Kupikir dia akan mengatakan sesuatu, marah-marah, atau entahlah, karena dia masih menatapku seperti tadi ketika aku di pelukan Fathir. Tapi rupanya aku salah. Sangat salah. Tanpa aba-aba, dia langsung menarik sebelah tanganku, menggiringku menjauhi pintu kamar mandi, lebih jauh ke dalam gang. Ezra memojokanku pada dinding semen ini, dan tanpa sempat aku merespon, dia menunduk mencium bibirku. Lagi.
Kedua mataku membelalak saking cepatnya ini terjadi. Berbeda dengan tadi malam, dia tidak menungguku membalas. Kedua tangannya menelurusi kedua tanganku sampai ke pergelangan. Lalu kedua tanganku diangkatnya sampai di atas kepalaku. Sesaat begitu aku membuka mulut, lidahnya menyeruak mencari lidahku. Satu tangannya mampu menahan kedua pergelangan tanganku di atas kepala, sementara tangannya yang lain dia pergunakan untuk menggenggam tengkukku kencang. Aku merasa seperti seluruh tubuhnya menekan tubuhku.
Ini gila. Aku tidak pernah berciuman seperti ini sebelumnya. Tidak dengan Fathir, maupun Tama. Sikap Ezra yang dominan dan terkesan kasar justru membuatku semakin tidak mampu berfikir waras. Aku bahkan tidak peduli kalau kami sedang di tempat umum yang kapan saja bisa dilewati orang. Aku memejamkan kedua mataku, membalas ciumannya yang intens.
Setelah aku mulai membalas, Ezra justru melepaskan bibirnya dari bibirku dan mulai menelusuri leherku dengan bibirnya. Sensasi bibir lembutnya menyentuh kulitku terasa sangat asing, tapi sekaligus menakjubkan. Dan ketika bibirnya mencapai tulang leherku, aku berdesis pelan dan tajam. Aku tidak bermaksud melakukannya. Desisan itu keluar begitu saja. Aku yakin wajahku merah padam. Aku bisa merasakan wajahku memanas. Begitu bibirnya sampai kembali di bibirku, aku semakin kehilangan kontrol diri.
Tiba-tiba ada suara yang membuatku dan Ezra sama-sama sadar kalau ada orang di dekat kami. Ezra otomatis melepaskan tangannya dari kedua tangan dan pinggangku, dan mengambil satu langkah mundur. Aku tidak tau siapa yang ada di situ, apa orang itu melihat kami atau tidak, atau dia masih berdiri di situ atau tidak. Aku tidak berani menoleh. Antara malu dan syok dengan apa yang barusan kami lakukan. Aku hanya menunduk berusaha mengatur nafas.
Aku pun akhirnya memberanikan diri untuk mengadah, bukan mencari orang yang kemungkinan memergoki kami, tapi untuk melihat Ezra. Sama sepertiku, nafasnya juga tidak beraturan. Ezra mengadah menatapku sekilas sebelum menoleh melihat ke asal suara. Dalam satu detik mata kami bertemu, aku bisa lihat dia sama syoknya denganku, seolah yang barusan terjadi di luar kendalinya. Seolah aku yang memojokinya dan menciumnya, bukan sebaliknya.
Untuk beberapa saat aku memperhatikan wajah Ezra dari samping. Dia tidak pernah terlihat setampan ini. Sememukau ini. Nafasnya yang masih belum benar-benar stabil justru membuatku semakin ingin menariknya dan menciumnya lagi. Dan kemudian aku baru sadar kalau apa yang kami lakukan tadi terhenti karena orang yang sedang Ezra perhatikan.
Aku menoleh mengikuti arah pandangan Ezra. Ada pekerja yang sedang dengan kikuknya mengosongkan isi tong sampah di dekat sana. Dari tingkahnya, jelas dia melihat apa yang kami lakukan. Dan dengan Ezra memperhatikannya, dia semakin salah tingkah. Beberapa kali dia melirik ke arah kami sambil terburu-buru menyelesaikan pekerjaannya. Mungkin dia ingin cepat-cepat meninggalkan kami berdua lagi. Tapi terlambat, dia sudah mengganggu kami.
Tunggu. Apa aku baru saja protes karena diganggu saat aku dan Ezra berciuman? Oh, God, aku mulai gila.
Begitu pekerja itu pergi dan meninggalkan kami berdua, jantungku kembali berdegup kencang. Aku tidak tau apa yang aku harap Ezra katakan setelah kejadian tadi. Aku juga tidak tau harus berkata apa. Untuk beberapa saat Ezra hanya menatapku, sedangkan aku hanya bisa menggigit bibir bawahku, gugup.
"What have you done to me?" gumam Ezra pelan.
Apa? Bukannya justru aku yang seharusnya mengucapkan kalimat itu?
Aku mengernyit protes tapi tidak ada yang keluar dari mulutku. Ezra menatap sekilas bebatuan di bawah sambil menggelengkan kepalanya dan mendengus pelan. Dia mengadah, menatapku sejenak. Aku terpaku melihat kedua matanya. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu, tapi dia malah berbalik dan beranjak pergi ke arah pintu keluar beach club ini, meninggalkanku kebingungan sendiri.
Aku menatap sosok Ezra yang menjauh dengan mulut terbuka dan dahi mengernyit tidak percaya. Dia baru saja, tanpa basa-basi, menciumku seperti itu, mengatakan hal yang tidak jelas, dan sekarang pergi begitu saja? Aku tidak tau apa aku harus merasa marah, malu, atau bagaimana. Aku merasa dipermainkan. Terlebih ketika aku kembali ke meja dan melihat Rizky dan kak Bila—Ezra benar langsung pulang—aku mengalami dejavu. Hal ini pernah terjadi sebelumnya. Hanya saja, waktu itu, aku adalah si pekerja yang sedang bersih-bersih tong sampah, sedangkan yang dicumbu mesra Ezra adalah host beach club yang kebetulan menarik perhatiannya.
Seharusnya aku tau lebih awal, aku hanya salah satu wanita yang kebetulan sedang menarik perhatian Ezra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...