Chapter 20 - I Do Have Feelings For You

10.8K 1.4K 67
                                    

Keesokan harinya aku masih lesu. Entah aku yang lemah atau memang efek hangover itu segininya? Mungkin juga karena ini pertama kalinya aku minum-minum sampai semabuk itu.

Fathir menelfonku siangnya, menanyakan kabarku karena seharian kemarin aku tidak menghubunginya. Aku bilang aku sedang tidak enak badan, tapi aku tidak bilang kalau ini karena aku mabuk berat. Sorenya Fathir datang menjengukku dengan satu kantong plastik penuh buah-buahan. Aku tiduran di sofa sementara Fathir di dapur memotong apel dan menyiapkan buah lainnya di keranjang yang tersedia. Dengan satu tangan kuletakkan di atas kening, aku mengintip ke arahnya. Apa benar yang dibilang Dewi, kalau Fathir suka padaku?

"Nih, tuan puteri, makan." Fathir menghampiriku dengan piring berisi apel yang sudah dipotong-potong, jeruk yang sudah dikupas, dan satu buah pisang. Dia duduk di karpet di sampingku dengan satu kaki diangkat dan tangannya bersandar di atas lututnya. Dia menyodorkan piring itu ke dekatku sambil tersenyum.

Perlahan aku bangun memberi ruang agar Fathir bisa duduk di sampingku. Begitu dia duduk di sebelahku, aku menerima piring berisi buah itu sambil menatapnya bingung. "Kok lo baik banget sama gue?"

Fathir mengangkat kedua alisnya kaget, dia lalu mendengus tersenyum. "Orang baik kok ditanya kenapa."

"Abis lo baik banget."

"Lo mau gue jahat?" tanyanya jahil.

"Ya bukan gitu sih, cuma..." aku diam sejenak, berfikir apa aku harus mengaku soal ini padanya, "Dewi sampe ngira lo suka sama gue." Aku memaksakan menyengir karena merasa bodoh dengan ucapanku sendiri.

Kupikir Fathir akan tertawa, tapi dia malah mengalihkan pandangannya dariku sambil mengulum senyum. Masih dengan senyum dikulum, dia sedikit menunduk lalu melirik ke arahku. "Makan sana."

Oh, shit. Aku diam mematung beberapa saat sebelum akhirnya aku berlagak santai memakan buah yang Fathir siapkan. Maksudnya dia apa? Kenapa dia tidak mengelak? Kenapa responnya seperti itu? Kenapa aku jadi deg-degan gini? Ini mengingatkanku pada saat Tama memegang tanganku sebelum dia memintaku menjadi pacarnya dulu. Aku deg-degan karena aku sudah tau apa yang akan Tama katakan.

Entah karena tidak enak badan atau karena respon Fathir barusan, aku kehilangan nafsu makan. Tapi aku tetap berusaha menelan buah-buah ini karena situasi menjadi canggung dan aku tidak tau apa yang bisa kulakukan selain makan. Sesekali aku melirik ke Fathir di sebelahku, dia terlihat santai duduk bersandar sembari membuka-buka buku yang tadi kubaca.

Kurasa aku terlalu sering melirik ke arahnya, karena dia akhirnya menoleh ke arahku, tersenyum. Aku berusaha santai membalas senyumnya lalu cepat kembali konsen dengan yang ada di piringku. Aku tidak suka situasi seperti ini.

Tiba-tiba Fathir pelan menarik piring ini dari tanganku, meletakkannya di atas coffee table di depan kami. Sambil menggigit bibir bawah, aku melirik ke arahnya tegang. Dan ketika Fathir meraih tanganku, aku menelan ludah.

"Gue tadinya sama sekali ga kepikiran buat ngomong ini pas lo sakit, di ruang tamu sore-sore, tanpa ada persiapan apa-apa. Tapi gue khawatir lo ga bisa tidur gara-gara kepikiran." Fathir lagi-lagi tersenyum jahil.

Aku tegang. Mulutku mengatup kencang dan jantungku berdebar kencang.

"Dewi bener..." Fathir menarik nafas panjang. "I do have feelings for you." Jantungku semakin tidak karuan. "And I hope you feel the same thing for me."

Nafasku tercekat. Aku sama sekali tidak bisa menjelaskan apa yang kurasakan sekarang selain terkejut. Benar-benar terkejut.

"Fat... mm... gue..." aku mulai bergumam tidak jelas.

"No, no, no..." sela Fathir cepat. "Gue ga minta lo jawab sekarang. Take your time. Selama apapun yang lo mau. Soalnya kalo emang iya, I want us to work. Gue ga mau main-main sama lo," tutur Fathir menatapku serius. "I love you."

---

"Kenapa lo?"

Aku mengadah, Dewi sudah berdiri dekat dapur. Aku tidak sadar kapan dia datang. Fathir sudah pulang beberapa saat yang lalu. Semenjak dia pulang sampai sekarang, aku masih duduk terpaku di sofa. Masih sangat kebingungan.

Aku diam sejenak memandang Dewi serius. "Fathir nembak gue."

"WHAT?!" Dewi dengan cepat mengambil posisi duduk di sampingku, menatapku penuh antusias. "Kan bener kan gue! Kapan?"

"Barusan."

"Kok bisa?" mata Dewi membelalak. "Lo jawab apa?"

Aku menarik nafas berat. "Ga jawab apa-apa."

"Dia bilang apa?"

"Dia cuma bilang take your time," jawabku sambil membuang nafas berat.

Kami sama-sama diam untuk beberapa saat. "Lo gimana sama dia?" tanya Dewi akhirnya, menatapku sungguh-sungguh.

Ini pertanyaan yang sangat sulit untukku saat ini. Aku sama sekali tidak tau bagaimana perasaanku ke Fathir. Yang pasti aku merasa tidak siap kalau harus berpacaran lagi. Seumur hidupku aku hanya pernah berpacaran sekali dan itu dengan Tama.

"Gue belum mau pacaran lagi, Wi," jawabku jujur.

Dewi menghela nafas. "Jadi lo mau nolak?"

Lagi-lagi pertanyaan yang sulit. Entah kenapa aku takut kalau aku menolak Fathir, kami tidak bisa seperti sebelumnya. Aku tidak ingin kehilangan orang yang bisa membuatku nyaman.

"Lo yakin bakal ngelepas Fathir?" tanya Dewi lagi. "Menurut gue sih, jangan sampai lo nolak cuma karena lo ga siap. Kalo lo nunggu sampai lo ngerasa siap, bisa jadi lo ga bakal pernah siap. Yang mesti lo pikirin, apa lo bakal ketemu lagi yang kayak Fathir?"

---

Tiga hari setelah Fathir menyatakan cintanya padaku, dia menelfon. Dia mengajakku ngopi sore seolah tidak ada apa-apa. Seharusnya aku merasa lega karena ternyata Fathir tidak berubah canggung. Dia masih seperti dia yang biasa. Tapi nyatanya aku tidak merasa lega. Justru ada sedikit rasa kesal kenapa Fathir bertingkah seolah tidak ada yang terjadi. Tiga hari aku hampir tidak bisa tidur khawatir karena Fathir tidak menghubungiku sama sekali. Kupikir aku sudah kehilangan Fathir bahkan sebelum aku menolaknya. Dan sedangkan dia terlihat santai-santai saja. Curang.

"Gue pesenin cinnamon roll ya?" tanya Fathir menyebut kue favoritku. Aku hanya berdehem mengiyakan. Fathir memesan ke waitress lalu menolehku ke arahku, mengernyit curiga. "Lo masih sakit?" tanyanya khawatir.

Aku hanya menggelengkan kepalaku. Pertama kali aku merasa menyesal menerima ajakan Fathir. Seharusnya aku di rumah saja.

Sebelah alis Fathir naik. "What's wrong?"

"What's wrong?" Aku tidak bisa menutupi keterkejutanku. Jelas-jelas dia tau persis apa yang membuatku begini. "Ga tau deh, kayaknya gue yang terlalu serius nanggepin omongan lo kemarin," lanjutku tanpa bermaksud terdengar sesinis ini.

Fathir terlihat terkejut dengan ucapanku, tapi kemudian dia tersenyum. "Kaniss, mungkin lo ga percaya segugup apa gue sekarang. Setegang apa gue waktu nelfon lo ngajak jalan. Gue sebenarnya mau ngasih lo waktu sendiri supaya lo bisa tenang. Tapi jujur, gue ga tahan lebih lama lagi ga ketemu lo. Gue pikir lo bakal nolak. Dan gue tau, yang lo pengen sekarang pasti kita yang kayak biasanya. So I'm trying my best supaya lo ngerasa nyaman."

Aku diam mendengar penjelasannya. Sama sekali tidak menyangka kalau Fathir hanya berpura-pura santai.

"Kenyamanan lo itu prioritas gue," ujarnya serius. "Udah kayak iklan maskapai kan gue," lanjutnya tertawa, tapi tawanya terdengar hambar. Aku pun akhirnya sadar kalau Fathir memang benar gugup.

Reflek, aku tersenyum. Dewi benar. Belum tentu aku bertemu orang seperti Fathir lagi. Dia baik, pengertian, sabar, pintar, dan yang paling menjadi nilai plus untukku adalah bagaimana dia banyak mengingatkanku pada Tama. Sifatnya sangat mirip dengan Tama. Apa mungkin suatu saat akan ada orang seperti Fathir dan suka padaku?

"Fat," panggilku. Dia menoleh. Aku menatapnya sungguh-sungguh. Aku pernah berada di posisi ini, hampir sepuluh tahun yang lalu. Fathir memandangku bingung. "Buat pertanyaan lo kemaren," aku menarik panjang. Bisa kulihat Fathir ikut tegang. "It's a yes."

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang