Jenderal ini maklum bahwa membujuk mereka untuk membantunya amatlah sukar, maka sedikitnya dia ingin memperoleh petunjuk dan nasihat dari kakek sakti itu. Mendengar ini, kakek itu lalu memutar-mutar pancingnya yang mengeluarkan suara bersuitan dan makin lama makin nyaring kemudian terdengar suara itu melengking seperti suling dan berlagu! Barulah terdengar suaranya seperti orang bernyanyi, diiringi suara seperti suling yang timbul dari tali yang diputar cepat itu.
"Yang lama akan terguling
yang baru menggantikannya,
yang baru akan menjadi lama
dan ada yang lebih baru pula!
Yang tua akan mati
diganti yang muda,
yang muda akan menjadi tua
mati dan diganti pula!
Apakah yang kekal di dunia ini?
Yang menyebabkan kematian dan kesengsaraan
akan dilanda kematian dan kesengsaraan
ayah dan anak menyukai kekerasan
akan menjadi korban kekerasan pula!"
Suara melengking dan nyanyian terhenti, semua orang tercengang dan diam, pikiran bekerja memecahkan arti nyanyian itu dan ketika mereka memandang tiga orang itu telah pergi dari situ. Barulah para pengawal sadar dan hendak mengejar, akan tetapi An Lu Shan berkata, "Jangan ganggu mereka!"
Para pengawal yang mengikuti dari jauh kemudian melapor kepada An Lu Shan betapa kakek itu menggandeng tangan Ouw Sian Kok dan Liu Bwee melompati jurang yang amat lebar kemudian lenyap di balik gunung! An Lu Shan menghela napas panjang, mengingat-ingat dan mencoba memecahkan arti nyanyian itu, menyuruh orangnya menuliskan nyanyian kakek itu. Dia merasa girang ketika orang-orangnya yang terkenal ahli sastera menguraikan nyanyian yang merupakan ramalan baik baginya. Yang lama akan terguling yang baru akan menggantikannya. Hal ini saja sudah jelas berarti bahwa perjuangannya menggulingkan pemerintahan lama pasti akan berhasil. Apalagi bait-bait terakhir yang mengatakan bahwa ayah dan anak menyukai kekerasan akan menjadi korban kekerasan pula. Ditafsirkannya bahwa ayah dan anak tentulah Kaisar dan Putera Mahkota yang tentu akan dibunuhnya kalau dia berhasil merebut tahta kerajaan.
Memang demikianlah semua manusia. Selalu menafsirkan segala sesuatu dengan kepentingan dan keinginan hatinya sendiri seolah-olah segala sesuatu yang tampak di dunia ini khusus diperuntukan dirinya belaka! Kenyataannya kelak akan terbukti bahwa biarpun An Lu Shan behasil merampas tahta kerajaan, namun dia tidak dapat lama menikmati hasil pembunuhan besar-besaran dalam perang pemberontakan itu, karena tidak lama kemudian dia dan puteranya berturut-turut dibunuh oleh kaki tangannya sendiri!
Orang memang selalu lupa akan kenyataan hidup bahwa yang baru lambat laun akan menjadi lama juga, yang muda akan menjadi tua pula. Manusia selalu dibuai oleh khayal, selalu dipermainkan oleh pikirannya sendiri yang menjangkau jauh ke masa depan, menjangkau segala sesuatu yang tidak ada atau yang belum dimilikinya. Manusia tidak mau melihat apa adanya, tidak mau memperdulikan "yang begini" melainkan selalu mengarahkan pandang matanya kepada "yang begitu" yaitu sesuatu yang belum ada, yang menimbulkan keinginan hatinya untuk memperolehnya. Manusia lupa bahwa "yang begitu" tadi, artinya belum diperolehnya, kalau sudah diperoleh dan berada di tangannya akan menjadi "yang begini" pula dan mata akan tidak mempedulikan lagi karena sudah memandang pula kepada "yang begitu", ialah hal lain yang belum dimilikinya.
Betapa akan berada jauh keadaan hidup apabila kita menunjukan pandang mata kita kepada "yang begini", kepada apa adanya, mempelajari, mengertinya sehingga terjadilah perubahan karena dengan mengerti kebiasaan yang buruk, mengerti dengan sedalam-dalamnya, otomatis kebiasaan itu pun terhentilah. Dengan mengerti sedalamnya akan keadaan sekarang, saat ini, apa adanya setiap detik, benda apapun juga, di manapun juga, mengandung keindahan murni yang tidak dapat diperoleh keinginan. Lenyaplah batas yang memisahkan indah dan buruk, senang dan susah, utung dan rugi, aku dan engkau, dan kalau sudah begini, baru kita tahu apa artinya cinta kasih, apa artinya kebenaran, kemurnian, kesucian dan apa artinya sebutan Tuhan yang biasanya hanya menjadi kembang bibir belaka.Kita tinggalkan dulu Liu Bwee dan Ouw Sian Kok yang ikut pergi bersama kakek nelayan sakti yang bukan lain adalah kakek dari Han Ti Ong, bekas Raja Pulau Es yang telah puluhan tahun lamanya meninggalkan pulau itu dan merantau di tempat-tempat sunyi sebagai pertapa yang mengasingkan diri dari dunia ramai. Sudah terlalu lama kita meninggalkan Sin Liong dan Swat Hong, maka marilah kita mengikuti perjalanan dua orang itu.
Seperti telah dituturkan di bagian depan, Sin Liong dan Swat Hong saling bertemu kembali di lereng puncak Gunung Awan Merah tempat tinggal Tee-tok Siangkoan Houw. Setelah mendengar tentang Bu-tong-pai yang dikuasai oleh The Kwat Lin yang memang sedang mereka cari-cari, Sin Lion bersama Swat Hong lalu meninggalkan lereng Awan Merah, turun gunung dan dengan cepat pergi menuju ke Pegunungan Bu-tong-san.
Biarpun kedua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini telah menggunakan ilmu berlari cepat dan hanya mengaso apabila mereka merasa lapar dan terlalu lelah saja, namun karena jaraknya yang amat jauh, kurang lebih sebulan kemudian barulah mereka tiba di lereng Pegunungan Bu-tong-san. Di kaki gunung tadi mereka telah memperoleh petunjuk dari seorang petani di mana letak Bu-tong-pai, yaitu di atas sebuah di antara puncak-puncak Pegunungan Bu-tong-san.
"Hati-hatilah, sumoi, kita sudah tiba di daerah Bu-tong-pai." Sin Liong berkata ketika mereka berhenti sebentar di bawah pohon untuk melepas lelah sambil menghapus keringat dari dahi dan leher.
"Hemm, kita hanya berurusan dengan The Kwat Lin, urusan pribadi yang sama sekali tidak ada hubungannya dengan Bu-tong-pai. Kita harus menyatakan ini kepada semua orang Bu-tong-pai, kalau mereka tidak mau mengerti dan hendak membela The Kwat Lin, kita hantam mereka pula!"
Hati Sin Liong merasa khawatir sekali. Memang akibatnya amat berlawanan setelah bertemu dengan sumoinya ini. Girang dan juga khawatir. Serba susah. Dia tentu saja girang sekali dapat bertemu dengan sumoinya dalam keadaan selamat dan sehat. Akan tetapi di samping rasa girang ini, juga dia kini selalu dilanda kekhawatiran akan sifat Swat Hong. Andaikata dia sendiri saja yang datang ke Bu-tong-pai, tentu dia akan membujuk agar The Kwat Lin mengembalikan pusaka-pusaka Pulau Es dan dia tidak akan menuntut hal ini. Akan tetapi, setelah pergi bersama Swat Hong, dia tahu bahwa tentu gadis ini akan menimbulkan keributan. Tentu Swat Hong akan memusuhi The Kwat Lin yang dianggapnya menjadi penyebab kesengsaraan ayah bundanya. Hal ini menaruh dia di tempat yang amat tidak menyenangkan. Membantu Swat Hong memusuhi The Kwat Lin berlawanan dengan batinnya karena dia tidak ingin memusuhi siapapun juga. Tidak membantu, tentu Swat Hong terancam bahaya dan tentu akan marah dan benci kepadanya!
Mereka sudah mendekati puncak dimana tampak dinding tembok Bu-tong-pai yang tinggi. "Sumoi, kau serahkan saja kepadaku untuk bicara dengan orang-orang Bu-tong-pai. Kurasa mereka akan suka menerima alasan kita kalau mereka mendengar apa yang telah dilakukan oleh ketua baru mereka."
Swat Hong mengangguk. "Baiklah, terserah kepadamu, Suheng. Akan tetapi kalau sudah tiba saatnya, kuharap engkau jangan mencegah aku membunuh iblis betina itu!"
Sin Liong tidak menjawab, hanya menghela napas panjang. "Mari kita mendekati pintu gerbang itu. Heran sekali, mengapa sunyi amat? Bukankah kabarnya Bu-tong-pai merupakan perkumpulan yang besar dan mempunyai banyak anak murid?"
Akan tetapi ketika mereka tiba di depan pintu gerbang yang tertutup tiba-tiba saja pintu gerbang yang lebar itu terbuka dari dalam, terpentang lebar-lebar tampaklah lima belas orang laki-laki tua, di antaranya beberapa orang tosu, melangkah keluar dengan sikap tenang namun penuh wibawa dan memandang tajam penuh selidik kepada Sin Liong dan Swat Hong!
Setelah para tokoh Bu-tong-pai itu keluar dan berhadapan dengan mereka, Sin liong cepat menjura dengan hormat sambil berkata, "Apakah kami berhadapan dengan para Locianpwe dari Bu-tong-pai?"
Dengan pandang mata curiga, belasan orang itu memandang Sin Liong dan tosu tua yang berada paling depan, lalu bertepuk tangan dan berteriak, "Kalian keluarlah dan jangan melakukan sesuatu sebelum diperintah!"
Sebagai jawaban kata-kata ini, berlompatanlah delapan belas orang laki-laki gagah perkasa yang tadi bersembunyi di balik pohon-pohon dan rumpun, di luar pintu gerbang. Mereka lalu membuat gerakan mengepung dan mereka siap dengan tangan di gagang pedang masing-masing.
Melihat ini, timbul kemarahan di hati Swat Hong. "Bukan maling mengapa dikepung? Apakah kalian hendak menantang berkelahi? Aku ingin bertemu dengan ketua Bu-tong-pai. Lekas panggil dia keluar!"
Melihat sikap galak ini, kakek tosu yang agaknya memimpin mereka, berkata, "Siancai... kiranya Nona hendak bertemu dengan Ketua Bu-tong-pai? Pinto (saya) ketuanya. Tidak tahu siapakah Nona dan ada keperluan apa hendak bertemu dengan pinto?"
Swat Hong terbelalak, memandang kaget dan heran. "Eh....? Benarkah ini? kami.... kami tidak datang mencari Totiang...."
Para tosu dan semua orang itu saling pandang kemudian seorang diantara mereka, seorang tosu pula yang tinggi besar bermuka hitam, tidak setua kakek pertama, bertanya, "kalau begitu, siapakah yang Nona cari?"
"Kami mencari The Kwat Lin...."
Baru selesai Swat Hong berkata demikian, kakek muka hitam itu sudah berteriak keras dan menubruk maju, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Swat Hong sedangkan tangan kanan menotok ke arah lehernya. Swat Hong terkejut dan marah. Serangan kakek itu benar-benar amat ganas, kejam dan berbahaya sekali. Apalagi ketika terasa olehnya betapa dari kedua tangan yang panjang dan besar itu menyambar hawa pukulan yang menandakan bahwa kakek itu memiliki tenaga yang kuat.
"Heiiiittt....!!" dia melengking panjang, kedua tangannya bergerak cepat menyambut.
"Dukkkk.... plakkkk....!!"
Tangan yang mencengkeram ke arah ubun-ubunnya dapat dia tangkis dengan kuat, sedangkan tangan yang menotok lehernya itu dielakkan dengan menundukan kepala sedikit, kemudian mendahului dengan jari tangannya, dia berhasil menyambut serangan itu dengan totokan kepada pergelangan tangan. Pada detik berikutnya, selagi tosu muka hitam itu menyeringai kesakitan karena tangkisan itu membuat lengannya tergetar dan totokan itu melumpuhkan lengan satunya, kaki Swat Hong sudah bergerak menendang.
"Desss....!!" tubuh tosu muka hitam itu terjengkang dan jatuh terbanting ke atas tanah dengan cukup keras!
Semua orang terkejut, juga tosu tua itu mengerutkan alisnya. Tosu muka hitam itu adalah sutenya, tingkat kepandaiannya sudah tinggi, bagaimana dapat dirobohkan oleh nona muda itu dalam segebrakan saja? Tak salah lagi, tentu kedua orang ini adalah orang-orang sebangsa The Kwat Lin yang pernah merampas kedudukan ketua Bu-tong-pai, demikian tosu tua yang bukan lain adalah Kui Tek Tojin itu berpikir. Hanya orang-orang sebangsa iblis betina The Kwat Lin saja yang memiliki ilmu kepandaian seperti setan itu.
Para tosu dan tokoh Bu-tong-pai lainya melihat tosu muka hitam roboh, lalu serentak menyerbu, didahului oleh delapan belas orang murid Kui Tek Tojin yang bukan lain adalah Bu-tong Cap-pwe Eng-hiong itu. Karena mengira bahwa Swat Hong tentulah mempunyai hubungan dengan The Kwat Lin, serta merta mereka maju menyerbu dengan pedang di tangan.
"Hemm, kalian benar-benar mengajak berkelahi? bagus, majulah semua! Hayo, jangan ada seorang pun yang tinggal. Suruh semua orang Bu-tong-pai maju mengeroyokku kalau kalian membela The Kwat Lin!" Swat Hong mencabut pedangnya dan matanya memancarkan cahaya seperti hendak menyebarkan maut.
Tiba-tiba Sin Liong membentak. "Tahan senjata....!!"
Tubuhnya berkelebat dan berloncatan di antara orang-orang Bu-tong-pai dan segera terdengar seruan-seruan kaget ketika tiba-tiba di mana saja bayangan pemuda itu berkelebat, senjata yang terpegang tangan terlepas dan berjatuhan ke atas tanah tanpa mereka ketahui sebabnya!
Sin Liong sudah berhadapan dengan Kui Tek Tojin, menjura dan berkata, "Harap Totiang berlaku sabar dan maafkan Sumoi. Ketahuilah, kami berdua datang ke Bu-tong-pai ini sama sekali bukan hendak berurusan dengan Bu-tong-pai karena kami tidak pernah berurusan dengan Bu-tong-pai. Kami datang untuk mencari The Kwat Lin, untuk urusan pribadi yang sama sekali tidak ada sangkut pautnya dengan Bu-tong-pai. Harap Cuwi Totiang dan sekalian orang gagah Bu-tong-pai dapat mengerti ini dan jangan secara membuta membela The Kwat Lin tanpa lebih dulu mengetahui urusannya."
"Apa....? Membela The Kwat Lin? Bukankah Ji-wi ini sahabat-sahabat wanita iblis itu?"
"Bicara lancang dan ngawur!" Swat Hong membentak. "Aku datang untuk membunuh The Kwat Lin dan kalau kalian hendak membelanya, jelas bahwa kalian bukan manusia baik-baik dan biarlah kubunuh sekalian!"
"Siancai....! Siancai...!" Kui Tek Tojin berseru dan ia tersenyum memperlihatkan mulut yang tidak bergigi lagi."Maafkan pinto dan semua murid Bu-tong-pai! Karena tidak tahu maka terjadi kesalah pahaman ini. Semua ini gara-gara wanita iblis yang telah merusak nama baik Bu-tong-pai dan membuat kami selalu menaruh curiga kepada siapa pun. Silahkan masuk, Sicu dan Nona. Marilah bicara di dalam!"
Sin Liong dan Swat Hong lalu diiringkan masuk ke dalam bangunan yang menjadi pusat Bu-tong-pai itu, dan dipersilahkan duduk di ruangan tamu. Setelah menerima suguhan minuman, Kui Tek Tojin bertanya, "Bolehkan pinto mengetahui siapa adanya Ji-wi dan mengapa menanam bibit permusuhan dengan The Kwat Lin? Pinto melihat ilmu kepandaian Ji-wi hebat sekali, mengingatkan pinto kepada kepandaian The Kwat Lin sehingga hal itu menambah lagi kecurigaan kami tadi."
"Kiranya tidaklah perlu kami memperkenalkan diri," jawab Sin Liong yang memang ingin menghindarkan diri sejauh mungkin dengan urusan kang-ouw sehingga lebih baik kalau tidak memperkenalkan diri. "Akan tetapi kami berdua mempunyai urusan pribadi dengan The Kwat Lin, dan mendengar bahwa dia telah menjadi ketua Bu-tong-pai, maka kami berdua menyusul ke sini."
Kui Tek Tojin mengelus jenggotnya dan mengangguk-angguk. Diam-diam dia dapat menduga bahwa dua orang muda yang memiliki ilmu kepandaian luar biasa ini tentu ada hubungannya pula dengan Pulau Es! Akan tetapi dia tidak berani banyak bertanya, kemudian menceritakan betapa The Kwat Lin, yang merasa bekas murid Bu-tong-pai itu, dengan kekerasan merampas kedudukan ketua dan diam-diam mengatur pemberontakan terhadap Kaisar. Karena usahanya menyelundupkan muridnya ke istana gagal, dia menjadi seorang buruan pemerintah.
"Betapa pun lihainya, iblis betina itu tidak berani menghadapi pasukan pemerintah, maka dia lalu melarikan diri bersama para pengikutnya, meninggalkan Bu-tong-pai. Kami mengambil alihnya kembali dan belum lama ini, hampir saja kami menjadi sasaran penyerbuan pemerintah. Baiknya kami telah dapat menceritakan keadaan kami dan sekarang, mau tidak mau, untuk membuktikan bahwa Bu-tong-pai tidak bersekutu dengan pemberontak, terpaksa kami harus membantu pemerintah. Hari ini pun Bu-tong Cap-pwe Enghiong, murid-murid pinto, terpaksa akan berangkat ke utara melakukan tugas penyelidikan terhadap pemberontakan An Lu Shan."
Mendengar ini, Sin Liong dan Swat Hong merasa kecewa sekali, jauh-jauh mereka menyusul ke Bu-tong-san, hanya untuk mendengar bahwa The Kwat Lin tidak berada lagi di tempat itu dan sekarang telah menjadi orang buruan pemerintah.
"Aihhh.... ke mana kita harus mencarinya?" Swat Hong berkata kesal sambil menoleh kepada Sin Liong.
"Nona, untuk menebus kesalahan kami tadi, baiklah kami beritahukan bahwa kalau tidak salah dugaan kami, The Kwat Lin melarikan diri ke tempat kediaman Kiam-mo Cai-li. Kalau Ji-wi mencarinya ke sana, tentu akan setidaknya mendengar lebih jauh tentang wanita itu."
"Kiam-mo Cai-li? Siapa dia? Dan dimana tempat tinggalnya?" Swat Hong mendesak dan wajahnya berseri karena timbul pengharapan lagi di dalam hatinya.
"Dia adalah seorang datuk kaum sesat, sorang wanita yang tinggi ilmunya dan telah bersekutu dengan The Kwat Lin untuk membantu pemberontak. Kiam-mo Cai-li tinggal di Rawa bangkai, di kaki Pegunungan Lu-liang-san, tidak begitu jauh dari sini."
"Suheng, tunggu apa lagi? Mari kita cepat pergi ke Lu-liang-san!" Swat Hong dengan penuh semangat sudah bangkit berdiri.
Sin Liong terpaksa juga bangkit berdiri, akan tetapi Ketua Bu-tong-pai itu berkata, "Harap Ji-wi berhati-hati. Rawa Bangkai merupakan daerah yang sangat berbahaya dan selain dua wanita itu amat sakti, juga Kiam-mo Cai-li mempunyai banyak anak buah. Bahkan kaki tangan The Kwat Lin yang tadinya berada di sini sekarang pun ikut pergi bersamanya."
"Terima kasih atas peringatan Locian-pwe," kata Sin Liong sambil memberi hormat dan karena dia pun merasa amat tidak enak telah menggangu orang-orang tua di Bu-tong-pai ini, dia cepat mengajak sumoinya pergi dari situ.
Setelah berpamit, sekali berkelebat saja dua orang muda itu lenyap. Kui Tek Tojin menghela napas dan mengelus jenggotnya, "Siancai..... dua orang muda yang amat luar biasa. Pinto yakin bahwa mereka tentulah orang-orang dari Pulau Es juga. Gerakan mereka aneh seperti gerakan Kwat Lin, akan tetapi kalau Pulau Es telah membuat Kwat Lin menjadi seperti iblis, dua orang muda itu seperti dewa!"
"Suheng, bukankah di lereng puncak yang sana itu tempatnya?"
"Kalau tidak salah memang di sana, Sumoi. Akan tetapi sekali ini kita melakukan pekerjaan yang amat berbahaya, maka kuharap Sumoi suka bersikap tenang dan sabar, tidak tergesa-gesa."
Swat Hong mengangguk, mengeluarkan saputangan sutera dan menghapus keringat dari leher dan dahinya. Mukanya kemerahan, pipinya seperti buah tomat masak, matanya bersinar-sinar penuh semangat, rambutnya agak kusut dan anak rambut di dahinya basah oleh keringat. Sin Liong memandang sumoinya dan diam-diam dia menaruh hati iba kepada sumoinya. Seorang dara muda seperti sumoinya sudah harus mengalami hidup merantau dan sengsara seperti ini! Padahal, seorang dara muda seperti sumoinya itu sepatutnya berada di dalam rumah bersama keluarga, hidup aman teteram dan penuh kegembiraan, bermain-main di dalam taman bunga yang indah, bersedau-gurau, tertawa, bernyanyi, membaca sajak, atau jari-jari tangan yang kecil meruncing itu menggerakan alat-alat menyulam. Tidak seperti sekarang ini, setiap saat menghadapi bahaya, selalu bermain dengan pedang dan maut! Dia menarik napas panjang.
Mereka berdua duduk di bawah pohon yang tinggi besar, meneduh di dalam bayangan pohon. Hari itu amat panasnya dan mereka telah melakukan perjalanan jauh sejak pagi tadi seharian itu.
"Suheng...."
Sesuatu dalam suara dara itu membuat Sin Liong cepat menengok dan dia melihat wajah yang cantik itu menunduk. Aneh sekali! Ada apa lagi gadis ini bersikap seperti orang malu?
"Ada apakah, Sumoi?"
Swat Hong mencabut sebatang rumput, mempermainkannya dengan jari-jari tangannya, kemudia dalam keadaan tidak sadar meremas rumput itu sampai hancur di tangannya. "Suheng, setelah selesai tugas kita memenuhi pesan terakhir Ayah, lalu bagaimana?"
Tersentuh hati Sin Liong. Baru saja dia membayangkan nasib dara itu dan sekarang agaknya Swat Hong juga membayangkan masa depanya. "Kalau kita sudah berhasil memenuhi pesan Suhu, kita akan mengembalikan pusaka-pusaka itu ke Pulau Es."
"Hemm, kemudian?" Swat Hong masih tetap menunduk dan kini dia bahkan telah mencabut lagi sebatang rumput dan dimasukan ke dalam mulutnya yang kecil dan rumput itu digigit-gigitnya.
"Kemudian? Aku akan membantumu mencari ibu sampai dapat, Sumoi. Akan kita jelajahi seluruh pulau-pulau di sekitar Pulau Es, dan kalau tidak berhasil, kita akan mendarat lagi di daratan besar dan mencari sampai ketemu. Sebelum bertemu dengan ibumu, aku tidak akan berhenti mencari."
Lama tiada kata-kata keluar dari mulut yang menggigit-gigit rumput itu. Akhirnya Swat Hong bertanya juga, "Kalau sudah bertemu dengan ibu?"
"Kalau sudah ketemu?" Sin Liong mengulang pertanyaan itu dengan heran, karena hal itu anehlah kalau ditanyakan."Tentu saja engkau hidup bersama ibumu......"
"Dan kau?"
"Aku? Aku.... aku agaknya akan pergi merantau karena tidak ada apa-apa lagi yang mengikatku, tidak ada tugas. Aku bebas seperti burung di udara terbang ke mana pun angin membawaku."
Kembali suasana hening, bahkan kini Sin Liong terpengaruh oleh pertanyaan itu dan merenung seolah sudah merasakan betapa nikmatnya bebas terbang di udara tanpa beban tugas sedikit pun.
"Suheng...."
"Hemmm.....?"
"Kalau bertemu dengan ibu engkau akan meninggalkan kami?"
"Sudah kukatakan begitu, bukankah kau sudah aman kalau berada di samping Ibumu?"
"Bagaimana kalau..... kalau kita gagal mencari ibu? Bagaimana kalau sampai tidak bertemu? Bagaimana pula andaikata Ibu....ibu sudah meninggal?"
Sin Liong terkejut. Hal ini sama sekali tidak pernah terbayangkan dan di hadapkan dengan kemungkinan kenyataan ini dia terkejut dan bingung, sejenak tidak mampu menjawab. Dia berfikir kemudian menjawab tanpa keraguan sedikitpun juga, "Kalau begitu, tentu saja aku tidak akan meninggalkanmu, Sumoi."
"Kita tinggal di mana?"
"Di mana saja sesukamu."
"Kita berkumpul?"
"Ya."
"Sampai kapan?" Kembali Sin Liong termangu-mangu dan tak dapat menjawab. Swat Hong bekata lagi. "kalau demikian, aku jadi merepotkanmu, Suheng. Aku merampas kebebasan yang kau idam-idamkan tadi."
"Ah, tidak! Tidak sama sekali! Di dalam kebebasan seorang diri di dunia itu memang terdapat kenikmatan, akan tetapi di dalam melakukan sesuatu untuk orang, terutama untukmu, juga terdapat kenikmatan besar."
"Engkau menjadi seperti seekor burung yang terikat kakimu dengan kakiku, Suheng."
"Tidak, tidak begitu! Kita seperti dua ekor burung bebas yang melakukan penerbangan bersama!"
"Untuk selamanya, Suheng?"
Kembali Sin Liong termangu-mangu. "Aihh, tentu saja tidak. Engkau harus menikah, dan aku akan menjadi wakil orang tuamu, aku yang akan meneliti, memilihkan calon suami, sampai engkau berhasil menjadi isteri seorang laki-laki yang patut menjadi suamimu."
"Tidak sudi!!" Tiba-tiba Swat Hong bangkit berdiri, menjauh dan membelakangi Sin Liong. Tak terasa lagi rumput di mulutnya sudah dikunyah-kunyah!
Sin Liong terbelalak memandang tubuh belakang sumoinya. Dia benar-benar terkejut dan heran sekali mengapa sumoinya memdadak marah seperti itu, padahal dia bicara dengan setulus hatinya, menyatakan keinginannya yang baik terhadap sumoinya yang akan dibelanya itu.
"Sumoi....!" dia memanggil dan gadis itu membalikan tubuh. Untuk kedua kalinya Sin Liong terbelalak. Sumoinya itu, biarpun tidak sesenggukan, telah menangis. Sepasang pipinya basah air mata dan masih ada butiran air mata yang bergerak menurun dari pelupuk matanya.
"Suheng, engkau.... engkau kejam....!" dan sekarang Swat Hong menangis betul-betul, sesenggukan dan menjatuhkan dirinya ke atas rumput, menutupi muka dengan kedua tangan, membiarkan air matanya membanjir keluar dari celah-celah jari tangannya.
Sin Liong mengerutkan alisnya, lalu menggeleng kepala. "Kejam....?" Dia seperti hendak bertanya kepada bayangan sendiri, mengapa dia yang akan membela gadis itu bahkan dimaki kejam.
Swat Hong memeras air matanya, menghapus muka dengan saputangan, kemudian mengangkat mukanya memandang. "Suheng, kau memang kejam. Kau mau enakmu sendiri saja! Kau hendak membiarkan aku sengsara, meninggalkan aku kepada orang lain agar dapat bebas merantau seorang diri. Padahal engkau pun tahu bahwa aku tidak punya siapa-siapa lagi, aku hanya mempunyai engkau seperti engkau mempunyai aku. Akan tetapi.....uh-uh-uh.... kau ingin sekali mencampakan aku agar dapat bebas. Kalau begitu, tinggalkan saja aku sekarang.....!"
"Eh-eh, Sumoi...., bagaimana pula ini? Siapa yang akan memberikanmu kepada orang lain? Tentang pernikahan itu..... tentu saja kalau engkau sudah bertemu dengan jodohmu, dengan seorang pria yang kau cinta. Aku berniat baik, sama sekali tidak ada keinginan hatiku untuk meninggalkanmu, sampai engkau berhasil memperoleh pilihan hatimu. Kalau engkau sudah menikah, apa kau kira aku harus menungguimu saja?"
"Tidak! Aku tidak akan menikah kalau hanya agar kau dapat bebas! Aku akan hanya menikah kalau engkau sudah menikah lebih dulu!" Kini Swat Hong bicara penuh semangat, seolah-olah dia merasa penasaran.
Sin Liong membelalakan matanya memandang. "Eh? Mengapa begitu? Aku... aku selamanya tidak akan menikah, Sumoi!"
Swat Hong menampar tanah. "Tass!!" lalu memandang dengan muka merah kepada suhengnya, disambung kata-kata nyaring, "Aku pun tidak akan menikah!"
"Wah, mana bisa? Aku seorang pria, Sumoi. Tidak menikah selamanya pun tidak apa-apa, akan tetapi engkau seorang wanita...."
"Apa bedanya? Kalau pria bisa tidak menikah selamanya, apakah wanita tidak bisa? Pendeknya, aku tidak akan menikah sebelum engkau menikah, Suheng!"
Sin Liog menarik napas panjang dan duduk bersandar pohon, tidak menjawab lagi. Gadis ini sedang marah, tidak baik kalau dilayani, pikirnya. Dia yakin bahwa ucapan sumoinya itu hanyalah terdorong oleh kemarahan. Kalau kelak sumoinya bertemu dengan seorang pemuda yang baik dan mereka saling mencinta, tentu pendirian sumoinya tentang pernikahan tidak seperti sekarang. Dia tidak mungkin dapat membayangkan seorang dara seperti sumoinya, cantik jelita, keturunan raja, pandai dan sukar dicari keduanya, sampai menjadi perawan tua atau bahkan tidak menikah sama sekali. Ngeri dia memikirkan ini!
Melihat sampai lama suhengnya hanya duduk termenung, agaknya Swat Hong mulai menyesali sikapnya. Air matanya sudah kering, sisanya dihapus dengan saputangan dan dia pindah duduk dekat suhengnya. Mereka berhadapan, akan tetapi Sin Liong pura-pura tidak memperhatikan ulah sumoinya.
"Suheng...."
"Hemmm....?"
"Kau marah kepadaku?"
Mau tidak mau Sin Liong tersenyum dan memandang wajah itu. Pada saat seperti itu, terasa benar olehnya betapa dia amat sayang kepada Swat Hong, sayang dan kasihan.
"Kalau ada seorang yang marah di sini, agaknya engkaulah yang marah, Sumoi, bukan aku."
"Suheng, katakanlah. Mengapa engkau tidak mau menikah?"
Pertanyaan ini merupakan serangan tiba-tiba yang membuat Sin Liong bingung bagaimana untuk menjawabnya. Dia mengerutkan alisnya, mengosok-gosok dagunya sebelum menjawab, kemudian terpaksa menjawab juga karena sepasang mata bintang yang memandang tajam kepadanya itu sudah menanti jawaban dengan tidak sabar lagi.
"Aku tidak ingin menikah karena bagiku, pernikahan merupakan ikatan, sumoi. Aku ingin bebas, bebas lahir batin dan betapa mungkin aku dapat bebas kalau aku menikah, berkeluarga dan mempunyai anak isteri? Bagaimana aku dapat bebas kalau aku memiliki harta benda, kedudukan dan lain ikatan duniawi lagi?"
Swat Hong termangu-mangu, agaknya tertegun mendengar jawaban suhengnya. Sampai lama dia diam saja, kemudian tiba-tiba bertanya, "Suheng, apakah engkau ingin menjadi pertapa?"
Sin Liong tersenyum dan menggeleng kepalanya. "Seorang pertapa berarti mengikatkan diri dengan pertapaanya. Tidak, Sumoi. Aku ingin bebas dari segala-galanya."
"Suheng kita.... kita.... dahulu dijodohkan oleh Ayah, bukan?"
Sin Liong terkejut. Tak disangkanya bahwa Swat Hong akan menyinggung masalah ini. Dia hanya mengangguk sambil memandang wajah sumoinya penuh selidik. Apalagi yang akan dikemukakan sumoinya ini?
"Dahulu kita sudah bicara di perahu itu dan memutuskan bahwa orang hanya dapat mengikat jodoh jika saling mencinta. Suheng...., apakah.... apakah engkau tidak mencinta seorang wanita?"
Sin Liong cepat mengelengkan kepalanya.
"Aku tahu bahwa Soan Cu mencintamu, Suheng! Apakah engkau tidak mencintanya? Dia cantik jelita dan pandai...."
"Tidak, Sumoi, kalau yang kau maksudkan adalah cinta berahi."
"Akan tetapi Suheng menolongnya, membela dan melindunginya. Bukankah itu membuktikan bahwa Suheng mencintainya?"
"Memang aku mencintanya seperti aku mencinta orang lain, akan tetapi bukanlah cinta umum yang mendorong untuk menikah, kemudian setelah menikah berusaha memiliki isterinya lahir batin sehingga timbullah siksaan batin dan kesengsaraan, pertentangan bahkan mungkin cemburu dan kebencian. Tidak, aku tidak mencinta Soan Cu seperti yang kau maksudkan itu."
"Dan bagaimana dengan Siangkoan Hui? Dia manis sekali dan dia terang-terangan mengaku cintanya kepadamu, Suheng. Apakah engkau tidak ingin mengambilnya sebagai isteri?"
"Hemmmm, sama sekali tidak. Apalagi aku mendengar bahwa dia telah bertunangan dengan orang lain."
"Jadi tidak ada wanita yang kau pilih untuk menjadi isterimu, Suheng?"
Sin Liong menggelengkan kepala, hatinya tidak enak membicarakan soal ini.
"Tidak ada dara yang kau cinta?"
Sin Liong menggeleng lagi.
"Termasuk aku....?"
Sin Liong terkejut. Sungguh bingung dia memikirkan sumoinya ini. Ketika dia mengangkat muka memandang, dia melihat sumoinya juga sedang memandangnya dengan sikap aneh. Mata sumoinya yang biasanya tajam lebar dan amat indahnya itu kini agak terpejam, seperti mata mengantuk, sinar matanya sayu dan seperti orang mau menangis, bibirnya tersenyum tipis akan tetapi seperti orang menahan rasa nyeri, cuping hidungnya agak kembang kempis dan jelas tampak dadanya naik turun diburu pernapasan.
"Sumoi, kau tahu bahwa aku cinta kepadamu, aku mencintamu seperti seorang Sumoi, seperti seorang adik, seperti seorang sahabat dan aku rela untuk mempertaruhkan nyawa membela dan melindungimu, aku merasa sebagai pengganti ayah bundamu, aku akan merasa berbahagia, Sumoi, karena itu, percayalah bahwa aku tidak akan meninggalaknmu sebelum ...."
"Sudahlah..... sudahlah....! Mari kita melanjutkan perjalanan, tugas kita masih belum selesai!" Swat Hong sudah meloncat bangun dan berlari cepat mendaki puncak yang menjulang tinggi itu.

KAMU SEDANG MEMBACA
Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping Hoo
General FictionBu Kek Siansu adalah sebuah karakter khayalan hasil karya Kho Ping Hoo, dan merupakan serial bersambung terpanjang terbaik di samping seri Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam). Ia dikisahkan pada masa kecilnya disebut Anak Ajaib (Sin Tong) karena dal...