Oke, aku tidak pernah menghadiri beach party sebelumnya, tapi kurasa dress linen polos berwarna off-white dengan panjang sedikit di atas lutut cukup pantas untuk acara Ezra ini. Lagipula dia sendiri yang menyuruhku memakai pakaian simpel. Sandal pantai berwarna coklat dan sling bag kulit pun menjadi pilihanku melengkapi penampilan hari ini.
Aku melirik jam tangan sambil menunggu di sofa. Ezra bilang dia akan menjemputku jam lima sore, sekarang sudah hampir jam enam dan batang hidungnya belum terlihat. Aku menghela nafas panjang.
Lima menit sebelum jam enam, ada bunyi pintu diketuk. Pasti Ezra. Dengan kesal dan malas-malasan aku bangkit membukakan pintu. Ezra berdiri di baliknya dengan celana khaki selutut berwarna krem dan atasan kemeja linen off-white dan sandal birkenstock coklat.
"Oh, great. We match," ujarnya ringan. "Ayo."
Aku menghembuskan nafas berat sebelum berjalan mengikuti Ezra ke parkiran. Aku agak kaget melihat mobil yang alarmnya menyala ketika Ezra mengeluarkan kunci dari kantong celananya. Jeep Grand Cherokee berwarna putih. Aku tau karena Dewi beberapa kali menunjukkan foto mobil ini dari internet karena papanya berniat membeli mobil keluaran terbaru ini.
"Motor lo mana?" tanyaku polos ketika Ezra membuka pintu pengemudi.
Ezra menoleh ke arahku yang masih berdiri polos. "Lo pikir gue mau naik motor ke Ubud? Come on, hop in."
Aku berjalan memutari mobil ini untuk masuk ke kursi penumpang depan. Mungkin ini mobil sewaan, atau mobil miliknya. Entahlah, tidak penting untukku.
Begitu aku masuk dan menutup pintu, Ezra sudah menoleh ke belakang dengan satu tangan memegang setir. Dengan cepat dia memundurkan mobil masuk ke jalan utama. Nafasku sempat tercekat karena gerakannya yang cepat dan membuatku kaget. Untung ga nabrak apa-apa. Sempat-sempatnya Ezra menyeringai jahil ke arahku sebelum dia menatap jalanan di depan.
Aku memilih diam sambil memandangi pemandangan di samping, tapi ketika Ezra menyalakan CD player-nya, lagu You Can't Always Get What You Want milik the Rolling Stones mengalun, tanpa sadar aku mulai humming mengikuti nada. Ini lagu kesukaan Ayah.
"You know the song?" Ezra terdengar tak percaya.
Aku menoleh, dia menoleh ke arahku sambil mengernyit tidak percaya. Aku membalas dengan seringai bangga singkat lalu kembali memandangi tepi jalan sambil tetap bersenandung. Dan ketika suara Mick Jagger masuk, Ezra ikut bernyanyi dengan lantangnya. Aku berhenti bersenandung dan langsung menoleh ke arahnya dengan satu alis terangkat. Aku mau tertawa melihat tingkahnya yang berlebihan seolah meresapi lirik. Tapi aku diam saja biarpun jujur suaranya annoying. Aku hanya menggelengkan kepala sambil kembali mengalihkan wajahku.
"You know, you look better not grumpy."
Masih dengan bertopang dagu menghadap jendela samping, aku tersenyum sinis mendengar Ezra berkata demikian. Setelah itu perjalanan ini hanya diisi oleh alunan lagu dari CD player mobil Ezra. Kadang aku bersenandung di lagu yang kusuka. Kebanyakan lagu-lagu hits generasi ayah. Tapi harus aku akui, aku cukup terkejut dengan selera musik Ezra. Kupikir dia lebih ke—I don't know, apa sebutan lagu-lagu dugem? Techno? Trance? Entahlah.
Setelah kurang lebih satu jam setengah, Ezra akhirnya menghentikan mobilnya di depan lobi salah satu beachclub di pinggiran Petitenget. Dari dalam mobil saja aku sudah bisa merasakan dentuman-dentuman musik yang sama sekali bukan seleraku. Bagaimana caranya kita menikmati musik yang kencangnya justru membuat telinga sakit?
"Let's go," gumam Ezra sambil membuka pintu lalu turun dan memberikan kunci mobilnya ke petugas valet.
Aku menarik nafas dalam-dalam sebelum membuka pintuku sendiri. Begitu turun, Ezra yang sudah beberapa langkah di depanku menjulurkan tangannya ke arahku. Aku hanya memberinya tatapan risih lalu berjalan melewatinya, mengabaikan uluran tangannya. Aku bisa dengar dia mendengus sinis, tapi tidak kupedulikan. Ezra kemudian mengikuti berjalan dekat di belakangku. Begitu kami masuk ke arena beachclub, aku seketika berhenti dan menelan ludah. Begitu banyak orang, musik yang amat keras, dan cahaya-cahaya yang membuatku pusing. Sepertinya ini benar-benar keputusan yang salah sudah menuruti permintaan Ezra. Lagipula apa yang kupikirkan bisa-bisanya mengiyakan Ezra?
Tiba-tiba Ezra merangkulku. "Come on, I'll show you around."
Mungkin karena dipusingkan oleh suasana hiruk pikuk, aku membiarkan Ezra menuntunku masuk ke tengah-tengah keramaian. Beberapa kali aku hampir ditabrak orang yang keasikan joget dan sepertinya mabuk berat.
"Hey, bro! Thanks for coming, man!" Tiba-tiba satu cowok bule dengan lengan penuh tattoo datang menghampiri sambil setengah berteriak dan akrab menyalami Ezra.
"Hey, man!" Masih dengan sebelah lengan di pundakku, Ezra balas menyalami temannya itu sambil sama-sama setengah berteriak. Suara musiknya terlalu kencang. "My pleasure! This is awesome!"
Aku tidak lagi mendengarkan apa yang mereka bicarakan. Aku melihat sekeliling. Aku pernah datang ke club di Jakarta beberapa kali, tapi tidak ada yang seperti ini. Mendekati pun tidak.
"This is Kaniss."
Mendengar namaku disebut, aku menoleh. Teman Ezra tersenyum ke arahku sambil mengulurkan tangannya. Aku menyalaminya dan tersenyum canggung.
"Lucky girl. He never brought anyone before," ujarnya dengan sedikit mendekatkan wajahnya padaku agar aku bisa mendengarnya. "Okay then. See you guys around."
Begitu teman Ezra pergi, aku melirik ke Ezra di sampingku dengan mata menyipit. "Lo ga pernah bawa cewek sebelumnya?" tanyaku curiga.
"Never brought one, but always went home with one, or sometimes two." Ezra menoleh padaku sambil mengedipkan sebelah matanya. Aku berdesis sinis. "Told you, I'm on girl strike. Don't wanna bring anyone home tonight."
"Ya ga usah bawa, susah amat," protesku. "Ga perlu sampe jadiin gue perisai."
Ezra mendekatkan pipinya ke pipiku, membuatku mengernyit. Dia menunjuk ke arah kumpulan orang tak jauh di depan kami. "See that girl in red dress?"
Dengan mudahnya aku menemukan sosok yang ditunjuk Ezra, cewek rambut brunette panjang sepinggang dengan tubuh yang membuatku menelan ludah. Kulitnya tanned, mengingatkanku pada Nina Dobrev.
"She is..." Ezra membuat lingkaran dengan jari telunjuk di sebelah pelipisnya, "...crazy. Dia alasan utama gue bawa lo ke sini. Among all these girls, she's the most persistent, one hell of a woman. I went home with her couple of times. Well, gimana gue bisa nolak?" Ezra bersiul sambil melihat ke arah cewek itu.
Aku mengernyit tidak percaya, menoleh lagi ke arah cewek itu. Dia terlihat normal-normal saja di mataku. Dia sedang bersama beberapa pria di sana, tapi dari penglihatanku dia tidak terlihat flirty, hanya tertawa sambil menenggak gelas minumannya.
"Let me show you." Ezra menggiringku menghampiri kumpulan orang itu.
Ezra menyapa mereka dan aku hanya tersenyum kikuk di bawah rangkulan Ezra. Dan ketika mataku dan mata cewek itu bertemu, aku mulai bisa mengerti yang tadi Ezra jelaskan padaku. Hanya dengan tatapannya, aku bisa merasakan dia seperti ingin membunuhku. Dia tidak mengenalkan diri melainkan langsung pergi begitu Ezra mengenalkanku pada mereka. Aku merasakan Ezra meremas pelan bahuku, membuatku menoleh ke arahnya. Dia tersenyum licik sambil mengangkat alisnya singkat. Aku menarik nafas berat. At least sepertinya aku membantu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...