Jilid 7

5.2K 51 2
                                    

Suma Hoat terkejut sekali, jantungnya berdebar. Tadinya dia hendak merahasiakan julukannya dari kedua orang gadis itu, dia mendapatkan sesuatu yang aneh, yang tak pernah ia rasai selama petualangannya dengan ratusan orang wanita. Dia merasa enggan dan sayang meninggalkan mereka, bahkan dia akan berpikir-pikir dulu untuk mencelakakan mereka. Agaknya, kalau keadaan mengijinkan, dia bersedia menghentikan petualangannya dan hendak mencoba untuk belajar mencinta sungguh-sungguh dan berusaha menjangkau kebahagiaan bersama kedua orang kekasihnya itu. Akan tetapi, siapa kira kini hwesio itu begitu bertemu telah mengenalnya! Akan tetapi, dia adalah seorang pemuda yang tidak mengenal takut, maka ia tersenyum dan menjura sambil berkata,

"Tidak salah dugaan Locianpwe. Saya adalah Suma Hoat yang dijuluki Jai-hwa-sian dan sungguh merupakan kehormatan besar berjumpa dengan Kian Ti Hosiang, Ketua Siauw-lim-pai yang sakti!"

"Oohhhh....!" Seruan ini keluar dari mulut Liang Bi dan Cui Leng. Mereka berdua terkejut setengah mati ketika mendengar bahwa pria yang mereka serahi tubuh dan hati mereka kiranya adalah Jai-hwa-sian, penjahat cabul tukang memperkosa yang dimusuhi semua orang gagah di dunia! Liang Bi terguling roboh pingsan di depan kaki gurunya, sedangkan Cui Leng memeluk sucinya sambil menangis tersedu-sedu dengan hati seperti disayat-sayat karena dia merasa bahwa dialah yang mendatangkan malapetaka besar itu!

"Kau.... kau.... Suma Hoat....?" Kam Siang Kui juga berkata dengan mata terbelalak, kemudian dia saling pandang dengan adiknya.

Kian Ti Hosiang melangkahi tubuh Liang Bi dan maju menghampiri Suma Hoat. Matanya bersinar tajam, namun wajahnya penuh kesabaran ketika dia berkata,

"Orang muda, pinceng mengenal baik keluargamu yang besar. Pinceng mengenal siapa Panglima Suma Kiat yang menjadi ayahmu, maka pinceng mengerti bahwa di dalam tubuhmu masih mengalir darah pendekar-pendekar yang amat pinceng kagumi. Juga pinceng mendengar betapa dalam sepak terjangmu, engkau merupakan seorang pendekar yang budiman. Akan tetapi sayang.... nafsu telah merusak hatimu sehingga engkau menjadi kejam terhadap wanita, engkau memancing kenikmatan dengan cara merusak wanita lahir batin! Betapa sayang seorang yang berjiwa pendekar seperti nenek moyang dari nenekmu, terusak oleh jiwa sesat warisan nenek moyang nenekmu keluarga Suma!"

Tiba-tiba Suma Hoat tertawa bergelak, suara ketawa yang mirip tangis dan matanya beringas memandang Kian Ti Hosiang, telunjuknya menuding, "Kian Ti Hosiang! Engkau tahu satu tidak tahu dua! Engkau tahu ekornya tidak mengenal kepalanya! Aku merusak wanita lahir batin? Benar, akan tetapi tahukah engkau bahwa aku telah hancur lahir batin oleh wanita? Engkau memaki nenek moyangku, keluarga Suma yang sesat. Memang, siapakah tidak mengenal kakek buyutku Pangeran Suma Kong yang terkenal korup dan jahat? Siapa tidak mengenal kakekku Suma Boan yang berhati keji dan dimusuhi orang-orang gagah di dunia kang-ouw? Siapa yang tidak mengenal ayahku, Jenderal Suma Kiat yang.... memberatkan selirnya daripada putera tunggalnya? Ha-ha-ha! Dan siapa tidak mengenal Jai-hwa-sian Suma Hoat? Aku berdarah keluarga Suma yang sesat, dan memang aku jahat, kotor dan sesat. Sebaliknya engkau adalah Ketua Siauw-lim-pai yang paling suci, gagah dan budiman. Eh, hwesio tua, apakah pekerjaanmu? Mengapa engkau menjadi seorang pendeta, Kian Ti Hosiang?"

Kam Siang Kui dan Kam Siang Hui mendengarkan ucapan pemuda itu dengan mata terbelalak penuh kemarahan. Betapa kurang ajarnya! Dua orang muda itu bukan lain adalah keponakan mereka sendiri! Ayah pemuda ini, Suma Kiat, adalah saudara misan mereka, putera bibi mereka, putera Kam Sian Eng adik kandung ayah mereka (baca cerita Mutiara Hitam)!

Akan tetapi, karena menghormat Ketua Siauw-lim-pai, mereka hanya mengertak gigi menahan kemarahan, dan betapa heran hati mereka melihat hwesio itu sama sekali tidak marah, bahkan tenang-tenang saja menjawab,

"Suma Hoat, pinceng menjadi pendeta karena melihat kekotoran yang menguasai batin manusia di dunia. Pekerjaan pinceng adalah mengajarkan kasih sayang di antara semua mahluk agar kasih sayang merupakan sinar yang mencuci bersih kekotoran itu."

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang