Chapter 28 - Almost

9.5K 1.4K 100
                                    

"Serius?" reflekku tidak percaya. Sama sekali tidak kusangka orang seperti Ezra bisa jatuh cinta. But then again, mungkin aku yang belum benar-benar mengenal orang ini.

Kedua alis Ezra terangkat singkat sambil menyeringai bangga. "We were dating for like three years."

Wow. Memang tidak sebanding dengan lamanya hubunganku dengan Tama, tapi untuk ukuran seorang Ezra, tiga tahun cukup sangat mengejutkan.

"What happened?" tanyaku terdengar lebih prihatin dari yang kuharapkan.

"She cheated," jawab Ezra ringan dan santai.

"Ooh."

"With my Dad."

"Oh." Kali ini aku benar terkejut. Tentu saja aku terkejut. Aku menatap prihatin ke arah Ezra yang terlihat santai menatap lantai. Aku tidak tau harus bilang apa. Bisa membayangkan diriku di posisi Ezra saja tidak. Bagaimana mungkin seseorang berselingkuh dengan orang tua kekasihnya? Ew.

Sambil sedikit menunduk, Ezra melirik ke arahku. Alisnya seketika mengernyit. "Oh, don't look at me like that," ujarnya lalu tertawa pelan sambil kembali menatap lantai. Aku tidak merubah tatapanku padanya. "Lo belum pernah ketemu bokap gue. He's a true womanizer. Ga heran she preferred him than me. Penghasilannya sehari, lima kali lipat penghasilan gue setahun." Ezra kembali menoleh singkat ke arahku. "Apparently, setaun terakhir gue sama Nadine, she lied about her scholarship. She lost it. And it was my Dad who paid her bills, including a brand-new apartment in the Upper East Side." Ezra tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. "Dia bilang itu apartemen temannya yang dia sewa dengan harga murah. I was such an idiot, wasn't I?" Ezra menoleh kembali ke arahku dengan senyum miris. "Not even a second I had ever doubted her."

Aku menatap Ezra sungguh-sungguh. Baru kali ini dia terlihat... vulnerable. Aku tau rasanya percaya seratus persen dengan orang yang kita sayang. Aku percaya Tama lebih dari apapun. Hanya saja aku tidak pernah tau rasanya dikhianati oleh orang yang sangat kita percaya, oleh orang yang kita sayang.

"Ah, sorry, gue jadi ngomong ga jelas. Forget it." Ezra memalingkan wajahnya dariku sambil menyeringai tipis.

"Lo bukan idiot, you just love her. That's all."

Ezra kembali menoleh padaku, kedua alisnya terangkat. "Loved her. Past tense," Ezra membetulkan.

Aku membuang muka sembari mengangkat bahuku singkat bermaksud mengatakan 'whatever'. Sambil mendengus tersenyum, aku kembali melirik ke arah Ezra. Dia tengah menatapku. Raut wajahnya berubah serius. Senyumku memudar, aku reflek menoleh ke arahnya. Entah berapa lama kami sama-sama diam saling bertatapan, tapi setiap detiknya aku merasa semakin tegang. Dalam hati aku sebenarnya sudah bisa menebak apa yang hendak Ezra lakukan, tapi hanya begitu wajahnya perlahan mendekat, aku baru yakin tebakanku benar.

Seharusnya aku menghindar, atau mendorongnya seperti dulu saat Ezra mencoba menciumku. Tapi entah kenapa, kali ini aku mematung diam. Kali ini berbeda. Caranya menatap kedua mataku. Aku tau ini salah. Sangat salah. Tapi tatapannya membuatku sulit berfikir.

Oh, no.

Dan ketika hidung kami sudah hampir bersentuhan, aku memalingkan wajahku. "Gue mesti pulang," ujarku cepat. "Udah malem."

Aku mengatur nafas perlahan, berusaha santai. Kulirik Ezra, berharap dia bersikap seperti dia yang seharusnya; menyeringai licik lalu tertawa pelan karena usahanya gagal. Berharap semua ceritanya barusan hanya akal-akalan untuk membuatku terenyuh, seperti saat di villa dulu. Tapi yang kudapati justru Ezra juga memalingkan wajahnya dengan jari telunjuk di bibir dan ibu jari di dagunya.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang