Walaupun tidurku hanya sebentar, begitu aku sadar matahari sudah menyeruak masuk melewati sela-sela tirai jendela, aku otomatis membuka mata dalam satu hentakan. Aku seperti ini karena tiba-tiba ingat kalau ada Ezra di bawah, semalaman menginap di sofaku, rumahku—lebih tepatnya sofa Dewi dan di rumah Dewi.
Aku reflek meraih ponselku, memperhatikan jamnya. Sudah pukul delapan lebih. Apa Dewi sudah bangun? Seharusnya sudah. Hari apapun, Dewi paling lambat bangun pukul tujuh. Kuharap hari ini pengecualian untuknya.
Aku diam sejenak, memasang telinga baik-baik. Aku mendengar suara di dapur yang berarti Dewi sudah bangun. Dia kaget tidak ya, melihat Ezra tidur di sofanya? Dewi pasti mikir yang engga-engga begitu tau Ezra menginap. Kuharap Ezra bisa menjelaskannya dengan baik. Itu pun kalau sempat. Kalau dia sudah pulang sebelum Dewi bangun, bagaimana?
Apa yang kupikirkan? Justru bagus kalau Ezra sudah pulang, apalagi kalau sebelum Dewi bangun.
Ah, entahlah.
Aku bangkit dari kasurku dan berjalan cepat menuju kamar mandi. Tidak sampai lima menit, aku sudah selesai sikat gigi dan mencuci muka. Cukup deg-degan, aku membuka pintu kamar yang memang berada di ujung tangga. Begitu kubuka pintu kamarku, masih berdiri di bingkai pintu, kudapati Ezra dan Dewi tengah berbincang-bincang santai di dapur. Dewi sedang membuat sesuatu sedangkan Ezra, yang terlihat baru bangun karena rambutnya yang berantakan, tengah duduk santai di kursi bar, menghadap Dewi. Mendengar aku membuka pintu, keduanya serentak mengadah, menoleh ke arahku. Aku menelan ludah.
"Good morning, Princess!" seru Dewi cukup riang, sementara Ezra hanya tersenyum tipis.
Aku mengernyit curiga, sambil berjalan menuruni tangga.
"Nih, gue bikinin omelet," ujar Dewi ketika aku sudah bergabung bersama mereka di dapur. Aku duduk di samping Ezra, masih dengan wajah curiga. Ketika Ezra menoleh singkat ke arahku, baru kuperhatikan kalau tulang rahang dan pipinya sudah membengkak hasil dari kejadian semalam.
"Kenapa ga bilang sih kalo Ezra nginep? Harusnya lo bangunin gue. Kesian dia tidur di sofa. Kan bisa gue bukain kamar di sebelah," cerocos Dewi panjang lebar.
Aku melirik ke arah Dewi dan Ezra bergantian. Lalu aku tertawa pelan. Bisa-bisanya aku bangun dan panik, khawatir dengan apa yang mungkin akan terjadi di sini.
"What?" Ezra melirik ke arahku dengan satu alis terangkat.
Aku mengulum senyumku lalu menggelengkan kepala. "Gapapa. Yuk, makan."
---
Satu jam lamanya kami bertiga sarapan bersama di meja bar dapur, membahas hal-hal mulai dari yang penting seperti keadaan ekonomi dan politik, sampai ke hal yang tidak jelas seperti bagaimana salah satu anggota tim redaksi majalah milik Dewi salah menaiki mobil yang ternyata bukan miliknya. Yang paling banyak bicara tentu saja Dewi, tapi aku juga ikut menimpali dan tertawa. Rasanya sudah lama aku tidak menikmati pagi seperti ini. Jarang-jarang aku seceria ini pagi hari.
Ketika Dewi permisi untuk mandi karena dia ada janji dengan temannya, Ezra pamit pulang. Sementara Dewi sudah masuk ke dalam kamarnya, aku menemani Ezra sampai ke depan.
"Jangan lupa, itu bengkaknya dikompres," tuturku mengingatkan ketika dia sudah membuka pintu mobilnya, hendak masuk. "Kalo kepala lo tiba-tiba sakit terus mual-mual, langsung ke rumah sakit. Jangan malah ke sini."
Ezra menunduk sekilas sambil terkekeh. "Thanks," gumamnya dengan seringai tipis.
Aku manggut-manggut membalas senyumnya. "You're welcome."
Setelah sekali lagi bertukar senyum, Ezra masuk ke dalam mobilnya dan menutup pintu. Begitu mesin dinyalakan, dia langsung menurunkan kaca jendelanya. Dia menaikkan kedua alisnya singkat sambil menyeringai tipis ke arahku sebelum menoleh ke belakang dan memundurkan mobilnya. Aku tersenyum mengantarkan kepergiannya dengan melambaikan tangan santai. Begitu sudah keluar dari parkiran, Ezra membunyikan klaksonnya singkat lalu menancap gas pergi. Aku masih berdiri di tempat yang sama, memandang ke jalanan sampai mobil Ezra tidak lagi terlihat. Baru kemudian aku berjalan santai masuk ke dalam, tak lupa menyapa mbak Pur dan mas Agung yang sedang berjaga di lobi.
Saat aku masuk kembali ke dalam rumah, yang langsung terlihat adalah kaos milik Ezra menggantung di salah satu tangan sofa di ruang santai. Kaos yang tadi malam dikenakannya sebelum akhirnya dia berganti pakaian dengan kaos milik ayah. Dengan langkah ringan, aku mengambil kaos itu dan menaiki tangga, masuk ke kamar. Dengan ponselku, aku segera menghubungi Ezra.
"Kaos lo ketinggalan," ujarku langsung begitu Ezra mengangkat telfonnya, tidak membiarkannya menyapa terlebih dahulu.
Dari seberang sana dia terkekeh. "Simpen aja dulu. Kapan-kapan gue ambil," ujarnya. Kupikir dia akan putar balik karena pastinya dia belum jauh. Tapi kalau memang dia memilih untuk jauh-jauh datang ke sini lagi, itu suka-suka dia.
"Sekalian ngembaliin kaos lo," lanjutnya.
Aku mendengus tertawa. "Bebas," jawabku ringan. "Inget dibalikin aja, itu kaos penting," lanjutku dengan nada mengancam. Ezra lagi-lagi terkekeh.
Saat aku mematikan telfon, aku baru ingat sesuatu. Aku ada janji makan siang dengan Fathir. Sambil bersiul riang, aku berjalan menuju kamar mandi, bersiap-siap.
---
Sudah hari Senin, dan aku sudah mengumpulkan artikel tentang gala dinner itu ke tim redaksi majalah milik Dewi, tapi Ezra belum juga mengabariku kapan dia akan mengembalikan kaos milik ayah. Bukannya aku tidak sabar atau ingin dihubungi olehnya, tapi kaos itu kaos kesayanganku. Biarpun sudah beberapa bulan ini tidak pernah kupakai lagi, entah kenapa aku sedang ingin-inginnya mengenakan kaos itu. Mungkin karena melihat kaos itu dipakai Ezra? Atau karena aku rindu dengan ayah? Entahlah. Yang pasti aku butuh kaos itu, segera.
Aku sedang duduk sendirian di sofa ruang santai, menonton berita tidak jelas karena aku sedang bosan ketika tiba-tiba ada yang mengetuk pintu rumah.
TOK! TOK! TOK!
Aku menoleh ke arah pintu di belakangku. Siapa yang datang? Aku tidak ada janji dengan Fathir, dan Dewi sedang tidak ada di rumah. Apa mungkin Ezra?
Tidak berniat membuat si tamu mengetuk lagi, aku bangkit dan berlari kecil menuju pintu lalu membukanya. Rupanya mbak Pur.
"Kenapa, Mbak Pur?"
"Ini, Mbak Kaniss, ada tamu yang nyariin Mbak."
"Hah?" Tumben.
Lalu sesosok wanita muncul dari bagian yang luput dari penglihatanku barusan. Dia tersenyum simpul ke arahku. Wow. Aku tertegun dengan kecantikannya. Dia mengingatkanku pada... I don't know, Barbara Palvin?
"Hi, Kaniss," sapa wanita itu menjulurkan tangan yang kusambut beberapa detik lebih lambat karena masih terpukau. Dia siapa?
"Permisi, Mbak." Mbak Pur permisi pamit meninggalkan kami berdua di teras.
Aku masih mengernyit tidak mengenali wanita ini. Tapi aku tetap berusaha sopan. Aku tersenyum canggung seraya bertanya, "I'm sorry, but... do I know you?"
Wanita itu malah tertawa pelan. Membuatku semakin keheranan.
"No... tapi kamu kenal adik saya." Aksen bahasa Indonesianya buruk. "Perkenalkan, saya Emma Reinhard,"—tatapan itu, tatapan menghipnotis itu—"saya kakaknya Ezra."
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...