Chapter 9 - We Miss Him Too

12.9K 1.7K 21
                                    

Sudah dua puluh menit aku menunggu di depan terminal tiga bandara internasional Soekarno-Hatta. Mas Sasri, supirku, belum muncul juga. Begitu turun dari pesawat, aku langsung menjauh dari Ezra walaupun susah karena kami berjalan ke arah yang sama. Untungnya, Ezra langsung dijemput oleh entah siapa begitu kami keluar dari pintu kedatangan.

"I would love to offer you a lift, but I'm not. So yeah, see you," adalah kalimat terakhir Ezra sebelum dia berjalan menjauh menuju parkiran bersama wanita muda yang dengan mesranya dia rangkul.

Dia pikir aku mau ikut kalau dia menawarkan? Dih.

Jadilah aku menunggu sendirian. Lama melamun, aku jadi teringat kejadian di pesawat tadi ketika aku mengenalkan diri sebagai dokter Kanissa. Jujur, aku rindu saat-saat aku bertindak menolong orang di saat darurat. Tapi aku tidak yakin aku siap kembali ke rumah sakit, kembali menjaga ruang IGD. Memikirkannya saja sudah membuat dadaku sakit. Tidak. Aku tidak akan menyiksa diri dengan kembali menjadi dokter. Aku sudah cukup tenang dengan hidupku seperti sekarang.

---

"Oh. My. God. Kamu cantik banget, sayang," puji kak Bila begitu aku menghampirinya di meja penerima tamu. Malam ini malam resepsi Rizky dan Rania. Tadi pagi akad nikah sudah berlangsung dengan khidmat.

"Kak Bila juga," pujiku balik sesaat sebelum cipika-cipiki. "Kita jadi penerima tamu, Kak?" tanyaku polos karena kami memakai gaun dengan bahan satin krem muda yang diberikan Rizky dua bulan yang lalu. Gaunku sendiri diurus bunda karena aku tidak tau penjahit yang bagus di Bali. Sebenarnya bisa saja aku minta rekomendasi Dewi, tapi jujur alasan utamaku adalah aku malas mengurus hal ini. Aku serahkan sepenuhnya ke tukang jait langgananku di sini yang memang sudah tau ukuran badanku. Aku bahkan baru tau model gaunnya kemarin sore, ketika aku baru sampai rumah. Gaun panjang polos model one shoulder menjadi pilihan bunda untukku. Aku tidak keberatan, karena memang tidak peduli. Apapun modelnya tetap akan kukenakan tanpa protes.

"Oh, engga. Aku cuma iseng aja bantuin. Tugas kita entar ngiringin Rizky sama Rania."

"Oh," aku manggut-manggut.

"Hi ladies!"

There he comes. Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum menoleh ke belakang, menghadapi Ezra. Dia mengenakan setelan jas dan celana hitam, dengan kemeja putih open collar.

"You two are dazzling!" serunya dengan kedua tangan terbuka. Kak Bila berterima kasih sambil tersenyum sementara aku hanya tersenyum hambar. "Who's that girl over there?"

Aku dan kak Bila mengikuti arah tunjuk Ezra. "Oh, itu Natasha, sepupunya Rania," kak Bila menjawab. Aku sendiri tidak tau siapa wanita bergaun sewarna denganku dan kak Bila itu.

"Schweet," gumam Ezra dengan seringai menggodanya memandang ke arah Natasha yang berdiri sekitar sepuluh meter dari kami.

"Jangan macem-macem lo," ancem kak Bila.

Ezra yang sudah berjalan ke arah Natasha, berbalik menghadap kami. Dia menyeringai sambil mengedipkan sebelah matanya lalu kembali membelakangi kami, siap menyerang mangsanya. Aku hanya bisa menggelengkan kepala sambil berdesis dengan mata menyipit.

Sepuluh menit kemudian kami sudah disuruh berkumpul karena pengantin sebentar lagi akan datang. Aku, kak Bila, dan para bridesmaid dan groomsmen lainnya menunggu di pintu masuk sementara para tamu sudah duduk di dalam. Menurut kak Bila ada seribu undangan yang disebarkan, aku yakin lebih dari dua ribu orang yang datang. Orang tua Rizky memang orang penting.

Begitu pengantin datang, kami dipasang-pasangkan sesuai dengan tinggi badan untuk berjalan mengiringi Rizky dan Rania. What are the odds, aku dipasangkan dengan Ezra. Memang Ezra yang paling tinggi di antara groomsmen lainnya dan aku yang paling tinggi di antara para bridesmaid. Aku sendiri tidak mengerti kenapa Ezra bisa-bisanya jadi groomsman. Dia bahkan baru bertemu lagi dengan Rizky di Bali dua bulan yang lalu. Apa Rizky ga punya teman dekat atau saudara dekat yang lebih pantas?

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang