Chapter 5 - Still Complaining?

13.8K 1.8K 6
                                    

Setelah sekitar lima belas menit perjalanan berlika-liku dan menanjak, akhirnya kami sampai di tempat yang dimaksud Ezra. Dia memarkirkan mobil ini di area kosong berkabut di pinggir jalan. Aku tidak melihat ada turis spot selain sejenis balkon dari beton yang lebih seperti bangunan gagal dan untuk mencapainya harus menaiki beberapa anak tangga dari kayu usang yang sama sekali tidak terlihat aman. Ezra turun dari mobil, dan meskipun kami bertiga masih ragu, kami mengikuti. Ezra dengan santai menaiki anak tangga tersebut. Aku mengikuti setelahnya. Begitu sampai di atas lantai beton ini, aku dikejutkan dengan apa yang disuguhkan di hadapanku. Pemandangan dua danau yang terbelah hutan di bawah sana, berikut pemandangan perbukitan hijau dengan kabut menutupi sebagian besar bagian atasnya. Mulutku menganga tipis terkesima.

"Ez, bagus banget!!" seru kak Bila yang membuatku menoleh ke arahnya di belakangku. Kak Bila, dan Rizky yang berdiri di sampingnya, menunjukkan reaksi yang serupa denganku. Masih dengan mulut menganga, aku tersenyum tipis sambil kembali menatap pemandangan sempurna ini seolah takut pemandangan ini akan lenyap kalau tidak diperhatikan.

"We were there." Ezra yang berdiri dua meter di depanku menunjuk ke danau yang berada di sebelah kiri. Dia menoleh ke arah kami dengan seringai bangga. "Yang satu lagi danau Tamblingan."

Aku manggut-manggut takjub. Aku mendengar kak Bila menggumamkan sesuatu, tapi sepertinya tidak bermaksud bicara denganku jadi aku mengabaikannya sambil berjalan perlahan ke ujung balkon beton ini dan duduk di sana. Sebenarnya ini aku literally duduk di ujung tebing tanpa ada pengaman, dan aku punya phobia pada ketinggian. Tapi di bawah balkon beton ini penuh dengan pepohonan, jadi sedikit membantu memanipulasi setinggi apa posisi kami sekarang. Dan melihat pemandangan di hadapanku, seketika aku merasa tenang, merasa damai, merasa bahagia cukup dengan melihat hamparan pemandangan luar biasa ini.

"Masih protes?"

Aku menoleh dan mendapati Ezra berdiri di sampingku. Dia menunduk menatapku dengan seringai sombongnya.

Aku tersenyum dan menggelengkan kepala. "Bagus banget," cuma itu yang bisa kuucapkan. Lalu aku kembali menoleh menikmati pemandangan ini, tidak peduli kalau Ezra mau meledek atau bercuap-cuap hal yang mengesalkan. Aku tidak yakin ada yang bisa membuatku kesal saat ini.

Namun rupanya Ezra berjalan menjauh. Aku melirik sejenak melihatnya mendekati Rizky dan kak Bila. Dia mengeluarkan sekotak rokok dari kantong celananya lalu bicara dengan Rizky yang langsung memberikan korek api kepadanya. Aku tidak bisa menangkap apa yang mereka bicarakan, tapi aku bisa liat kak Bila menatap Ezra protes ketika cowok itu menyalakan rokoknya. Ezra balas menatap kesal ke arah kak Bila, lalu berjalan menuruni balkon ini dan duduk di kursi usang yang disediakan di bawah sana sambil mengisap rokoknya. Aku hanya menggelengkan kepala, tersenyum melihat tingkah mereka. Kemudian aku kembali memuaskan diri memandangi lukisan karya Tuhan ini.

Tak lama aku sadar kak Bila sudah merapat duduk di sampingku. Dia menjulurkan tangannya yang memegang iPhonenya jauh-jauh. "Foto, yuk," ajaknya. "Ky, deketan sini." Rizky ikut merapat dan kami bertiga tersenyum ke arah iPhone kak Bila.

Kak Bila tersenyum puas melihat hasilnya. "Ky, sekarang lo fotoin gue sama Kaniss dong."

Rizky meraih ponsel kak Bila lalu berjalan menjauh dan mulai memotret kak Bila yang merangkulku.

"Dah." Rizky menyerahkan kembali iPhone kak Bila.

Kak Bila mengecek hasil foto Rizky lalu lagi-lagi tersenyum puas. "Ez! Sini ikut foto!" seru kak Bila setengah berteriak mengajak Ezra yang masih santai mengisap rokoknya.

Ezra mengangkat sebelah tangannya dan berseru, "I'll pass."

"Ish, susah banget diajak foto," kak Bila menggerutu. "Ky, fotoin gue sama Kaniss lagi, dong," pintanya menghibur diri. Setelah puas mengajakku berfoto-foto, kak Bila lalu mengantongi ponselnya dan mulai sibuk dengan kamera DSLR-nya.

Kak Bila bukan fotografer handal, tapi dia hobi memotret. Sekedar untuk mengabadikan momen-momen untuk dia lihat di masa tua sambil tersenyum bersama anak cucu—kalimat ini kupetik langsung dari ucapan kak Bila sendiri. Memang kak Bila tipe yang selalu punya planning untuk masa depan. Jangan kaget kalau sebenarnya dia sudah mulai mencicil untuk membeli rumah di daerah puncak sebagai retirement house-nya. Yang aneh menurutku cuma satu, untuk orang seperti kak Bila yang suka mengayomi, agak aneh dia belum menikah padahal pria-pria mengantri ingin menjadi pasangannya. Dulu aku dan Tama selalu menebak kalau kak Bila akan menjadi yang pertama berkeluarga dan Rizky yang terakhir. Siapa yang menyangka, justru Rizky yang berkomitmen lebih dulu. Walaupun begitu, menurutku kurang adil karena kepergian Tama. Kalau Tama masih ada, kami pasti jadi pasangan pertama yang tied the knot.

Sesudah menikmati pemandangan barusan, kami makan siang di ayam bakar Taliwang dekat danau Bratan atas rekomendasi kak Bila yang katanya selalu ke sana setiap dia berlibur ke Bali. Kali ini aku bisa makan dengan tenang karena selain mood-ku yang sedang bagus, Ezra lebih banyak diam dan tidak mengeluarkan komentar-komentar sarkastiknya.

Di perjalanan pulang, ketika sedang berunding mau kemana setelah itu, aku mempromosikan restoran langgananku di Ubud. "Makanannya enak, tempatnya asik, yang paling keren sih view-nya. Langsung ngeliat bukit khasnya Ubud gitu, deh." Aku bisa mendengar Ezra, yang sedang memandang ke jendela samping dengan kaki bersandar seenaknya di atas dashboard, mendengus meremehkan seolah aku berlebihan.

"Yaudah yuk, ke sana!" Aku tersenyum mendengar kak Bila bersemangat. Merasa didukung.

"Seriously?" Ezra menoleh ke kak Bila yang duduk di sampingku di belakang. Kak Bila mengangguk dan tersenyum yakin. "Ubud macet jam segini," ujar Ezra datar dan asal sambil kembali menoleh ke jendela di sampingnya.

Aku menarik nafas menahan emosi. Aku menggelengkan kepalaku mantap ke arah kak Bila yang sepertinya hampir termakan omongan asal Ezra. Jalanan Ubud memang kecil, dan kadang suka ramai. Tapi Ubud hampir tidak pernah macet selevel Jakarta. Jadi, untuk dua turis metropolitan ini, macetnya Ubud akan dianggap lancar.

"Ga kok kata Kaniss," protes kak Bila, "ayo, Ky. Lusa kan kita udah balik, besok rencananya mau main di daerah Uluwatu sana. Kapan lagi coba."

Aku sudah tau Rizky pasti mengiyakan sebelum dia menjawab. Satu setengah jam kemudian kami sudah sampai di restoran favoritku ini walaupun sempat sedikit menyasar.

"I told you, Ubud isn't a good idea," ledek Ezra dengan santai dan mengesalkan, ketika kami nyasar di daerah persawahan.

"Bawel." Aku sebenarnya tidak mau menanggapi orang itu, tapi batas sabarku ternyata cukup cetek untuknya apalagi saat itu aku sedang pusing mencari jalan. Orang itu terlalu mengesalkan.

Ezra tidak membalas, dia hanya mendengus sambil tertawa. Membuatku justru semakin kesal.

"This isn't so bad," adalah komen pertama Ezra begitu masuk Padma, restoran favoritku. "Not a bad idea after all." Sempat-sempatnya Ezra menoleh ke arahku dengan tatapannya yang seperti mau menghipnotis dan senyumnya yang licik. "Nice pick," pujinya sambil melenggang masuk mencari tempat duduk.

Mengesalkan.

Aku pamit ke toilet sementara mereka bertiga mencari tempat duduk. Keluar dari toilet, aku menyapa beberapa waitress yang sudah mengenalku saking seringnya aku datang. Ketika aku mencari keberadaan tiga orang itu, aku cukup terkejut melihat mereka sudah duduk di kursi favoritku, di balkon ujung kanan.

"Ez, panes tau di sini, mending di sofa dalem." Kak Bila sedang protes ketika aku menarik kursi hendak duduk.

Oh, ini pilihan Ezra?

"Go ahead. Gue di sini aja, anginnya enak," jawab Ezra cuek sambil menikmati hempasan angin dan pemandangan yang menyejukkan.

"Iya sih Bil, enakan di sini," Rizky membela. Kak Bila pun menurut.

Aku sedikit menunduk mengulum senyum. Paling tidak aku tidak perlu berdebat harus duduk di mana dengan orang ini.

Baguslah.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang