"Hai, Kan."
Aku mengadah. Rizky sudah berdiri dengan gugup di hadapanku. Aku mengajaknya bertemu di kafe langgananku siang ini. Sebenarnya aku belum tau apa yang mau kukatakan atau apa yang mau kudengar dari Rizky, tapi Ezra benar, aku harus bicara dengan salah satu dari mereka kalau ingin melanjutkan hidupku atau setidaknya merasa lebih lega.
"Hai," balasku berusaha untuk tidak terdengar sinis, tapi gagal. Aku masih belum memaafkannya.
Rizky menarik kursi di hadapanku lalu duduk. "Udah pesen, Kan?" tanyanya canggung.
"Udah. Lo pesen aja."
Rizky memesan kopinya ketika pelayan datang membawakan kopiku. Aku menyeruput kopiku sementara Rizky memperhatikan dekorasi kafe ini seolah dia baru pertama kali datang. Ini kafe langganannya juga. Suasana benar-benar terasa canggung.
"Jadi..."
"Gue..." Rizky dan aku bersuara di saat yang bersamaan. Rizky mempersilahkanku memulai duluan. "Gue mau minta maaf sama sikap gue kemarin." Aku tidak benar-benar ingin meminta maaf, tapi aku sadar sikapku agak keterlaluan padanya kemarin. Lagipula aku tidak tau cara lain untuk membuka pembicaraan di situasi canggung seperti ini.
Rizky mengernyit tidak mengerti. "Lo ga perlu minta maaf, Kan." Baiklah. "Lo apa kabar?"
Dia baru bertemu denganku kemarin, tapi sangat masuk akal dia menanyakan kabarku. "Lebih baik."
Kami lagi-lagi sama-sama diam. Sampai akhirnya kopi Rizky datang dan aku memberanikan diri untuk membuka suara. "Gue mau lo cerita lengkap soal Tama yang belum gue tau."
Rizky menarik nafas panjang dan berat sebelum akhirnya mulai menuturkan semua yang aku belum tau. Rizky mengaku kalau dia sendiri baru tau apa yang terjadi dengan Tama dan kak Bila setelah Tama meninggal. Dia pernah curiga sebelumnya, tapi dia mengenyahkan dugaan itu dari otaknya karena dia yakin kalau Tama benar-benar mencintaiku. Aku harap aku bisa seyakin dia.
"Waktu Tama meninggal, Bila kacau. Benar-benar kacau. Di situ dia akhirnya cerita sama gue apa yang terjadi dulu. Awalnya gue juga marah, tapi gue ga tega ngeliat Bila. Gimana pun dia kehilangan orang yang paling deket sama dia dari kecil."
Kalau saja Rizky mengatakan ini kemarin, aku pasti akan meledak, marah besar. Bagaimana Rizky masih bisa membela kak Bila setelah apa yang sudah dia lakukan? Tapi sekarang, aku justru berfikir sebaliknya. Aku merasa ikut prihatin. Rizky benar, kak Bila juga sangat kehilangan Tama, dengan atau tanpa perselingkuhan yang mereka lakukan. Dan di saat semua orang fokus denganku yang hancur semenjak ditinggalkan Tama, kak Bila sendirian. Aku tidak tau apa ini berarti aku memaafkan dia. Tapi kejadian itu sudah lama terjadi. Aku lelah seperti ini. Aku harus mulai belajar ikhlas. Benar-benar ikhlas.
"Bila kemaren nelfon gue. Dia nangis. Dia mau minta maaf sama lo kalo lo ijinin."
Aku menghela nafas panjang. Aku sudah lelah. Aku tidak mau berfikir banyak lagi. "Gue udah maafin, kok."
Aku tidak pasti apa aku benar sudah memaafkan kak Bila, tapi yang pasti aku tidak akan melupakan masalah ini. Hubunganku dengan kak Bila, atau dengan Rizky sekalipun, tidak akan pernah bisa sama seperti dulu. Aku yakin itu.
"Dia mau ketemu."
Senyum miris tersungging di wajahku. "Sorry, Ky. Tapi lo ngerti, kan?" Rizky menunduk sejenak merespon ucapanku. "Lo bilangin aja, gue udah maafin. Whatever happened, happened. Gue udah ngerasa lebih baik dan gue udah ga mau musingin hal ini lagi. Gue cuma mau ngehormatin hubungan gue sama Tama dengan ga ketemu sama kak Bila dulu. But someday I will."
Rizky ikut tersenyum, sama mirisnya denganku. Selanjutnya kami berbincang-bincang kecil soal Rania dan bayi dalam kandungannya. Di tengah-tengah perbincanganku dengan Rizky, aku melirik ke arah cincin yang melingkar di jari manisku. Masih ada hal penting yang harus kulakukan hari ini dan aku tidak tau apa aku sudah siap.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...