Oh, no, that look again. Caranya menatapku sama seperti di restorannya waktu itu. Dan sekali lagi, aku dibuatnya mematung dengan tatapannya yang dalam. Tapi kali ini aku bisa berfikir lebih jernih. Aku buru-buru memalingkan wajahku dan bangkit berdiri.
"Biar gue cari kaos ganti. Baju lo basah," ujarku asal, tanpa sama sekali memikirkan baju mana yang muat untuk Ezra. Tapi yang penting aku bisa menjauh darinya. Dan tanpa melihat ke arahnya lagi, aku berjalan cepat menuju kamarku.
Seharusnya aku telan saja jawabannya waktu dia bilang dia ke sini karena butuh aku sebagai dokter. Kenapa aku harus bertanya ulang? Aku bahkan tidak tau apa yang kuharapkan dari pertanyaan itu. Aku tidak tau apa yang sebenarnya ingin kudengar dari jawaban Ezra.
Dan jawabannya itu... aku sama sekali tidak berani menginterpretasikan lebih jelas.
Aku menarik nafas panjang, menarik kaos yang paling besar yang kupunya (kaos milik ayah yang memang sudah lama jadi milikku dan menjadi kaos santai favoritku), lalu sesantai mungkin kembali ke ruang tamu di bawah. Tenang saja Kaniss, semua ini cuma terjadi di kepala kamu. Yang kamu bisa lakukan sekarang cuma be a good friend for Ezra tanpa perlu mikir yang macam-macam lagi.
Sesampainya di bawah, Ezra sudah tengah membersihkan darah di hidungnya di wastafel dapur. Dia mengadah ke arahku, bahkan sebelum aku turun ke anak tangga terakhir.
"Jangan kasar-kasar bersihinnya biar ga berdarah lagi," ujarku santai sambil berjalan menghampirinya di dapur. See? Aku bisa kembali santai, kok. Selama aku tidak membiarkan Ezra mengeluarkan jurus tatapannya yang serius, aku aman.
Mendengar nasihatku, Ezra hanya mengangkat kedua alisnya singkat dengan wajah datar sembari membersihkan kembali hidungnya, dengan kasar. Sudahlah, yang penting sudah kuberi tau. Mau dia mimisan lagi, bukan urusanku.
Aku meletakan kaos yang kusiapkan untuk Ezra di atas meja bar lalu berjalan melewati Ezra untuk mencapai freezer dan meraih lap baru yang bersih. Aku mengambil es batu dan membungkusnya dengan lap tersebut.
"Nih, buat bibir sama pipi lo."
Ezra, yang sudah tuntas membersihkan darah kering di hidung dan bibirnya, menerima bungkusan es dari tanganku. "Thanks," ujarnya singkat lalu mengambil kaos yang kuletakkan di atas meja bar, berjalan memutari meja tersebut, lalu duduk di salah satu kursi bar, menghadapku.
"What?"
Aku, yang rupanya sedari tadi tanpa sadar memperhatikan Ezra, tersentak. Buru-buru aku mengalihkan pandanganku, dan begitu aku kembali menoleh ke arah Ezra, pria itu tengah melepas kaos yang dikenakannya.
Reflek, aku berbalik cepat memunggunginya. "M-mau teh? Apa kopi?" tanyaku agar menutupi kecanggunganku dengan Ezra yang berganti baju di belakangku.
"Teh boleh."
Kubuka rak penyimpanan di atasku, mencari kaleng teh yang setelah kutemukan ternyata isinya sudah kosong. "Teh abis, mau kopi?" tanyaku lagi, masih tidak mau berbalik menghadapnya.
"Boleh."
Kucari toples kopi yang sialnya, ternyata sudah kosong juga. Memang sudah lama aku dan Dewi tidak belanja kebutuhan dapur kami.
Ragu-ragu aku membuka kulkas, lalu akhirnya berbalik menghadap Ezra. Dia sudah mengenakan kaos ayah yang sedikit kebesaran di tubuhnya. Dengan merasa malu, aku bertanya, "susu mau?"
Ezra tertawa pelan. Dia kemudian menyeringai geli menatapku yang masih diam, "fine."
Aku mengangkat kedua alisku, "oke," ujarku cepat lalu kembali memunggungi Ezra, mengambil satu karton susu coklat lalu menuangkannya ke teko penghangat listrik. Selama menunggu susu ini hangat, aku hanya diam memperhatikan angka-angka di teko penghangat ini. Begitu teko itu berbunyi, dengan sigap aku menuangkan isinya ke dua cangkir. Satu untukku, satu untuk Ezra.
Ezra tengah memperhatikanku ketika aku berbalik hendak menyuguhkan susu hangat ini. Aku tidak berani menatap matanya, takut. Begitu menerima cangkir itu dariku, Ezra bertanya, "are you okay?"
Barulah aku mengadah menatap wajahnya dengan kedua alis terangkat heran. "Hm?"
"You seems distracted."
"Hah? Mmm..." aku tidak tau harus beralasan apa. Apakah sikapku seaneh itu? "Gapapa, lagi banyak pikiran aja," jawabku sekenanya.
"Tough day, huh?"
Aku ragu-ragu mengangguk, teringat makan malamku dengan orang tua Fathir. "Gue tadi makan malam bareng orang tua Fathir," ujarku ada unsur kesengajaan ingin menyebut nama Fathir. Paling tidak ini akan mempertegas diriku sendiri dengan statusku sekarang dan menarik garis batas antara aku dan Ezra. Tapi bukannya merasa lebih baik, aku malah merasa bersalah. Pada Fathir, tentunya.
"What day is it? Parents Coming day?" Ezra terkekeh sendiri. Aku hanya tersenyum tipis dan mengangkat kedua bahuku menanggapi. Sama-sama diam, Ezra kemudian kembali berujar dengan nada lebih serius, "things getting serious, huh?"
Ditanya seperti itu, aku tidak bisa langsung menjawab. Tiba-tiba aku kepikiran apa kira-kira pendapat orang tua Fathir tentangku yang sempat sinis. "I guess," jawabku lebih seperti berbisik, masih dengan mata menatap cangkir susu di hadapanku.
"Don't worry, mereka pasti suka sama lo."
Aku mengadah. Ezra menatapku dengan seringai tipis. Tatapannya menenangkan. And it works. Somehow, aku merasa jauh lebih tenang.
Tidak mau tenggelam lebih dalam dalam tatapannya, aku mengalihkan pandanganku dari wajahnya. "Butuh selimut? Biar gue ambilin," tanyaku berusaha menguasai diri.
Ezra tidak menjawab. Aku melirik ke arahnya dan mendapati dia tengah mengulum senyum, seolah ada yang lucu. "Apaan?" tanyaku agak ketus.
"Emang gue bilang, gue mau nginep?"
Mataku membelalak, setengah malu, setengah kesal. Kesal karena Ezra terlihat puas meledekku. Aku gelagapan, bingung harus mengelak seperti apa. Sampai akhirnya Ezra tertawa pelan.
"Just kidding." Ezra menoleh melewati bahunya melihat ke arah sofa di belakangnya. "Looks comfy enough for me."
Aku mendengus. "Biar gue ambilin bantal sama selimut."
Aku berjalan memutari meja bar ini untuk menuju lemari penyimpanan di bawah tangga. Dan ketika aku melewati Ezra yang masih duduk di bangku bar itu, tiba-tiba dia meraih sebelah tanganku.
"Thanks," gumam Ezra sambil menatapku sungguh-sungguh, masih dengan tangannya menggenggam pergelangan tanganku.
Aku tidak bisa menjawab. Jangankan untuk menjawab, bernafas pun sulit. Tanpa kusadari, aku menunduk menatap tangan Ezra yang menggenggam lembut pergelangan tanganku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...