Keesokan harinya setelah kejadian di La Laguna, aku memutuskan untuk ikut bunda dan ayah pulang ke Jakarta. Mereka sangat menyetujui keputusan mendadakku, termasuk Fathir. Mereka langsung berasumsi kalau alasanku pulang adalah untuk memberitahukan kabar bahagia soal pertunanganku ke keluarga besar. Baguslah, jadi aku tidak perlu repot-repot memberi alasan. Bagaimana mungkin aku jujur pada mereka dan bilang kalau alasanku pulang ke Jakarta kali ini adalah alasan kepindahanku ke Bali. Untuk pertama kalinya aku pulang karena aku rindu Tama.
Semua yang terjadi denganku, Ezra, dan juga Fathir, membuatku sangat merindukan Tama. Aku merasa bersalah sudah terlalu terbuai dengan semua ini sampai aku tidak sesering dulu memikirkan Tama. Yang sekarang menjadi pikiranku adalah seandainya Tama tidak meninggalkanku, aku tidak perlu terjebak drama seperti ini. Tama tidak mungkin pernah memposisikanku seperti ini. Tapi kemudian aku sadar, Fathir tidak bersalah. Ini semua salah Ezra. Ezra yang membuatku mempertanyakan kewarasanku. Ezra yang membuatku kesulitan tidur. Ezra yang membuatku menjadi seseorang yang bukan aku, seseorang yang bisa mencium pria lain satu jam setelah mengiyakan lamaran kekasihnya. Dia menciumku lalu pergi begitu saja. Aku benar-benar dibuatnya hampir gila. Fathir memang tidak salah—aku yang justru amat bersalah padanya. Tapi aku hanya ingin melepas diri sejenak dan fokus dengan Tama. Untungnya Fathir tidak bisa cuti mendadak, jadi dia tidak ikut pulang bersamaku.
Hal pertama yang ingin kulakukan di Jakarta adalah mendatangi makam Tama. Tapi pesawatku mengalami keterlambatan, jadi aku baru sampai larut malam. Baru keesokan harinya, selesai sarapan, aku pergi mengunjungi makam Tama sendirian.
Aku duduk di samping makam yang bertuliskan Aditama Prayoga sampai hampir satu jam lamanya. Aku berdoa, bercerita, dan sempat menitikan air mata padahal aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk tidak menangis di makam Tama. Aku rindu padanya. Sangat amat rindu. Aku membutuhkannya. Terlebih saat-saat ini, di mana aku tidak tau apa yang harus kulakukan. Apa yang harus kulakukan untuk menghapus memori Ezra menciumku? Perasaanku campur aduk setiap bayangan wajah Ezra muncul. Dan bayangan itu selalu muncul. Kenapa hal itu bisa terjadi padahal aku sudah memiliki Fathir, pria yang sangat mirip Tama dan jelas bisa membahagiakanku?
Merasa tidak lagi bisa mengobati rindu pada Tama dengan duduk di sini lebih lama lagi, aku bangkit dengan sebelumnya sekali lagi berdoa untuk Tama. Aku kemudian pergi ke destinasiku selanjutnya, rumah keluarga Tama.
Tante Eva, mamanya Tama, sangat terkejut dengan kemunculanku yang mendadak ini. Aku meminta maaf karena tidak mengabari sebelumnya, tapi beliau dengan hangat menyambutku dan berkata kalau sampai kapan pun aku bebas datang ke rumahnya tanpa perlu khawatir soal memberi kabar. Dua jam lebih kami mengobrol bertukar kabar. Awalnya aku sempat dilanda dilema berat soal kabar pertunanganku. Satu sisi aku merasa tidak enak kalau mengumumkan kalau aku sudah menemukan pria lain setelah kepergian anaknya. Ditambah lagi, semenjak kejadian dengan Ezra, aku jadi ragu dengan pertunangan ini. Aku harus memastikan kalau Ezra tidak akan lagi menggangguku, dan aku bisa seratus persen untuk Fathir. Tapi kalau aku tidak memberi tahu tante Eva sekarang soal Fathir, aku tidak mau sampai beliau mendengar kabar ini dari orang lain. Tante Eva sudah seperti ibuku sendiri. Aku merasa tidak enak sudah lama tidak memberinya kabar.
Ketika tante Eva permisi untuk mengangkat telfon, aku meminta izin untuk mengunjungi kamar Tama. Memang itu tujuan utamaku datang ke sini. Tante Eva mengiyakan dengan senyum mirisnya. Biasanya aku terganggu dengan cara orang yang memandangiku prihatin. Tapi ini tante Eva, orang yang jauh lebih kehilangan Tama dibanding aku. Aku tidak berhak protes soal cara tante Eva memandangku. Aku yakin tanpa sadar aku juga memandang beliau dengan cara yang serupa.
Begitu masuk ke kamar Tama, perasaanku tidak karuan. Ini pertama kalinya aku masuk ke kamarnya setelah dia pergi. Melihat barang-barangnya masih tertata dengan posisi yang sama ketika dia masih hidup, perasaanku campur aduk. Yang pasti, melihat ini semua membuatku sedikitpun tidak lagi peduli soal Ezra. Ini pertama kalinya dalam waktu yang cukup lama—terlebih dua hari belakangan ini, aku benar-benar lepas dari pengaruh bayangan Ezra. Aku bahkan bisa melupakan fakta kalau aku sudah bertunangan dengan Fathir. Berada di antara barang-barang Tama yang sangat familiar bagiku, membuatku merasa kalau Tama masih ada. Kalau dia masih milikku, dan aku masih miliknya. Kalau Tama tidak pernah pergi, dan tidak ada Ezra ataupun Fathir.
Walaupun sedih, ini membuatku lega, karena berarti aku masih mencintai Tama lebih dari siapa pun. Tama masih nomer satu untukku.
Aku perlahan mengelilingi kamar Tama, memperhatikan setiap barang, setiap sudut, setiap catatan, setiap apapun yang bisa kulihat di sini. Aku tersenyum setiap melihat sesuatu yang membawa memori tentang Tama. Aku bangga karena aku bisa mengenali hampir seratus persen isi kamar ini. Tidak ada satu pun orang yang kukenal lebih dari Tama. Dan tidak ada orang yang mengenalku lebih dari Tama.
Aku duduk cukup lama di meja belajarnya, membuka dan membaca catatan-catatan sekolah milik Tama. Dulu catatan-catatan ini tidak ada penting-pentingnya, tapi sekarang rasanya setiap coretan tangan Tama sangat berharga. Aku bangga pada diriku sudah sekuat ini mampu membuka semua memori ini. Jangankan aku dua tahun yang lalu, aku beberapa bulan yang lalu pasti akan menangis histeris hanya untuk melewati pintu kamar Tama. Aku sayang padanya. Terlalu sayang.
Kesempatan ini tidak mau kusia-siakan. Aku membuka semua laci yang ada, memperhatikan setiap barang yang dia simpan. Dulu, Tama pasti sudah berteriak mengomel setiap aku membongkar kamarnya. Dia anaknya rapi, dan aku kebalikannya. Aku selalu tertawa setiap melihatnya menggerutu sendiri sembari merapikan barang-barang yang kubongkar.
Hhh. Aku rindu Tama.
Saat aku membuka laci rak bukunya yang paling bawah, aku menemukan kotak ukuran medium yang asing untukku. Aneh, ini satu-satunya barang Tama yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Tanpa ragu-ragu aku membuka isinya, berusaha mengingat karena bisa saja aku yang lupa. Isinya tumpukan foto polaroid yang juga asing untukku. Fotonya agak berdebu tapi gambarnya masih sangat jelas. Aku memperhatikannya satu persatu. Foto pertama adalah foto Tama dan teman-teman kuliahnya di acara yang terlihat seperti kemah. Ada Rizky dan kak Bila. Aku juga bisa mengenali banyak wajah di foto itu. Tidak ada yang aneh atau terkesan spesial. Kenapa Tama harus menyimpannya di dalam kotak ini?
Aku hanya mengangkat kedua bahuku ringan sembari memperhatikan foto-foto selanjutnya. Ada foto Tama, Rizky, dan kak Bila bertiga. Ada foto Tama, kak Bila, Rizky dan Rania. Kenapa Rania bisa ada di acara kemah itu, aku juga tidak tau. Dua foto berikutnya menampilkan Tama dan kak Bila tertawa lepas. Aku bisa membayangkan mereka tertawa karena lelucon-lelucon Rizky yang kebanyakan tidak lucu. Aku mengulum senyum, geli sendiri. Di salah satunya ada tulisan tanggal dengan sharpie. Mungkin tanggal ketika foto itu diambil. Ah, iya. Aku ingat sekarang. Waktu itu aku sedang pertukaran pelajar ke Australia selama tiga bulan. Memang Tama sempat naik gunung dengan teman kuliahnya di masa itu. Aku ingat karena faktor naik gunung, aku jadi jarang berhubungan dengan Tama selama seminggu penuh. Saat itu aku berfikir kalau itu adalah saat-saat di mana aku paling rindu dengan Tama. Siapa yang menyangka kalau aku dan Tama akan berakhir seperti ini.
Di dalam kotak itu aku berhasil menemukan tiga foto lainnya. Tiga-tiganya hanya berisi Tama dan kak Bila. Aku tersenyum melihat mereka berdua. Aku memang punya cukup banyak teman dekat, tapi aku selalu berharap memiliki satu seperti Tama memiliki kak Bila dan sebaliknya. Satu teman yang tumbuh bersama sejak kecil.
Aku memutuskan untuk meletakan kotak itu kembali, tapi begitu aku hendak menutup kotaknya, ada amplop kecil yang menempel di balik tutupnya, mungkin karena sudah terlalu lama disimpan.
Aku membuka isinya. Ada kertas bertulisan tangan yang familiar tapi aku tidak ingat tulisan siapa. Aku membacanya dalam hati.
I've known you first, but you love me later. I always know we are friends, but I've always wondered if we are more. What we had was short, but that's more than enough. At least I've got to know what it's like to be loved by you when I thought it's not possible.
What we've done was wrong, but loving you never was. I wrote this so you can burn it and letting go the feeling or treasure it as you will. We should remain friends because that's what we are destined in this lifetime. Maybe in another.
Your friend, your lover. Always.
B.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...