Sebulan sudah aku dan Fathir berpacaran. Sampai sekarang aku masih tidak menyangka kalau aku sudah menjadi milik orang lain selain Tama. Aku tidak yakin apa ini berarti aku sudah bisa menerima kenyataan kalau Tama tidak akan pernah kembali. Tapi sejauh ini semuanya berjalan dengan nyaman. Fathir sudah tidak lagi mengagetkanku dengan kemiripannya dengan Tama, karena aku sudah terbiasa. Mereka sangat mirip sampai ke hal-hal kecil seperti kemahiran mereka memainkan gitar, ketidak-sanggupan mereka dengan makanan pedas, sampai kebiasaan menerima telfon dengan telinga kiri.
Kalau kata Dewi, banyak orang yang bisa main gitar, tidak suka pedas, dan menjawab telfon dengan telinga kiri. Menurutnya aku hanya menjadikan hal-hal ini sebagai alasan supaya aku tidak merasa bersalah. Menurutnya aku hanya menjadikan Fathir bayang-bayang Tama. Tapi aku sudah lelah berfikir banyak. Selama aku merasa nyaman, dan merasa lebih baik dari sebelumnya, aku rasa aku tidak salah. Mungkin sudah takdirku dipertemukan lagi oleh orang yang mirip dan sama-sama menyayangiku. Tapi perlu digarisbawahi, bagiku, tidak ada yang akan pernah bisa menggantikan Tama. Tidak Fathir, tidak siapapun.
"Aku langsung pulang ya," ujar Fathir dengan lengan kirinya bersandar di bingkai pintu.
Aku mengangguk sambil tersenyum. "Makasih udah nganter."
"Udah tanggung jawab aku dong," ujarnya sambil mengedipkan sebelah matanya jahil.
Aku terkekeh. Fathir kemudian menunduk mengecup bibirku singkat. Aku ingat betul ciuman pertama kami, dua hari setelah kami resmi berpacaran. Rasanya benar-benar awkward, karena Fathir adalah cowok kedua yang pernah kucium seumur hidupku. Sampai sekarang pun aku tetap merasa janggal setiap dia menciumku, karena aku tidak pernah bisa benar-benar membalasnya. Kami selalu hanya berciuman singkat. Tapi Fathir tidak pernah memaksa. Dia menghargai sikapku yang selalu menjaga jarak kalau sudah berhubungan dengan hal seperti ini. Aku yakin someday aku pasti bisa 100% nyaman dengannya. It takes time.
"Ciye yang abis pacaran," goda Dewi begitu aku menutup pintu. Rupanya dia sudah sedari tadi di ruang tamu, sibuk dengan laptopnya.
Aku hanya tersenyum menanggapi sembari berjalan menuju tangga.
"Bentar dulu!" seru Dewi membuatku menghentikan langkahku. Aku menoleh ke arahnya. "Tebak tadi gue papasan sama siapa di depan Beachwalk?"
Aku hanya mengangkat kedua bahuku singkat. Tidak tertarik.
"Si ganteng!" seru Dewi sumringah. Aku mengernyit, tidak mengerti maksudnya. Dewi berdecak kecewa karena aku tidak cepat tanggap. "Ezra."
Kedua alisku reflek terangkat, cukup terkejut. "Terus?" tanyaku mulai tertarik. Sudah sebulan lebih sejak kejadian aku mabuk-mabukan sampai tertidur di apartemennya. Aku masih ingat dia punya utang denganku, tapi sampai detik ini aku tidak tertarik menagihnya. Sudah bagus kalau aku tidak perlu berurusan lagi dengannya.
"Dia ganteng banget sih, ya, gue jadi reflek ngundang dia ke acara besok."
"What?" seruku hampir tersedak ludah sendiri. Besok Dewi mengadakan acara birthday lunch dan yang diundang hanya tiga orang teman dekatnya, dua rekan kerja terdekat, aku, Fathir, dan tentu saja kedua orang tuanya. "Lo bilang cuma close friends and family," gerutuku heran.
"Lo tau gue lemah banget sama yang ganteng-ganteng."
"Penyakit deh lo." Aku seketika mempunyai feeling tidak enak soal besok. "Kira-kira dia bakal dateng ga ya?" tanyaku tidak bisa menyembunyikan kekhawatiranku.
"Ga tau deh. Mudah-mudahan sih dateng."
Aku berdoa sebaliknya. Entah kenapa setiap ada orang itu, selalu saja terjadi hal yang tidak mengenakan. Oh, shit. Bagaimana kalau tingkah ngeselinnya lagi kumat dan dia nyeletuk soal party itu di depan Fathir? Aku tidak khawatir Fathir akan cemburu, karena kurasa dia bukan tipe seperti itu—atau karena aku tau Tama bukan pencemburu. Tapi aku khawatir Fathir marah karena aku tidak jujur dan tidak pernah cerita. Kalau dia kira aku bukan wanita baik-baik seperti yang dia kenal bagaimana?
Sudahlah. Tidak mungkin Ezra datang. Anak pemalas seperti dia mana mau ke Ubud cuma untuk datang ke birthday lunch orang yang aku yakin dia belum tau namanya. Aku rasa waktu Dewi menyapanya juga dia tidak ingat pernah bertemu Dewi di mana. Aku yakin dia tidak akan datang.
---
Dan dugaanku salah.
Acara makan siang sudah berlangsung satu jam yang lalu. Semua orang sudah tengah menyantap makanan mereka, dan beberapa bahkan sudah selesai dan pamit pulang karena ada urusan lain. Aku bukan cuma sudah tenang karena yakin Ezra tidak akan datang, aku bahkan sudah tidak memikirkan hal itu. Aku dan Fathir asyik berbincang-bincang dengan tiga rekan kerja Dewi yang satu per satu pamit pulang.
Dan ketika aku permisi ke toilet, sosok itu dengan ajaibnya bisa muncul tepat begitu aku keluar dari toilet.
"Hi," sapa Ezra pelan tapi sukses membuatku kaget. Seringai khasnya muncul lagi di hadapanku.
Sial. Kupikir dia benar tidak datang. Sebelah tangan kuletakkan di atas dada saking kagetnya. Lalu aku sadar Ezra membawa satu buket bunga lili.
"Not for you," ledeknya karena aku memperhatikan bunga yang dia bawa.
Mataku menyipit sinis ke arahnya. "Sana, acaranya di balkon," desisku.
"After you," ujarnya sok manis sambil menjulurkan sebelah tangannya mempersilahkan aku jalan.
Aku mendengus sinis lalu berjalan melewatinya menuju meja kami. Aku langsung duduk di tempatku, di samping Fathir, tidak menggubris Dewi yang tersipu karena dibawakan bunga sebagai ucapan ulang tahun dari Ezra.
"Itu siapa, Kan?" tanya Fathir berbisik ke arahku.
"Ezra," jawabku. Fathir malah mengernyit bingung. Oh, aku tidak pernah cerita soal Ezra kepadanya. "Sepupunya Rizky." Kalau Rizky, Fathir sering mendengar cerita soalnya.
Barulah mulut Fathir membulat mengerti. Dia manggut-manggut ringan sementara aku melihat Ezra berjalan mendekat. Cepat, aku menoleh ke sekitar. Tamu yang tersisa hanya kami, tiga orang teman lama Dewi yang tidak kukenal lebih dari nama mereka, dan orang tua Dewi yang sedang memanggil anaknya agar menghampiri mereka. Tidak ada meja lain. Oh, no. Aku sudah bisa menebak tujuan Ezra.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...