Sabtu itu aku jadi berangkat ke Jakarta bersama Fathir, sama sekali tidak bersemangat. Aku masih ingat reaksi pertama bunda ketika aku mengenalkan Fathir padanya. Matanya berkaca-kaca, walaupun beliau sudah berusaha untuk biasa saja. Bunda menjemput kami di bandara tanpa tau sebelumnya kalau aku tidak datang sendirian. Mungkin seharusnya aku mengabari soal Fathir sebelum berangkat, karena itu sangat mengejutkan bunda. Bukan maksudku sengaja memberinya kejutan, aku hanya enggan memberitahu soal Fathir via telfon. Lebih baik bertemu langsung.
Tapi berhubung ayah dan mas Adam tidak di Jakarta, mereka diberitahu kabar ini oleh bunda lewat telfon. Reaksi mereka kurang lebih sama seperti Rizky, diam sejenak lalu mengucapkan selamat dan turut senang dengan nada yang terdengar diusahakan dibuat biasa. Memangnya kenapa, sih? Aku tau mereka berusaha menjaga perasaanku, tapi aku lebih mengharapkan mereka bersikap seperti Dewi yang tidak menutupi betapa mengejutkannya berita ini. Dewi yang mengikuti proses pendekatanku dengan Fathir dari awal saja masih berteriak terkejut begitu tau aku resmi berpacaran dengan Fathir.
Tentu aku tidak menyalahi mereka yang sampai sekarang masih menjaga sikap di sekitarku. Aku yang membuat mereka demikian.
Put that all aside, keluargaku menyukai Fathir. Sangat menyukainya. Tentu saja, siapa yang tidak suka dengan sikap dewasa, wajah tampan, sopan santun, dan sifat pekerja keras yang dimiliki Fathir? Dia menantu idaman siapapun. Dan jujur, melihat Fathir di tengah-tengah keluarga besarku (iya, bunda sampai mengadakan makan malam keluarga besar, dengan alasan menyambutku pulang, padahal aku tau niat beliau ingin mengenalkan Fathir pada yang lain), aku senang. Melihat Fathir bisa membaur dengan baik membuatku bangga. Dia sangat mengingatkanku pada Tama yang begitu dekat dengan keluarga besarku, dan itu membuatku nyaman. Kurasa benar kata Dewi, aku sangat beruntung bisa menemukan seseorang seperti Fathir untuk menggantikan Tama. Tidak banyak orang yang diberi kesempatan demikian.
Jadi untuk apa aku memikirkan orang yang tidak jelas, yang tiba-tiba menghilang dan tidak ada kabarnya?
"Sekarang Bunda ga khawatir kalau kamu di Bali. Fathir anak yang baik, dan bunda tau dia pasti bisa menjaga kamu dengan baik," ujar bunda tiba-tiba menghampiriku yang sedang duduk santai setelah berhasil melepaskan diri dari obrolan bersama tante-tanteku di makan malam keluarga besar kami saat itu.
Aku tersenyum ke arah bunda, lalu menoleh dan memandangi Fathir dari jauh. Dia tengah berbincang seru dengan om-om dan kakekku. Mereka terlihat sudah sangat akrab. Seolah bertelepati, Fathir menoleh juga ke arahku, menangkapku yang masih memandanginya. Dia tersenyum, senyumnya yang sangat manis yang selalu membuatku terenyuh setiap melihatnya. Dari senyumnya saja aku sudah bisa merasakan sayangnya dia padaku.
Aku balas tersenyum. Saat itu, yang kurasakan adalah kelegaan, dan merasa yakin kalau mulai saat itu semuanya akan baik-baik saja. Aku akan hidup bahagia bersama Fathir, walaupun aku tau sebahagia apapun aku kelak, tidak akan sampai sebahagia jika Tama tidak meninggalkanku dan aku masih bersamanya. Tapi setidaknya, ini yang terbaik untukku saat ini. Dan dengan Fathirlah yang bisa mendekati bahagianya aku bersama Tama.
Tapi siapa yang menyangka, tiga bulan setelah itu keyakinanku goyah dan aku hampir dibuat gila.
---
"Ayo, Sayang. Entar kemaleman!" kudengar Fathir berseru dari bawah.
Aku sedang bersiap-siap di kamarku. Kami berdua akan makan malam bersama untuk merayakan ulang tahunku. Padahal aku tidak sudah bilang tidak mau merayakannya tapi Fathir memaksa. Dia bahkan memintaku mengenakan pakaian terbaikku karena dia sendiri sudah sangat rapi dan tampan dengan setelan jasnya. Awalnya aku agak protes karena kami hanya akan makan di restoran favoritku, bukan fine dining seperti di hotel Mulia. Dan dia sendiri yang memilih untuk makan di Padma. Dia bilang, dia ingin merayakan ulang tahunku di tempat yang nyaman untukku. Sudahlah, tidak ada salahnya makan malam.
Begitu aku keluar dari kamar dan turun tangga, Fathir yang duduk di sofa langsung mengadah ke arahku lalu berdiri. Kedua tangannya dimasukan ke dalam kantong celana. Dia tersenyum lembut, senyumnya yang menghangatkan.
"I could stare at you my whole life and never get bored," ujarnya membuatku tersipu.
"Bisa aja," gumamku sambil mengulum senyum. Fathir tetap tersenyum. Dan ketika aku sudah berdiri di hadapannya, dia mengeluarkan sebelah tangannya dari kantong, meraih pinggangku, menarikku pelan, lalu mengecup pipiku.
"Happy birthday, Sayang," ucapnya di telingaku untuk kesekian kalinya hari ini. "I love you," bisiknya.
"Love you too," balasku sambil tersenyum menatap matanya.
---
Tidak sampai dua puluh menit kemudian, karena jarak yang dekat, kami sudah sampai di parkiran Padma. Aku sama sekali tidak mencium apapun yang mencurigakan sampai ketika Fathir tidak mengijinkanku turun dari mobil sebelum mengenakan penutup mata yang sudah dia sediakan. Mataku membelalak protes.
"Apaan sih, Fat? Aku udah bilang ga suka surprise, oke?" protesku menolak ketika Fathir memintaku berbalik membelakanginya agar dia bisa memasangkan kain penutup di mataku. Sebenarnya aku sedikit berbohong. Aku bukannya tidak suka kejutan, I used to love it very much. Tama selalu memberikan kejutan luar biasa setiap aku berulangtahun—well, satu dua kali sedikit gagal karena aku sudah mengetahui sebelumnya. Tapi setelah perginya Tama, aku tidak lagi suka kejutan.
"Come on. Bukan ulang tahun kalo ga ada surprise," ujar Fathir merajuk. "Besides, kamu bakal suka. Percaya sama aku," lanjutnya sembari mengikatkan kain hitam itu di belakang kepalaku, menutupi kedua mataku, tidak peduli kalau aku masih menghadapnya, enggan berbalik.
Dengan mata sudah tertutup, aku merasakan tangan Fathir di kedua pipiku. "Do me a favor, would you?" Aku hanya mengangkat kedua alisku singkat mengiyakan. "Enjoy the night."
Sambil menghembuskan nafas pasrah, aku tersenyum. Mungkin sudah saatnya aku menerima kejutan lagi. Mungkin Fathir sudah menghias tempat duduk kami agar menjadi semakin romantis. Entahlah, aku tidak berharap banyak.
Fathir keluar dari mobil dan aku menunggu dalam kegelapan selama beberapa detik sampai Fathir membukakan pintu untukku. Dia menuntunku berjalan menaiki tangga dan melewati pintu masuk restoran ini. Aku sama sekali tidak kesulitan berjalan dengan mata tertutup meskipun jika Fathir tidak membantuku, karena aku sudah hafal langkah yang harus kuambil saking seringnya aku datang. Dan ketika akhirnya Fathir memintaku berhenti, aku sudah tau kami ada di tengah-tengah ruangan di lantai dua berdiri menghadap ke arah baranda. Tapi, setauku, seharusnya ada meja di sini.
"Itungan ketiga ya," bisik Fathir dekat di telingaku. Aku bisa merasakan nafasnya. "Satu..." Jujur, aku agak deg-degan. "Dua..." Aku menarik nafas panjang, bersiap-siap. Fathir sudah membuka ikatan penutup mataku, tapi belum dia lepaskan sehingga aku masih belum bisa melihat apa-apa.
Dan tepat ketika Fathir menyebutkan angka tiga, dia menjatuhkan ikatan mataku.
"SURPRISE!!!"
Semua orang yang dekat denganku sekarang berada di hadapanku, berdiri dan berseru lantang. Ada bunda, ayah, mas Adam, Dewi, bahkan Inaya dan Vita, sahabatku di masa kuliah juga berada di sini. Ada kak Bila, Rizky, Rania, dan...
Nafasku tercekat. Dia berdiri di belakang Rizky, menyeringai tipis menatapku dengan tatapan khasnya. Mengenakan kemeja lengan panjang hitam, yang dia gulung sampai siku, dan celana panjang khaki warna coklat gelap. Dia memasukan kedua tangannya di saku celana, berdiri santai tanpa beban. Padahal dia sudah menghilang selama lebih dari tiga bulan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...