Ezra tidak langsung menjawab. Dia malah mengulum senyum lalu menunduk bertepatan dengan datangnya waiter membawakan pesanan kami. Aku dipesankan cinnamon roll dan segelas red wine. Seolah melupakan pertanyaanku, Ezra diam saja menikmati hidangan ini. Aku pun ikut diam. Selama makan, aku terus menerka apa yang Ezra pikirkan saat ini. Apa pertanyaanku lancang? Tapi dia tidak terlihat tersinggung. Mungkin memang dia enggan membahasnya.
Belum habis makanan kami, tiba-tiba aku merasa ada tetesan air menyentuh tanganku. Aku mengadah. Seperti di guyur ember berisi air, hujan mendadak turun dengan intesitas yang langsung deras. Ezra cepat menarikku masuk ke bagian yang ditutupi atap jerami, di tengah-tengah antara kolam renang dan beranda. Aku menatap makanan dan minuman kami yang sudah kebanjiran sambil mengusap lenganku yang basah.
"Masih mau dilanjutin interview-nya?" tanya Ezra sembari meletakkan jasnya di punggungku.
Dia sedang menunduk, mengacak-acak rambutnya yang basah karena hujan ketika aku menoleh ke arahnya dan mengulangi pertanyaanku, "kenapa lo berhenti jadi pengacara?"
Sebenarnya kami bisa saja menurunkan dua kursi dan duduk dengan layak. Tapi setelah aku melontarkan ulang pertanyaanku, Ezra terkekeh sambil berbalik dan berjalan mendekati kolam. Sampai di ujung yang masih terlindung atap, Ezra dengan santainya duduk di lantai dengan satu lutut terangkat untuk tempat tangannya bersandar. Aku pun ikut duduk disampingnya sambil memeluk kedua lututku,lalu melirik Ezra yang menatap lurus ke arah kolam renang.
"I don't even know if I wanted to be a lawyer," Ezra akhirnya buka suara. "It was my parent's will. Well, more of my Dad's."
Aku mengalihkan pandanganku dari Ezra ke kolam renang. Permukaannya gemuruh karena rintikan hujan.
"Terus kenapa berhentinya pas lo udah jadi pengacara? Kan sayang." tanyaku. Kurasa kalau memang cuma karena paksaan orang tua, aku tidak yakin Ezra bisa lulus dari Harvard. Aku jadi ingat kata-kata Rizky, he's just really smart.
"Well, I never really knew what I wanted to begin with. Jadi gue ga masalah waktu bokap minta gue coba daftar ke Harvard Law School. And I made it. I passed, graduated with honors, passed the bar exam on my first try, then worked in a big firm. I grew up doing exactly what my Dad had planned."
Aku diam mendengarkan.
"Sampai sekarang juga gue pikir jadi lawyer was never a bad choice. I never hated it." Ezra kemudian diam, matanya menerawang.
"Terus kenapa lo berhenti?"
Ezra menarik nafas berat. Dia menoleh ke arahku sambil tersenyum yang terlihat miris, seolah-olah hendak mengatakan hal yang berat untuknya.
"Kalo lo ga mau cerita, it's okay," ujarku cepat. Tidak ingin lancang. Tiga kali kutanyakan, tapi tidak langsung dijawab, mungkin berarti memang jawabannya berat. Mungkin alasannya lebih sensitif dari yang kukira.
Ezra kembali tersenyum sambil mendengus. "Bokap gue main cewek."
Hah—aku melongo kaget. Ezra terkekeh sendiri, terdengar sedih. Aku tidak tau harus merespon apa.
"Waktu gue ga sengaja mergokin, gue shock, of course. All I could think about was my Mom. How could my Dad did that to her. And what if she knew." Ezra menatapku dengan seringai tipis. "Tapi terus gue tau, my Mom knew it. She knew it all along. Ternyata itu bukan pertama kalinya bokap selingkuh. And she did nothing. Act as if nothing happened.
Gue marah. To both of them. Bukan marah, sih. More like disgusted. Gue ga ngerti kenapa nyokap diem aja. Why they stays together." Ezra menarik nafas panjang. "But then I knew, it was all business. They should stay together. They have to." Ezra menoleh padaku, mengangkat kedua bahunya singkat. "Then I just don't feel like being a lawyer anymore. Gue udah males ngelakuin apa yang mereka harap gue lakuin. How could I respect those who don't even respect themselves.
That's why I moved here—well, I always wanted to live here."
Ezra diam menatap rintikan hujan di kolam renang. Ini giliranku mengatakan sesuatu. "Lo punya sodara?"
"An older sister," jawab Ezra.
"Dia tau soal itu?"
Ezra mengangkat kedua bahunya ringan. "I don't know. I never talk to her about this."
Oh. Aku manggut-manggut. "Tapi, Ez." Aku menatapnya. "Gimana juga kan mereka orang tua lo. Mereka yang ngebesarin lo. Pernah ga lo kepikiran, kalo nyokap lo bertahan demi lo dan kakak lo? Lagian, Ez," aku diam sejenak, menyeringai kaku berharap tidak terdengar kurang ajar, "apa lo ga ketuaan buat jadi rebel gini?" Aku terdengar sangat sok tau. Aku jadi agak menyesal mengucapkannya, atau seharusnya aku memilih kata-kata yang lebih baik.
Ezra malah tertawa pelan. Dia menatapku dengan mata menyipit jenaka seraya berfikir. "Maybe," jawabnya akhirnya. "Mungkin gara-gara itu gue akhirnya inisiatif ngebantu nyokap di sini. Gue masih males ketemu mereka, apalagi bokap. Tapi gue mulai coba lebih baik lagi. Mungkin juga karena gue bosen. Gue udah ngurangin partying around. I only attended like two or three parties after the one with you."
Dan bayangan aku mabuk-mabukan pun seketika muncul di otakku. Aku menutup wajahku dengan sebelah tangan, merasa malu.
"I remember the next day you asked if I was okay."
Aku menoleh, mengernyit menatap Ezra. Ah, iya. Waktu itu Ezra mood-nya tidak terlihat bagus makanya aku menanyakan apa dia baik-baik saja.
"My Dad called that morning," ujar Ezra tanpa kutanya. "He was pissed. Dia marah begitu tau gue mulai bantuin hotel nyokap. Menurut dia, mestinya gue balik ke US, jadi pengacara lagi. He said I went to law school to become a lawyer, not a hotelier." Ezra terkekeh seolah apa yang dikatakannya lucu. "Gue tau bokap bakal bilang gitu, but it's just that every time he calls, I ended up having a bad mood." Ezra menoleh kepadaku, tersenyum. "Thanks to you. It usually lasts the whole day."
Aku hanya bisa tersenyum canggung membalas senyumnya. Aku tidak ingat apa yang kulakukan sampai Ezra berterimakasih sekarang. Justru seingatku aku terus membuatnya kesal. Melihat Ezra masih menatapku dengan senyum tulusnya, aku mengalihkan wajahku dari tatapannya, salah tingkah.
"Gue juga mau minta maaf."
"Eh?" aku kembali menoleh ke arahnya. Kedua alisku terangkat tidak mengerti maksud ucapannya.
"Waktu Rizky's wedding reception, gue baru tau what had happened to you. Bila told me briefly about it when I saw you went to the restroom looking awful." Ezra menatapku serius. "No wonder lo marah banget sama ucapan gue di villa. I was being a jerk, and I'm sorry. I mean it."
Kemana perginya Ezra yang kukenal? Ezra yang tidak mungkin seserius ini meminta maaf. Atau mungkin aku yang belum benar-benar mengenalnya?
"It's okay," gumamku mengibaskan tangan kananku di depan wajah. "Gue juga udah lupa ucapan lo apa." Tentu saja aku masih ingat, tapi aku sudah tidak lagi memusingkannya.
"Ada satu hal yang lumayan bikin gue penasaran."
Aku menoleh menatap Ezra, diam menunggu kelanjutannya.
"Is that why you quit medicine?" tanyanya hati-hati.
Aku reflek menarik nafas tajam. Aku tau otakku yang jarang bisa diajak kompromi ini sudah rusuh ingin menampilkan image-image dan memori-memori yang bisa membuatku menangis saat ini juga. Tapi aku berhasil menahannya, hanya saja membuatku belum bisa mengeluarkan suara. Aku akhirnya memaksakan tersenyum menjawab pertanyaan Ezra.
Mengerti, mulut Ezra membulat singkat lalu mengangguk tipis sambil kembali menatap kolam renang. Aku melakukan hal yang sama sambil terus berusaha mengenyahkan bayangan-bayangan yang tidak mengenakan dari otakku.
"So here we are. An ex-doctor being a writer and an ex-lawyer being an hotelier," ujar Ezra tertawa pelan.
Aku pun ikut tertawa, miris.
"Lo pernah ga sih bener-bener settle sama satu cewek?" pertanyaan itu terlontar begitu saja dari mulutku setelah kami selama beberapa saat sama-sama diam memandangi kolam renang. Aku hanya ingin tau apa Ezra pernah merasakan apa yang aku rasakan terhadap Tama.
Ezra menoleh. "You mean like... in love?" tanyanya membuat pertanyaanku barusan terdengar bodoh. Aku mengangguk sekali. "Well," kedua mata Ezra kembali menerawang ke arah kolam renang, "Pernah. Sekali."
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...