Enam bulan berlalu semenjak aksi bodohku mendatangi rumah Ezra dan ditolak pria itu mentah-mentah. Banyak hal yang terjadi dalam masa itu. Aku kembali tinggal di Jakarta, dan yang lebih menakjubkan lagi, aku sudah kembali bekerja sebagai dokter. Ketakutanku pada ruang IGD sudah tidak lagi menghantuiku. Dengan bangga kunyatakan, aku sudah kembali seperti Kaniss yang dulu, sebelum Tama meninggalkanku.
Tidak, kurasa aku salah. Aku bukan kembali menjadi Kaniss yang dulu, tapi aku sudah menjadi Kaniss yang baru. Kaniss yang sekarang tidak akan terpuruk setiap mengingat kematian Tama. Bukannya aku sudah melupakan Tama. Tidak sama sekali. Tapi setelah apa yang sudah terjadi padaku, dari hubunganku dengan Fathir, mengetahui soal kak Bila dan Tama, sampai jatuh hati pada orang yang ujung-ujungnya pergi begitu saja, aku menjadi lebih kuat dan lebih ikhlas dengan semua yang terjadi. Dan kali ini aku bukan cuma pura-pura tegar. I genuinely am stronger.
Kalau soal Ezra, aku tidak mendengar kabarnya lagi. Dan aku tidak mau tau. Sebulan pertama setelah kepergiannya, aku masih beberapa kali memikirkan di mana letak kesalahanku sampai dia memutuskan untuk pergi begitu saja. Aku tidak sedih, aku sudah membuang jauh-jauh apapun yang kurasakan padanya. Aku hanya jujur penasaran, tapi tidak cukup untukku sampai berusaha mencari tau. Sebulan berlalu, dan aku sudah tidak lagi memikirkan hal itu. Apapun alasan dia pergi, aku tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Kasarnya, aku sudah membuangnya dari hidupku. Jangan salah sangka, aku tidak membencinya. Well, tentu saja aku sempat membencinya. Tapi sekarang tidak lagi. Aku hanya tidak mau dia ada di hidupku ataupun di benakku lagi.
Dan apa aku menyesal sudah sampai memutuskan pertunanganku dengan Fathir? Tidak. Awalnya memang kupikir aku memutuskan pertunanganku karena Ezra, tapi kemudian aku sadar, Ezra hanya berperan sebagai orang yang menyadarkanku kalau aku tidak benar-benar mencintai Fathir. Dan untuk itu, aku berterima kasih padanya. Aku tidak pernah tau kabar Fathir lagi, tapi kuharap dia baik-baik saja. Apa aku rindu padanya? Sedikit. Apa aku pernah membayangkan jika aku jadi menikah dengannya? Tidak. Tidak sedikitpun aku pernah menyesali keputusanku, karena memang itu yang terbaik.
Lalu bagaimana keadaanku saat ini? Aku bahagia. Itu yang paling penting. Aku belum bertemu pria mana pun lagi, dan aku belum punya niat untuk itu. Aku yang sekarang tidak butuh pengganti untuk merasa bahagia. Bunda, ayah, mas Adam, teman-temanku, mereka sudah lebih dari cukup untuk membuatku bersyukur atas hidup ini. Siapa yang sudah menyadarkanku soal ini? Again, Ezra. Kalau bukan karenanya, aku akan terus menyakiti Fathir. Kalau bukan karenanya, aku tidak akan dengan mudah memaafkan kak Bila dan Rizky. Kalau dia tidak pergi, aku tidak akan sadar seberapa kuat diriku sebenarnya dan aku tidak akan mengalami titik di mana aku tau aku sudah terlalu banyak bersedih. Titik di mana aku akhirnya lepas dari keterpurukanku tentang masa lalu. It's a tipping point. Mataku seketika terbuka, dan aku langsung yakin kalau hidupku bisa lebih baik.
Seperti yang orang-orang bilang, everything happens for a reason. Mungkin Ezra hanya bersifat sementara, tapi dia berperan besar dalam menciptakan diriku yang sekarang. Dan aku suka diriku yang sekarang. Carefree dan tidak lagi mudah bersedih.
I lost him, but I found myself. And for now, that's all that matters.
If you think Kaniss and Ezra is over, you're wrong. The thing is, they never really started. A lot will happen. So, see you in the next book!
KAMU SEDANG MEMBACA
Temporary Fix
RomanceHe was her past, her present, and her future. And he's gone... Kehilangan tunangan yang juga kekasihnya sejak bangku SMA, Kaniss memutuskan untuk pindah ke Bali demi mencari ketenangan batin. Semuanya dia tinggalkan, termasuk profesinya sebagai seor...