RING! RING!
Berkali-kali aku menekan bel rumah yang terlihat jauh lebih megah dari terakhir kali aku kemari, bertahun-tahun yang lalu. Sampai akhirnya ada satpam yang menghampiriku.
"Iya?"
"Saya mau ketemu Ezra. Dia ada di rumah?" tanyaku tidak sabar. Aku mengalami adrenaline rush yang aku tidak tau apa sebabnya selain keinginan untuk bertemu dengan orang itu secepat mungkin.
"Ezra lagi keluar. Ada pesan?"
Aku berdecak sekali. Bodoh sekali aku dengan semangat menghampiri rumahnya tanpa menelfonnya terlebih dahulu. Kupikir akan lebih dramatis, dan anggap aku norak, tapi aku butuh sesuatu yang dramatis untuk hal ini.
"Kira-kira lama ga? Boleh saya nunggu di dalam?"
Pak satpam mengernyit curiga ke arahku.
"Saya temannya."
"Tapi saya ga tau Ezra pulang kapan."
"Gapapa." Aku sendiri kaget dengan ucapanku ini. Gapapa? Gapapa aku menunggunya entah sampai kapan?
Ah, screw it. Aku yakin dia tidak akan lama.
Pak satpam pun mempersilahkanku untuk masuk. Aku harus berjalan cukup jauh untuk masuk ke dalam ruang tamunya karena pekarangannya yang sangat luas. Terakhir dan pertama kalinya aku ke sini adalah ketika acara debutante ball dan aku berdansa bersama Tama. Itu sudah sangat lama sehingga aku harus menelfon Rizky memastikan di mana alamat rumah Ezra. Siapa yang menyangka aku akan datang kembali ke rumah ini untuk menemui tuan rumah yang bahkan tidak kukenal di kala itu.
Tebakanku salah, Ezra tidak sesebentar itu. Dua jam berlalu dan tidak ada ciri-ciri kalau Ezra sudah pulang. Selama dua jam itu aku terus-terusan berdoa agar tidak ada anggota keluarga Ezra menemukanku di sini. Akan terlalu ribet kalau harus menjelaskan alasanku menunggu Ezra dengan polosnya tanpa mengabari pria itu terlebih dahulu. Setelah satu jam pertama, aku sempat hendak menelfon Ezra untuk memastikan apa dia akan pulang. Tapi kuurungkan dengan keyakinan kalau Ezra pasti akan pulang sebentar lagi. Lagipula rumah ini sangat sepi dan aku tidak bertemu dengan siapa pun kecuali pelayan yang membawakanku minuman tanpa kuminta. Sayang sekali rumah semegah ini tapi terasa amat kosong.
Aku melirik ke arah jam tanganku. Lima menit lagi Ezra tidak muncul dari balik pintu itu, aku pulang.
Tidak. Aku tidak akan pulang. Aku akan menelfonnya.
Sepuluh menit berlalu dan aku tetap tidak melakukan apa-apa. Sampai akhirnya aku mendengar suara langkah mendekat dari balik pintu. Ruang tamu ini sangat luas dan dari tempatku duduk cukup jauh dengan pintu. Tapi aku tetap bisa merasakan ada yang datang.
Pasti Ezra. Seketika aku merasa bodoh karena aku tidak tau apa yang akan kukatakan padanya ketika sudah bertemu. Kenapa aku tidak memikirkan ini sebelumnya? Kenapa aku tidak menyiapkan kata-kata yang harus kuucapkan? Sial. Aku deg-degan sekaligus bersemangat. Aku bangkit dari sofa, bertepatan dengan Ezra membuka pintu utama rumahnya. Dia menatapku dengan wajah terkejut.
"Kaniss?"
Dan aku hanya mematung bodoh. Namaku terdengar sangat indah dipanggilnya dengan suaranya yang berat dan agak serak. Dia sudah berganti pakaian dari tadi pagi—tentu saja. Dia hanya mengenakan t-shirt putih, celana jins, dan sepatu boots coklat. Rambut coklat ikalnya dia biarkan berantakan begitu saja membingkai wajahnya. Tidak ada yang berbeda dengan penampilannya hari ini. Aku justru pernah melihatnya berpakaian rapi dengan jasnya. Tapi somehow dia saat ini terlihat sangat tampan.
"Why didn't you call?" tanya Ezra, masih berdiri di depan pintu. Dia terlihat sangat terkejut dengan kemunculanku. Aku juga pasti terkejut kalau aku di posisinya. Langkah yang kuambil ini memang bold. Tidak seperti aku yang biasa. Tapi keberanian ini yang kubutuhkan. Setidaknya untuk saat ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...