Chapter 29 - Forget About Him

9.9K 1.3K 6
                                    

Sudah dua hari berlalu dan aku masih belum bisa mengenyahkan pikiranku tentang malam itu di restoran hotel milik Ezra. Otakku terus memutar semua kejadian malam itu karena aku sama sekali tidak mengerti apa yang salah sampai bisa berujung pada kami hampir berciuman. Apa karena suasananya? Apa seharusnya aku tidak mengiyakan ajakannya makan di restorannya? Atau seharusnya aku sudah menolak ajakannya sejak dia mengajakku duduk bareng di acara gala dinner itu? Apa jangan-jangan itu semua akal-akalan Ezra? Engga... ga mungkin. Ezra sama sekali tidak seperti dia yang biasanya. Dia bahkan sama canggungnya denganku. Sama salah tingkahnya.

Damn it. Seharusnya aku tidak perlu memusingkan hal ini. Kenapa aku sibuk memikirkan penyebab hal yang bahkan tidak terjadi? Berkali-kali aku meyakinkan diriku sendiri kalau yang terpenting adalah aku dan Ezra tidak berciuman. Tapi tetap saja aku tidak bisa melupakan kejadian itu, tidak sedetik pun. Dan aku selalu reflek menarik nafas tajam seolah terkejut setiap bayangan wajah Ezra sedekat itu muncul.

Okay, enough. Enough.

Aku dengan lesu memaksakan diri bangun dari kasur karena sudah jam sebelas siang. Aku merasa kurang enak badan. Iya, mungkin aku sakit makanya pikiranku tidak ada yang jelas.

Aku berjalan pelan menuju kamar mandi, hendak cuci muka. Dan ketika aku melihat refleksi jas Ezra menggantung di belakang pintu dari cermin, aku mengerang lelah. Aku baru ingat kalau kemarin aku berencana mengembalikan jasnya ke apartemen hotelnya, tapi kuurungkan karena belum siap kalau sampai tidak sengaja bertemu Ezra--aku berniat mengembalikannya tanpa dia ketahui.

Sekarang apa yang harus kulakukan? Jasnya pasti tidak murah. Ah, sebaiknya aku tanya Dewi seandainya hari ini dia ada rencana ke Kuta. Semoga iya, jadi aku bisa menitipkan jas ini padanya tanpa ada resiko akan bertemu Ezra.

Tidak berhasil menemukan Dewi di bawah, aku pun kembali ke kamarku berfikir untuk menelfon Dewi.

Di contacts ponselku, nama Dewi berada persis di atas nama Ezra. Iya, waktu dia menelfonku dulu, aku sengaja menyimpan nomernya hanya untuk bisa menghindari telfon darinya seandainya dia berniat menggangguku lagi. Ironisnya, saat ini justru jariku mengambang satu centi di atas namanya, berfikir untuk menelfonnya. Siapa tau supir hotelnya bisa kemari untuk mengambil jasnya. Iya, kan?

Bodoh. Menitipkan jas ini pada Dewi adalah cara terbaik kalau aku benar-benar tidak mau berurusan dengan Ezra lagi. Iya. Aku tidak mau berurusan dengan Ezra lagi.

Tapi jariku masih belum berubah posisi. What am I thinking?

Layar ponselku tiba-tiba berubah menjadi panggilan telfon. Untuk sepersekian detik kupikir aku tidak sengaja menekan tombol menelfon Ezra. Aku sudah panik, tapi rupanya nama Fathir yang muncul di layar. Fathir menelfonku.

Aku menghembuskan nafas lega sebelum mengangkat telfonnya. "Halo?"

"Hai, sayang. Lagi di rumah?" tanya Fathir. Suaranya seolah menjadi penenang kerumitan otakku saat ini.

Aku tersenyum. "Iya, di rumah," jawabku.

"Baru ditanya di rumah aja udah senyam-senyum. Kangen banget?"

Aku tertawa. Memang sudah lima hari aku tidak bertemu Fathir karena dia ditugaskan ke Jakarta. Dan aku memang kangen dengannya.

Aku duduk di kursi baca dengan memeluk sebelah kakiku sembari menjawab, "lumayan."

Giliran Fathir yang tertawa. "Berhubung aku pacar yang baik, sekarang aku on the way ke rumah kamu. Kita makan siang di rumah aja, aku bawain bakmi GM."

Mulutku menganga tipis dengan kedua alis terangkat. "Kamu udah di Bali?"

"Udah, ini dari airport."

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang