa mungkin meminimalisir kemungkinan harus bertemu dengan pria itu. Aku lupa kalau orang itu kemungkinan besar datang ke acaranya Rizky. Aku lupa kalau mereka bersaudara.

Untungnya Rizky tidak memaksa. Aku menghela nafas berat ketika aku sudah menutup telfon. Selama sebulan ke depan aku harus gencar berdoa agar Ezra ketinggalan pesawat, atau lebih baik kalau dia tidak jadi datang ke Jakarta.

---

Doaku tidak terkabul.

Saat aku tengah santai duduk di My Kopi'O ruang tunggu airport, aku menangkap sosok Ezra di kasir café ini sedang memesan sesuatu. Untungnya aku duduk agak di dalam, jadi masih ada kemungkinan besar dia belum melihatku. Aku buru-buru menenggelamkan wajahku dengan mengangkat buku yang kubaca tinggi-tinggi. Dari balik buku, aku terus memperhatikan gerak-gerik Ezra. Dia duduk empat meja dariku, untungnya. Tapi sialnya, dia duduk dekat dengan pintu keluar, jadi sulit untuk keluar dari tempat ini tanpa dilihatnya. Sial. Padahal aku sudah cukup lega tidak berpapasan dengannya saat check-in barusan. Aku sudah berharap dia tidak berangkat.

Setengah jam aku duduk tidak tenang, sambil sesekali melirik ke arah Ezra berharap dia tidak sadar dengan keberadaanku di sini. Sejauh ini aku aman-aman saja karena orang itu terlihat santai membaca buku tanpa sekalipun mengadah. Baguslah.

Tapi begitu boarding call pesawat kami sudah terdengar, Ezra tidak bergeming padahal rencanaku membiarkannya naik pesawat dan aku baru menyusul saat final call. Cuma dengan cara itu aku aman, paling tidak sampai pesawat mendarat. Aku mulai panik ketika antrian di gate 4 sudah mulai menipis tapi Ezra belum bergerak sama sekali.

Apa dia ga denger? Tapi ga mungkin. Apa jangan-jangan pesawat kami beda? Engga, ah, Rizky bilang flight-nya sama. Tunggu, Rizky bilang flight-nya bareng, apa maksudnya dua flight berbeda tapi waktunya hampir bersamaan? Memang benar ada penerbangan lain ke Jakarta setengah jam lagi. Ah, screw it.

Aku baru saja bangkit mau menyerah dan berniat berjalan menuju pintu gate, tidak peduli kalau Ezra melihatku, ketika cowok itu menutup bukunya. Aku langsung duduk kembali, memperhatikan Ezra berjalan menuju pintu gate 4, menyerahkan tiketnya, lalu masuk dan tak terlihat lagi. Aku tetap diam sambil mengetuk-ngetukan jari-jariku di atas meja, berusaha sabar sampai akhirnya final call dibunyikan. Detik itu juga aku berdiri, mengambil tasku, dan berjalan cepat menuju pintu gate 4 yang sudah kosong. Aku lega melihat antrian naik pesawat juga sudah kosong.

Satu yang aku lupa perhitungkan, Rizky yang membelikan tiket kami. Ini juga bukan penerbangan low budget di mana kita harus bayar lebih kalau mau memilih seat. Dan Rizky sama sekali tidak ada bayangan kalau aku alergi dengan sepupunya.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang