Hanya beberapa menit sebelum jam tujuh, ada yang mengetuk pintu.
"Ow, punctual. I like it," goda Dewi melirik ke arahku yang duduk di sampingnya. Aku hanya memberi senyum palsu sedetik lalu bangkit dan membukakan pintu.
"Hai," sapa Fathir dengan botol Coca-Cola satu liter di tangannya.
"Hai," sapaku balik sambil mempersilahkannya masuk. "Ngapain deh repot-repot bawa Coca-Cola segala."
"Maunya bawa popcorn sekalian, tapi udah abis tadi." Fathir meletakkan botol Coca-Colanya di coffee table samping sofa.
Dewi bangkit berdiri dengan lututnya di atas sofa. Dia tersenyum penuh makna ke arah Fathir.
Fathir menjulurkan tangannya yang segera disambut Dewi. "Fathir."
"Dewi."
"Gue sering banget denger cerita soal lo." Fathir tersenyum hangat.
"Gue juga, soal lo," timpal Dewi yang membuatku reflek melotot ke arahnya. Fathir menoleh ke arahku dengan senyum tersanjung. Aku memaksakan tersenyum santai ke arahnya. Sial, Dewi bikin malu aja.
"Ayo duduk sini, Fat." Dewi menyingkir memberi ruang untuk Fathir duduk. "Gue udah ga sabar pengen nonton."
Fathir duduk di sofa panjang ini, namun Dewi dengan ringannya pindah ke sofa single. Aku tau benar isi otak anak itu apa. Mau tidak mau aku duduk di samping Fathir.
"Lo udah pernah nonton A Walk to Remember, kan?" tanya Dewi ketika dia memasang flashdisk-nya ke TV plasma 55 inch ini.
"Belom," jawab Fathir santai, membuatku dan Dewi cepat menoleh ke arahnya.
"Lo belom pernah nonton A Walk to Remember?" tanyaku tak percaya. Untuk orang dengan pengetahuan luas apalagi suka membaca seperti Fathir, agak aneh kalau dia belum pernah menonton film fenomenal ini.
"Belom," ulang Fathir bingung kenapa aku dan Dewi kaget.
"Baca bukunya?" tanyaku lagi.
"Pernah denger, tapi ga pernah baca."
"Oh, boy," gumam Dewi sambil menekan tombol remote. "Siap-siap. Tisu udah gue siapin tuh, banyak."
Fathir menoleh ke arahku seolah meminta penjelasan. Aku tersenyum prihatin ke arahnya. "Nonton aja."
Dan kami bertiga pun menonton dalam diam. Memang kalau sudah menonton film ini, lebih baik diam atau Dewi akan menghujam dengan tatapan membunuh. Syukur-syukur kalau dia tidak melempar remotenya. Aku melirik ke Fathir dan berusaha menahan tawaku melihatnya serius menonton film ini untuk pertama kalinya. Aku teringat betapa seriusnya wajah Tama ketika dia menonton film ini pertama kalinya denganku dulu saat masih SMA.
Ketika Landon menyatakan cintanya pada Jamie, Dewi sudah terisak sambil memeluk kotak tisu. Fathir yang belum pernah menonton sebelumnya, berbisik di telingaku tanpa mengalihkan tatapannya dari layar TV, "jangan bilang ceweknya mati?"
Aku mengulum senyum, tidak menjawab. Fathir dengan cepat menoleh ke arahku dengan tatapan horror, dua detik kemudian dia kembali mengunci tatapannya yang tegang ke arah TV. Dan ketika Jamie akhirnya jujur kepada Landon kalau dia mengidap leukimia, Fathir berdecak kesal. "Ah!"
"Ssssttt!!" seru Dewi marah. Aku berusaha menahan tawaku.
Masih dengan wajah kesal, Fathir menoleh padaku, berbisik, "mau minum?"
Aku menggelengkan kepala. Fathir dengan santai bangkit memutari sofa ini sambil mengambil botol Coca-Cola yang dibawanya dan berjalan ke dapur. Mata Dewi mengikutinya dengan tatapan tidak percaya, lalu dengan cepat menoleh ke arahku seolah protes. Dia mendengus kesal lalu kembali fokus dengan film ini. Dewi pasti kecewa karena bisa-bisanya Fathir pergi di tengah-tengah film, terlebih dia baru pertama kali menonton ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...