Chapter 4 - You Talk!

14.5K 1.9K 26
                                    

Aku tengah menikmati cuaca pagi ini dengan tiduran di kursi pantai di samping kolam renang villa sewaan Rizky dan kak Bila. Villa dua kamar ini dilengkapi fasilitas kolam renang dan ruang tengah yang terbuka dan cukup luas bernuansa tropis. Ada juga balai bengong di dekat kolam dan jacuzzi di dekat kamar mandi. Bali memang paling jagonya memanjakan turis.

"Ky, Ezra jadi ikut ga?" tanya kak Bila yang tengah repot mengecek barang di tas pantainya.

"Tadi gue line dia bilang 'bentar'."

"Udah bentar doang? Dia ke sini apa kita ketemuan?"

"Dia ke sini, bawel."

"Pokoknya sepuluh menit lagi dia ga dateng, kita tinggal."

"Riweuh banget, sih? Santai aja tuh kayak Kaniss."

Mendengar namaku disebut, aku hanya menoleh dan tersenyum mengangkat kedua alisku. Kak Bila yang masih menggerutu kemudian duduk di sampingku.

"Kamu udah sarapan?"

"Belum."

"Nih," kak Bila menyodorkan sebungkus roti coklat. Aku menerimanya sambil tersenyum.

Biarpun memang agak bawel kadang-kadang, kak Bila itu yang paling dewasa dan penyayang dibanding Rizky dan Tama. Tama tentu amat penyayang, tapi spesial denganku saja. Sedangkan kak Bila itu memang perhatian hampir ke semua orang yang dia kenal baik. Rizky, groom-soon-to-be, justru yang paling kekanak-kanakan di antara kami semua. Untungnya Rania bersifat keibuan dan penyabar jadi mereka saling melengkapi.

Tak lama ada yang mengetuk pintu kayu villa ini.

"Pasti Ezra." Kak Bila buru-buru membuka kunci pintu dan Ezra langsung menyeruak masuk tanpa basa-basi. Aku melirik ke arahnya, seketika dia terlihat berbeda. Mungkin cara pandangku yang berbeda, mengingat aku baru tau ternyata dia lulusan Harvard.

"Haven't had breakfast yet." Dengan cuek Ezra merebut roti coklat dari tanganku yang baru saja kubuka namun belum sempat kumakan. Dengan santai Ezra melempar tubuhnya tiduran di kursi pantai di samping kursi yang kududuki dan menjadikan sebelah tangannya sebagai sandaran kepala.

Apa-apaan ini? Siapa dia sudah sesok-asik itu denganku? Ih. Percuma dia lulusan kampus terbaik di dunia, dia tidak punya etika.

"Mau kemana kita hari ini?" tanya Ezra sembari melahap roti milikku tanpa merasa bersalah. Dia melirik singkat ke arahku sambil mengulum senyum tengil. Aku hanya menggelengkan kepala lalu membuang muka.

"Ke Bedugul," kak Bila menjawab sambil merogoh sebungkus roti lainnya dari dalam tasnya lalu memberikannya padaku. Aku mengucapkan thank you tanpa suara.

"Duh," Ezra mengeluh, "jauh banget. Ga bisa yang di sekitar sini aja?"

"Nope," sanggahku sudah kehabisan sabar. Aku menoleh ke arahnya dengan senyum dipaksakan yang langsung hilang begitu aku membuang muka.

"You talk! I honestly thought you're a mute!" seru cowok itu dengan nada kaget dibuat-buat. Aku berdesis kesal, tapi tidak mau menggubrisnya lagi, bahkan tidak mau menoleh.

"Udah, ah, yuk," ajak Rizky sambil meraih kunci mobil dari meja. "Mau lo apa gue yang nyetir?" tanyanya kepada Ezra.

"Lo aja, I rather sit back and relax."

---

Ezra literally sit back and relax. Perjalanan dua jam yang ditempuh untuk mencapai danau Buyan di daerah Bedugul hampir sepenuhnya dipergunakan Ezra untuk tidur dengan nyamannya di kursi penumpang di samping Rizky. Sebenarnya memang lebih baik Ezra tidur daripada aku harus mendengar ocehannya yang sarkastik dan menyebalkan. Hanya saja aku duduk di belakang Ezra, dan pria setengah bule itu menurunkan sandaran kursinya semaksimal mungkin. Aku sempat protes dengan sengaja menendang sandaran kursi Ezra, tapi cowok itu sama sekali tidak peduli. Aku terpaksa bergeser berdempetan dengan kak Bila.

"Ky, sepupu lo ini loh," gerutu kak Bila.

Rizky tertawa, menoleh ke sepupunya yang tidur membelakanginya. "Emang ngeselin sih ni anak. Tapi percaya deh sama gue, lama ga ketemu ngangenin juga."

Aku berani bersumpah aku melihat bayangan wajah Ezra terpantul di kaca jendela, pria itu menyeringai dengan mata masih terpejam. Aku mendengus tidak mengerti dengan tingkah ajaib pria usia dua puluh delapan tahun yang katanya seorang pengacara lulusan Harvard.

Ezra baru bangun ketika mobil sudah diparkirkan di tempat tujuan.

"Seriously? Buyan?"

Aku memutar kedua bola mataku, tidak sanggup lagi mendengar suara protes Ezra. Aku berjalan menjauh mendekati ujung dek di atas danau. Berbeda dengan danau Bratan, danau ini lebih sepi pengunjung dan tidak ada hal lain selain pepohonan, dek dari kayu yang usang, dan danau dengan pamandangan bukit yang spektakuler. Mumpung sedang berada di tempat seperti ini, aku menghirup dalam-dalam udara yang masih bebas polusi. Ini juga pertama kalinya aku datang ke danau Buyan. Beberapa kali aku dengar soal danau ini dari Dewi, bos dan teman serumahku di Bali. Benar tebakannya, aku jauh lebih suka di sini daripada danau Bratan yang ramai orang. Tidak salah aku mengajukan tempat ini ke kak Bila dan Rizky tadi malam.

"Kan."

Aku menoleh, Rizky tengah berjalan menghampiriku.

"Si Ezra bilang dia mau ngajak kita ke tempat yang lebih oke."

Aku menarik nafas kesal, menoleh ke belakang pundak Rizky dan mendapati Ezra di ujung sana—bahkan dia tidak melangkah jauh dari mobil—sedang memandang ke arah kami dengan wajah tidak sabar. Di sisi lain aku melihat kak Bila sedang asyik foto-foto dengan kamera DSLRnya.

"Kan baru aja nyampe, Ky."

Rizky mengangkat bahunya. Aku bisa melihat dia menatapku tidak enak. "Bila oke aja katanya."

"Come on, people! Before I change my mind!" Ezra berteriak dari tempatnya berdiri.

Aku berdesis, "besok-besok ga usah diajakin lagi deh ni orang." Dengan kesal aku berjalan menuju mobil diikuti Rizky. Kak Bila juga sudah berjalan mendekat.

"Kemana sih, Ez?" tanya kak Bila.

Ezra menyalakan mesin mobil, kali ini dia yang menyetir. "Tempat oke," jawabnya sambil menyeringai. Kak Bila terlihat excited. Aku hanya menyipit sinis menatap Ezra yang memandang ke arah jalan di depan, lalu aku membuang muka kesal tidak tertarik kemana pun Ezra membawa kami. Sama sekali tidak tertarik.

Temporary FixTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang