Tentu saja malamnya aku tidak bisa tidur. Aku baru terlelap setelah subuh, dan aku sudah harus bangun jam delapan pagi karena sudah berjanji akan mengantar bunda dan ayah jalan-jalan. Dari semua tamuku tadi malam, yang sudah pulang ke Jakarta hanya Inaya karena dia ada kerjaan. Tapi yang ikut jalan-jalan denganku hari ini hanya bunda, ayah, Fathir, dan kedua orang tuanya. Kedua orang tua kami sangat cepat akrab. Kami sudah seperti resmi keluarga besar. Apa yang kukhawatirkan? Hidupku dengan Fathir sudah cukup sempurna.
Hanya bunda dan Fathir yang sadar kalau sikapku aneh. Seharian aku tidak banyak bicara. Pikiranku sudah terlalu penuh untuk berbohong. Jadi aku berkata jujur kalau semalam aku tidak bisa tidur. Tentu saja aku tidak menjelaskan alasannya. Lagipula bunda langsung meledekku dan berkata kalau seminggu setelah dulu ayah melamarnya bunda juga tidak bisa tidur. Aku memaksakan diri untuk tertawa supaya tidak lagi mengkhawatirkan mereka.
Walau begitu, Fathir tetap memperhatikanku dan tau kalau ada yang tidak benar. Dia bahkan sempat menawariku pulang kalau aku merasa tidak enak badan. Fathir sebaik itu padaku. Seperhatian itu. Dia selalu memprioritaskan aku dan melakukan apapun yang membuatku nyaman. Pria sempurna ini sudah menjadi tunanganku.
Saat bertemu dengannya hari ini, kupikir aku akan dihantui perasaan bersalah dan tidak akan berani menatapnya. Tapi rupanya aku merasa biasa saja. Seharusnya aku merasa tidak enak padanya, tapi tidak. Seharian aku diam bukan karena aku merasa bersalah. Jujur, semalam aku tidak tidur juga bukan karena kepikiran soalnya atau pertunangan kami. Mungkin belum. Mungkin nantinya aku akan dihujani perasaan bersalah. Tapi tidak sekarang. Saat ini otakku hanya bisa memikirkan satu hal. Satu orang. Ezra dan perasaanku terhadapnya.
Apa yang sebenarnya aku rasakan pada orang itu? Apa yang membuat hal yang terjadi tadi malam terjadi? Apa yang sebenarnya Ezra rasakan padaku? Semalaman aku memutar otak, tapi hasilnya nihil. Aku tidak tau jawaban-jawaban dari pertanyaan itu. Berkali-kali aku meyakinkan diriku kalau semua itu terjadi karena terbawa suasana dan pengaruh dia yang sekarang bersikap baik padaku. Berkali-kali aku menegaskan diriku sendiri kalau Ezra masih seperti dulu. Baginya aku hanya salah satu wanita yang akan diciumnya kalau ada kesempatan. Tidak lebih.
Semalaman aku melakukan itu, tapi aku tetap tidak yakin. Aku tidak sebodoh itu sampai tidak sadar ada yang berbeda dengan Ezra dan ada yang berbeda denganku.
Aku seperti tidak diberi waktu istirahat. Sore itu kami makan malam sambil menikmati sunset di La Laguna, beach club luas yang bernuansa hippies yang sekarang sedang ngetop-ngetopnya. Aku tau kak Bila, Rizky, dan Rania akan bergabung bersama kami, tapi aku tidak tau kalau orang itu punya cukup nyali untuk datang. Aku menertawai diriku sendiri dalam hati. Kenapa aku bisa terkejut? Ezra adalah tipe orang yang sangat mungkin muncul untuk makan malam bersama wanita yang baru diciumnya mesra tadi malam berikut tunangan dan keluarganya. Somehow aku tau Ezra tipe orang yang tidak takut dengan apapun. Ezra sangat secure dengan dirinya sendiri.
Kami semua duduk bersama di meja panjang, kecuali para orang tua, mereka duduk bersama di meja lain dekat dengan kami. Fathir duduk di samping kananku, kak Bila duduk di sampingnya, Rania duduk di hadapanku, Rizky duduk di sampingnya, di hadapan Fathir, dan Ezra duduk di samping sepupunya. Posisiku sudah yang paling jauh darinya, tapi tetap saja keberadaan Ezra membuatku tidak tenang.
Sejak Ezra muncul bersama Rizky dan yang lain, aku tidak mengajaknya bicara. Tidak menyapa, bahkan tidak menoleh sedikitpun ke arahnya. Sekuat tenaga aku berusaha untuk bersikap biasa saja. Setidaknya tidak lebih aneh dari sikapku seharian ini. Aku tidak mau ada yang curiga. Aku tidak mau Fathir curiga.
Selama makan, Ezra juga lebih diam dari biasanya. Tidak ada komentar sinis yang keluar dari mulutnya ketika Rizky kembali bertingkah bodoh. Tapi sepertinya hanya aku yang menyadari sikap anehnya. Atau mungkin aku yang berlebihan?
"Jadi kapan nih, tanggal baiknya?" Rania polos bertanya.
Fathir menarik tangan kiriku dari atas meja lalu menunduk mencium jemariku yang mengenakan cincin darinya. Dia tersenyum bahagia ke arah Rania. "The sooner, the better."
Semua—selain Ezra tentunya—tertawa pelan mendengar jawaban Fathir yang dengan mesra merangkulku, menarikku ke dalam dekapannya, dan mencium hangat pelipisku. Aku tidak sempat memperhatikan respon Rizky, Rania, dan kak Bila dengan adegan mesra kami ini. Atau lebih tepatnya, aku tidak peduli. Di dalam dekapan Fathir, aku melirik ke arah Ezra untuk pertama kalinya.
Oh, tidak. Tidak, Ezra. Kumohon, berhenti menatapku seperti itu. Aku tidak pernah melihat Ezra terlihat semarah itu. Matanya berkilat-kilat menatapku dalam pelukan Fathir tanpa berkedip. Mulutnya mengatup kencang. Aku merasa sangat gugup karena Ezra terlihat tidak peduli kalau ada yang melihat dia menatapku seperti itu. Ezra benar-benar tidak peduli.
Tidak. Tidak. Tidak. Bagaimana kalau Fathir melihatnya?
Saking paniknya, aku reflek melepaskan rangkulan Fathir yang langsung menatapku heran. "A-aku mau ke toilet," ucapku cepat. Tanpa mau melihat ke arah Ezra lagi, aku beranjak menjauh dari meja.
Tempat ini sangat luas dan aku harus dua kali bertanya pada pelayan di mana letak kamar mandi baru bisa menemukannya agak jauh di belakang, setelah melewati gang yang cukup gelap. Sesuai dengan tema tempat ini, kamar mandinya juga bernuansa hipster dengan penerangan minim. Biasanya aku tidak akan betah berada di tempat sempit dan gelap seperti ini, tapi aku tidak peduli. Kedua tanganku bertumpu di salah satu wastafel yang ada. Aku tidak peduli dengan make-up tipis yang kugunakan, aku membasuh wajahku, berharap aku bisa lebih tenang. Aku menatap bayangan diriku di cermin. Aku harus tenang. Aku tidak boleh membiarkan diriku terpengaruh sebesar ini oleh Ezra.
Entah sudah berapa lama aku berdiam diri, namun akhirnya aku sedikit bisa lebih tenang. Aku hanya perlu melupakan apa yang terjadi semalam dan menyelesaikan acara makan malam ini.
Aku keluar dari kamar mandi dan sempat hampir bertabrakan dengan bapak-bapak yang hendak menuju toilet pria. Tempat ini memang bagus dan sangat menarik, tapi aku tidak suka kamar mandinya. Terlalu sempit dan dengan mudahnya saling mengintip. Belum lagi cahayanya yang remang-remang.
Begitu berhasil keluar, aku langsung dihadapkan dengan Ezra yang berdiri bersandar pada dinding dengan kedua tangan terlipat di depan dada. Dia baru mengadah begitu aku melihatnya. Dia berdiri menungguku, aku tau. Dan aku hanya diam menatapnya tegang.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...