Mungkin sadar aku terganggu dengan tindakannya, Ezra melepaskan tangannya. Dan baru kemudian aku menghembuskan nafas yang ternyata sedari tadi kutahan. "No prob," ujarku tanpa berani menatap wajahnya. Aku buru-buru berbalik dan berjalan cepat menuju lemari bawah tangga.
Apa-apaan barusan?
Ketika aku berbalik menghadap Ezra dengan tangan memeluk bantal dan selimut yang kuambil dari dalam lemari, pria itu sudah berjalan menuju sofa dengan satu tangan menjepit dua mulut cangkir yang tadi kuisi susu hangat dan satu tangan menggenggam kain berisi es batu. Dia meletakkan kedua cangkir itu di atas coffee table, mengambil salah satunya lalu menghempaskan diri dengan santai duduk di sofa. Dia menoleh ke arahku dengan kedua alis terangkat, membuatku sadar kalau aku dari tadi hanya berdiri seperti orang bodoh.
Dengan langkah cepat aku berjalan menuju ruang santai dan meletakkan selimut dan bantal itu di atas sofa single, karena itu yang paling dekat. Aku sudah berniat pamit masuk ke kamar ketika Ezra bergumam, "are you not gonna drink that?"
Giliran kedua alisku yang terangkat heran. "Oh," gumamku baru ingat kalau gelas yang diletakkan Ezra di atas meja itu memang punyaku. Aku bahkan tidak sadar aku menuangkannya tadi. Harusnya aku cukup menyuguhkan Ezra, tidak perlu untukku juga. Tapi percuma juga menyesal sekarang, sudah telat.
Mungkin aku sekarang terlihat bodoh karena memindahkan selimut dan bantal yang baru saja kuletakkan di atas sofa ke karpet di bawah. Tapi Ezra pasti mengerti, aku tidak mau duduk di sampingnya. Aku bisa lihat sekilas dia menyeringai tipis menatap gelas yang dipegangnya.
Aku meraih cangkirku di meja lalu menyerumput isinya sebanyak yang kubisa agar segera habis dan aku bisa kembali ke kamarku.
"Gimana artikelnya?" tiba-tiba suara Ezra memecahkan keheningan.
Reflek, aku menoleh ke arahnya dengan wajah bingung, "Hm?"
"Artikel acara kemarin."
"Oh," gumamku pelan. "Udah selesai sih, tinggal di-submit hari Senin."
Ezra hanya manggut-manggut dan kemudian suasana kembali canggung.
"Mau liat?" kalimat itu keluar begitu saja dari mulutku setelah beberapa saat memperhatikan Ezra yang diam saja menyerumput minumannya.
Ezra menoleh ke arahku dengan alis terangkat. "Sure."
Kemudian aku bangkit dan mengambil laptop Mac-ku dari kamar. Begitu aku kembali ke ruang santai, Ezra yang tengah menenggak gelasnya segera meletakkannya kembali di atas meja lalu mengusap-usap kedua tangannya seolah tidak sabar ingin melihat artikel tulisanku. Aku meletakkan laptopku di atas meja lalu duduk di karpet di samping bawah Ezra. Aku membuka layar laptopku lalu menyalakannya.
"Bombay Bicycle Club?" seru Ezra begitu layar laptopku menampilkan cover album A Different Kind of Mix milik Bombay Bicycle Club sebagai wallpaper-ku. Wallpaper yang sudah dua tahun tidak kuganti.
"Kenapa? Suka?" tanyaku sembari mencari file artikelku.
"Suka?" protes Ezra. "Gue punya semua CD original mereka. And this one's the best," ujarnya terdengar bersemangat.
Aku hanya terkekeh, sangat setuju dengan apa yang dia bilang. Tapi aku tidak merasa perlu untuk melanjutkan pembicaraan soal band indie asal London ini.
"Nih." Aku menggeser laptopku, yang menampilkan file artikelku, menghadap Ezra yang langsung menarik laptopku dan sedikit menunduk agar tulisannya terbaca.
Artikelnya tidak panjang, hanya dua halaman. Aku mengamati wajah Ezra yang terlihat cermat membaca tulisanku. Aku tidak pernah peduli pendapat orang tentang tulisanku, karena aku memang tidak pernah benar-benar berniat menulis. Setiap aku diminta menulis artikel, aku hanya melakukannya seolah mengerjakan tugas kuliah. Yang penting selesai. Tapi menurut Fathir yang sering menemaniku menulis artikel apalagi kalau soal kopi, tulisanku tidak buruk. Dan tumben-tumbennya sekarang aku cukup deg-degan menunggu pendapat Ezra soal tulisanku. Mungkin karena ada dia di dalam artikelku kali ini. Aku jadi agak menyesal tidak benar-benar serius menulisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...