Aku tertegun cukup lama setelah wanita ini mengaku sebagai kakaknya Ezra. Satu, karena dia benar-benar cantik. Dua, bagaimana ceritanya kakaknya Ezra bisa muncul di sini?
"Mm... mari masuk," ajakku ragu. Ragu dengan bahasa apa yang sebaiknya kugunakan (bisa kudengar bahasa Indonesianya jauh lebih buruk dari Ezra), ragu dengan caraku bersikap karena cantiknya wanita ini cukup mengintimidasi, dan ragu apa benar dia kakaknya Ezra karena pembawaannya sangat berbeda dengan Ezra. Dia terlihat sangat ramah, sopan, dan berkelas, seperti... tante Fira. Meski begitu, mereka memiliki tatapan yang serupa. Tatapan yang seolah menghipnotis.
Aku duduk di sofa single sementara kakaknya Ezra duduk dengan anggunnya di sofa panjang. Aku masih diam menatapnya bingung, namun segera kugeleng-gelengkan kepalaku cepat. "Maaf... mau minum apa?" Aku memutar otakku cepat memastikan apa yang kupunya di dapur, tidak ingin kejadian seperti saat Ezra menginap terulang. "Sirup!" seruku cepat, terlalu bersemangat mengingat aku punya persediaan sirup. "Mau sirup?" tanyaku ulang dengan suara yang lebih tenang, malu dengan tingkahku barusan.
Kakaknya Ezra tertawa pelan. Tawanya renyah dan senyumnya ringan seolah tidak ada masalah di dunia, membuatnya terlihat jauh lebih muda. "Tidak usah... saya tidak lama," ujarnya lembut. "Saya datang untuk menyerahkan ini." Kakaknya Ezra menyodorkan padaku paper bag yang sedari tadi ditentengnya. "Ezra asked me to."
Aku menerima paper bag itu sambil membalas senyum kakaknya Ezra yang kelewat manis. "Thank you, tapi..."—aku diam sejenak menarik nafas, berharap terdengar biasa saja—"kenapa bukan Ezra sendiri yang ngembaliin?"
"Dia mau mengembalikan, tapi due to emergency, Ezra harus kembali ke Jakarta."
"Hah? Jakarta?" seruku reflek, kaget. "Maaf," aku buru-buru membetulkan sikapku, merasa tidak enak. "Mm..." aku tidak tau harus menanyakannya atau tidak, tapi aku terlalu penasaran untuk mengabaikannya, "emergency apa ya kalau boleh tau? Bukan bermaksud ikut campur,"—aku menggigit bibir bawahku, ragu—"tapi... mm..." aku tidak tau bagaimana harus menjelaskannya. Aku hanya khawatir dengan keadaan Ezra. Bagaimana situasinya dengan ayahnya? Apa hal itu ada hubungannya dengan kepergian Ezra yang mendadak?
"I got it," gumam kakaknya Ezra dengan senyum penuh maklum. "Ezra baik-baik saja." Wanita ini memajukan tubuhnya lalu meraih tanganku—yang membuatku mataku membulat kaget. "Saya kemari juga ingin mengucapkan terima kasih."
Kedua alisku terangkat ke arahnya, tidak mengerti maksud ucapannya.
Kakaknya Ezra melepaskan tangannya dariku, lalu kembali duduk tegak. "Saya berterima kasih karena kamu sudah merawat Ezra waktu itu."
"Ezra cerita?" tanyaku tak percaya.
Kakaknya Ezra menggelengkan kepala sambil tersenyum. "There's no way Ezra bercerita soal apapun dengan saya," dia tertawa sendiri. "Dia tidak seperti itu waktu kecil. You know... pride that comes when puberty hit."
Aku ikut terkekeh, hanya untuk sekedar sopan karena sebenarnya aku masih penasaran kenapa dia bisa tau soal hal itu kalau bukan Ezra sendiri yang bercerita.
"I guess Ezra sudah cerita padamu apa yang terjadi waktu itu, dengannya dan ayah kami."
Aku hanya menggigit bibir bawahku. Tidak tau harus bilang apa.
"Saya langsung terbang ke sini begitu mendengar yang terjadi." Kalau tidak salah, kakaknya Ezra ini domisilinya di New York. Apa itu berarti dia langsung terbang ke sini jauh-jauh dari New York? Apa jangan-jangan yang terjadi sebenarnya jauh lebih parah dari yang Ezra terangkan padaku? Entahlah. Siapa tau kebetulan kakaknya ini memang sedang di Jakarta waktu itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...