Chapter 46 - Don't Leave

10.7K 1.4K 52
                                    

Aku tetap diam menatapnya takjub. Bagaimana dia bisa ada di sini?

Tanpa perlu kupersilahkan, Ezra sudah duduk dengan santai di kasurku. Dia bersandar pada kepala ranjang dan dengan seenaknya mengangkat kedua kakinya yang masih mengenakan sepatu ke atas kasurku.

"Lovely room," ujarnya dengan mata mengelilingi kamarku.

"Kok lo bisa di jendela gue?" tanyaku heran. Kupikir dia masih di Bali, atau di mana pun selain kamarku.

Ezra mengangkat kedua bahunya ringan. "Udah kemaleman kalo gue masuk lewat pintu depan."

Aku melirik jam tangan yang masih kupakai. Sudah pukul setengah dua belas malam? Aku sama sekali tidak sadar sudah semalam ini.

"Belom makan kan lo?"

Aku mengadah dan kulihat Ezra menyodorkan bungkusan McD ke arahku. Aku bahkan tidak sadar dia membawa bungkusan itu. Aku memutar bola mataku jengah.

"Gue ga laper," ujarku lelah. "Gue ga bakal mati cuma gara-gara ga makan seharian."

Lagi-lagi Ezra mengangkat bahunya ringan. "Okay then." Dan dia dengan tenang mengambil dan mengunyah kentang goreng dari dalam bungkusan coklat itu.

Untuk beberapa saat aku masih diam berdiri memandang Ezra yang masih santai di atas kasurku. Bagaimana dia bisa ada di sini? Bagaimana dia bisa tau alamat rumahku? Apa dia tau apa yang terjadi? Apa Rizky yang memberitahunya?

"Your boyfriend called me," ujar Ezra tiba-tiba, seakan bisa membaca isi otakku. "sorry, fiance." Ezra memutar bola matanya saat mengucapkan kata fiance.

Apa? Fathir yang menelfonnya? Kenapa?

"He knew," barulah Ezra mengadah menatap kedua mataku. "Dia tau soal kita."

Aku reflek mundur satu langkah. Seketika aku merasa udara di paru-paru dan kamarku hilang.

Fathir tau? Fathir tau tentang aku dan Ezra?

Seakan tertampar, aku baru sadar kalau aku kecewa dengan Tama melakukan hal yang juga kulakukan. Aku seorang pengkhianat.

"Chill," aku mengadah dan melihat Ezra menatapku khawatir. "Gue yakin dia ga bener-bener tau apa yang kita lakuin. He might've just had some sort of feelings."

Aku mengernyit tidak mengerti. Some sort of feelings? Maksudnya Fathir cuma merasa ada sesuatu antara aku dan Ezra tapi tidak tau kalau sebenarnya kami sudah dua kali berbagi ciuman? Bagaimana ini bisa membuatku merasa lebih baik?

"Lo tau dari mana?"

Ezra mengangkat kedua bahunya santai. "Kalau dia tau what we did, dia ga mungkin cuma nelfon."

Bayangan mereka berdua bertengkar langsung terbersit di otakku. Ya, Tuhan, aku kacau. Apa yang sudah terjadi dengan hidupku?

"Fathir bilang apa?" tanyaku sembari mencubit keras pangkal hidungku. Aku memutuskan untuk duduk di kursi belajar karena aku mulai kehilangan keseimbangan.

"Dia cuma nanya kalo gue tau sesuatu soal lo."

Oh, tidak. Aku membuang nafas berat. Fathir sampai menelfon Ezra karena hal ini? Aku benar-benar membuatnya khawatir. Aku tidak pantas dia khawatirkan. Aku sudah mengkhianatinya.

"Lo jawab apa?" gumamku lirih.

"Well, I honestly said I don't know," jawab Ezra ringan.

Lagi-lagi aku menghela nafas berat. Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku bahkan belum tau apa yang harus aku lakukan dengan informasi yang kudapat hari ini. Tentang Tama dan perempuan yang sudah kuanggap kakak sendiri. Dan sekarang Fathir tau soalku dan Ezra? Bagaimana aku harus menghadapi semua ini?

"What happened?"

Aku mengadah. Ezra terdengar dan terlihat jauh lebih serius. Dia menatapku dalam-dalam dari posisinya duduk di atas kasurku.

Tidak. Aku tidak sanggup melihat wajahnya. "Mending lo pergi sekarang," pintaku lelah.

"No," jawabnya santai.

"Please."

"I said no. Gue ga bakal kemana-mana sampe lo bilang lo kenapa." Ezra melipat tangannya di depan dada. "Or at least sampe lo ngerasa lebih baik."

"Oh, really?!" bentakku. Aku tidak bisa menahannya lagi. "Kasih tau gue," dengan penuh emosi aku menatap pria ini. "Kasih tau gue gimana caranya lo bisa bikin gue ngerasa lebih baik, hah?"

Ezra terlihat terkejut dengan perubahan sikapku yang mendadak, tapi dia memilih diam.

"Kasih tau gue, please." Aku menggigiti buku-buku jari tanganku panik. "Gimana gue bisa ngerasa lebih baik kalo ngeliat lo bikin gue sadar kalo gue..." nafasku tercekat. Aku sadar air mata sudah mulai menggenang di mataku. "...kalo gue sama jahatnya sama mereka." Iya, aku sama jahatnya. Aku pengkhianat. "Gue munafik," suaraku bergetar, tubuhku gemetaran.

Tubuhku tersentak ketika Ezra mendekapku ke dalam pelukannya. Aku tidak sadar kapan Ezra berdiri dan berjalan mendekat, tapi saat ini dia memelukku yang masih gemetaran duduk di kursi belajar. Seharusnya aku marah. Seharusnya aku mendorongnya menjauh. Seharusnya ini membuatku merasa lebih buruk. Merasa lebih malu terhadap diriku sendiri. Tapi kenyataannya, detik pertama Ezra memelukku, aku merasa seperti akhirnya ada yang memegangiku. Memberiku kekuatan untuk menghadapi semua yang terjadi di hidupku.

Tangisku pecah. Pecah sepecah-pecahnya. Aku tidak peduli kalau seisi rumah mendengarku menangis histeris. Aku tidak bisa menahannya lagi. Aku tidak sanggup.

"Tama selingkuh, Ez. Tama selingkuh. Sama kak Bila. Mereka... mereka..." aku tidak bisa menyelesaikan kalimat ini. Kalimat yang kuucapkan di tengah-tengah tangis histerisku. Aku bisa merasakan sebelah tangan Ezra naik-turun di punggungku dan pelukannya semakin erat. "Rizky tau. Mereka semua tau. Gue dibohongin... gue salah apa? Gue salah apa, Ez? Gue tau gue jahat. Gue jahat sama Fathir. Gue sama aja sama mereka."

"Sshh..." Ezra melonggarkan pelukannya lalu berlutut di hadapanku. Kedua tangannya memegangi bahuku. "You're anything but evil," ucapnya lembut. Tatapannya yang dalam membuat tangisku perlahan mereda.

"Tapi gue jahat sama Fathir." Aku tau aku terdengar seperti anak kecil yang merengek pada orang tuanya sekarang. Atau mungkin lebih bodoh. But I just can't help it. "Mungkin ini karma buat gue."

Ezra tersenyum lirih. "Stop thinking too much. You better get some rest."

Otakku langsung berteriak kalau aku tidak butuh istirahat. Aku tidak mau istirahat. Aku cuma mau penjelasan. Aku mau rasa sakit ini segera pergi. Tapi sesuatu membuat mulutku memilih diam. Masih dengan Ezra memegangi lenganku, aku berdiri dan perlahan berjalan menuju kasur.

Aku sadar aku masih mengenakan celana jins ketat dan kemeja flanel, tapi aku terlalu lelah untuk berganti pakaian. Ezra menarik selimut dari kasurku, membiarkanku berbaring, lalu menyelimutiku sampai di atas dada. Dia berdiri di samping kasurku sambil menjulurkan sebelah tangannya mengusap pangkal kepalaku.

"Have a nice sleep," ucapnya dengan senyum manis tersungging di wajahnya. Aku tidak menyangka Ezra bisa bersikap seperti ini.

Dan ketika aku sadar Ezra akan melangkah mundur menuju jendela kamarku, aku mengucapkan sesuatu yang tidak sempat kupikirkan sebelumnya, "jangan pergi."

Kedua alis Ezra terangkat tipis mendengar ucapanku. Aku menggigit bibir bawahku gugup. Aku bahkan tidak merasa malu sudah mengucapkan hal itu, setelah aku mengusirnya sepuluh menit yang lalu. Aku juga sudah lelah menyangkal perasaanku sendiri. Aku mau Ezra di sini. Aku butuh dia. Dan aku belum mau memikirkan konsekuensinya.

Aku hanya tegang. Bagaimana kalau Ezra menolak permintaanku? Aku tidak tau apa yang aku takutkan, tapi detik-detik setelah aku memintanya jangan pergi terasa sangat amat lambat. Seolah waktu berhenti.

Keteganganku terjawab ketika Ezra, tanpa mengatakan apapun, membuka kedua sepatunya lalu ikut berbaring di atas kasur, di sampingku. Tanpa perlu kuminta, dia menarik kepalaku bersandar di dadanya. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang terasa sangat lama, aku bernafas lega. Ini yang kubutuhkan. Aku sudah sangat lama tidak merasa senyaman ini. Aku pun sadar, di dalam pelukan Ezra-lah seharusnya aku berada.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang