Jilid 14

3.8K 48 0
                                    

Ketidak hadiran Bayisan menimbulkan dugaan mereka ini bahwa Bayisan itulah yang telah membunuh raja, ayahnya sendiri! Mungkin karena tak senang dengan pengangkatan Salinga sebagai calon panglima dan mantu raja. Akan tetapi, setelah mereka mendengar penuturan puteri mahkota tentang kekurangajaran Bayisan memasuki kamar Sang Puteri lalu dapat diusir oleh Puteri Tayami dengan bubuk beracun sehingga Bayisan menghilang, para panglima itu tidak mau membicarakan hal ini di luaran. Hanya diam-diam mereka mencari Bayisan untuk membalas dendam atas kematian raja, namun semenjak saat itu Bayisan menghilang sehingga orang menyangka bekas panglima itu tentu telah tewas oleh racun.

Sejak kematian Raja Kulu-khan itulah, timbul perebutan kedudukan raja di Khitan. Tentu saja menurut sepatutnya karena yang menjadi puteri mahkota adalah Tayami, maka puteri inilah yang menggantikan kedudukan raja. Akan tetapi ia seorang wanita yang merasa kurang mampu mengendalikan pemerintahan, sedangkan calon suaminya hanyalah keturunan pelayan, maka hal ini menjadi perdebatan sengit di antara mereka yang pro dan yang kontra. Sayangnya bagi Tayami, yang pro dengannya tidaklah banyak. Terutama sekali yang mendukungnya adalah panglima tua Kalisani, yang bicara penuh semangat di depan sidang.

"Biarpun tak dapat disangkal bahwa pimpinan puteri tidaklah sekuat pimpinan putera, akan tetapi apa gunanya kita semua menjadi pembantu raja? Kalau ada urusan, cukup ada kita yang akan maju dengan persetujuan raja. Puteri Tayami adalah puteri mahkota, hal ini mendiang raja sendiri yang menetapkan. Kalau kita sekarang tidak mengangkat beliau menjadi pengganti raja, bukankah itu berarti kita tidak mentaati perintah mendiang raja kita?" Demikian antara lain Kalisani membela kedudukan Puteri Tayami!

Akan tetapi, pihak lain membantah dengan sama kerasnya. "Kita semua maklum bahwa bangsa Khitan menghadapi banyak tantangan di selatan. Kalau kita sebagai bangsa yang gagah perkasa tidak sekarang mencari tempat di selatan mau tunggu sampai kapan lagi? Dan penyerbuan itu membutuhkan bimbingan seorang raja yang gagah berani, seorang laki-laki sejati. Kita percaya bahwa Paduka Puteri Tayami juga seorang wanita jantan yang gagah perkasa, akan tetapi betapapun juga, langkah seorang wanita tidak selebar laki-laki. Biarlah Puteri Tayami juga tinggal dalam kedudukannya sebagai puteri mahkota yang kita hormati, akan tetapi pimpinan kerajaan harus berada di tangan seorang pangeran."

Perdebatan sengit terjadi, akan tetapi akhirnya Kalisani kalah suara. Sebagian besar para panglima dan ponggawa memilih Pangeran Kubakan untuk mengganti kedudukan ayahnya menjadi raja di Khitan! Hal ini mengecewakan hati Kalisani yang amat tidak suka melihat perebutan kekuasaan yang bukan haknya itu, apalagi karena dengan adanya perdebatan itu, setelah ia mengalami kekalahan, tentu saja golongan raja ini akan membencinya. Maka pada hari itu juga ia meletakkan jabatan dan meninggalkan Khitan untuk melakukan perantauan yang menjadi kesukaannya sejak dahulu. Karena kesukaannya akan merantau ini pula agaknya yang membuat Kalisani tidak juga mau menikah. Sebelum pergi meninggalkan Khitan, Kalisani hanya minta diri kepada Puteri Tayami.

"Harap Paduka menjaga diri baik-baik. Setelah ayah Paduka wafat, belum tentu keadaan pemerintahan akan sebaik sebelumnya. Terutama sekali, harap Paduka berhati-hati terhadap Bayisan, kalau-kalau dia kembali lagi. Selamat tinggal, Tuan Puteri. Selamanya saya akan berdoa untuk kebaikan Paduka."

Tentu saja Tayami telah maklum bahwa Kalisani sejak dahulu juga menaruh hati cinta kepadanya. Ia menjadi terharu sekali karena maklum bahwa perasaan cinta panglima tua ini benar-benar perasaan yang jujur dan tulus ihklas, yang murni. Ia maklum pula akan pembelaan Kalisani kepadanya di dalam sidang. Mengingat betapa sekaligus ia ditinggal pergi ayahnya dan Kalisani, dua orang yang benar-benar menaruh sayang kepadanya, tak terasa pula Tayami menangis. Puteri ini lalu mengambil dua buah roda emas yang menjadi barang permainan dan kesayangannya sejak kecil, menyerahkannya kepada Kalisani sambil berkata.

"Terima kasih atas segala kebaikan yang telah kau limpahkan kepadaku, Kalisani. Semoga para dewa yang akan membalasnya dan terimalah sepasang roda emas milikku ini sebagai kenang-kenangan."

Kalisani mengejap-mengejapkan kedua matanya yang menjadi basah, menerima sepasang roda emas, mencium kedua benda mengkilap itu, lalu mengundurkan diri sambil berkata, "Sampai mati aku takkan berpisah dari sepasang roda emas ini..."

Biarpun kemudian Kubakan menjadi raja bangsa Khitan, namun Puteri Tayami masih mendampingi kakak tirinya ini dan kekuasaan puteri mahkota ini masih besar sekali. Raja Kubakan yang baru tidak berani mengganggu Tayami, karena sungguhpun para panglima membenarkan dia yang menggantikan raja, namun boleh dibilang semua panglima masih bersetia penuh kepada puteri mahkota. Raja Kubakan merasa kehilangan sekali karena Bayisan pergi tanpa pamit dan tidak ada orang tahu entah kemana perginya. Kalau seandainya ada Bayisan di sampingnya, tentu rasa ini akan merasa lebih kuat dan ada yang diandalkan.

Demikianlah, secara singkat dituturkan di sini bahwa Puteri Mahkota Tayami menikah dengan Salinga dan mereka berdua hidup rukun dan saling mencinta. Tidak terjadi sesuatu di antara raja baru dan Puteri Tayami maupun suaminya karena mereka tidak saling menganggu, bahkan di waktu bangsa Khitan berperang menghadapi musuh, keduanya berjuang bersama-sama. Akan tetapi, sesungguhnya di dalam hati mereka itu terdapat semacam "perang dingin".

Kita kembali kepada Kwee Seng yang meninggalkan istana dan terus keluar dari kota raja. Sambil menggerogoti sepotong paha kambing panggang yang ia sambar secara sambil lalu dari dapur istana sebelum keluar, ia berjalan seenaknya di malam hari itu. Tak pernah ia mengaso karena bagi Kwee Seng yang kondisi tubuhnya sudah luar biasa anehnya itu, tidak tidur selama seminggu atau tidak makan selama sebulan bukan apa-apa lagi, juga sebaliknya ia bisa saja tidur tiga hari tiga malam terus-menerus atau sekali makan menghabiskan makanan sepuluh orang!

Kwee Seng masih enak-enak berjalan memasuki hutan setelah matahari muncul mengusir kegelapan malam. Dan pada saat itulah ia mendengar suara orang tertawa-tawa, suara tergelak-gelak yang amat dikenalnya karena itulah suara Si Kakek Cebol! Mendengar suara Si Cebol, bangkitlah amarah di hati Kwee Seng. Si Kakek Cebol yang kejam! Sekejam-kejamnyalah orang yang berniat merusak muka yang demikian cantiknya seperti muka Puteri Mahkota Tayami! Kakek iblis itu harus diberi hajaran. Dengan tangan kanan memegang tulang paha kambing, tangan kiri menyambar sehelai daun yang kaku dan lebar, Kwee Seng lalu mempercepat langkahnya menghampiri arah suara ketawa.

Kakek cebol itu tampak berdiri dibawah sebatang pohon besar, tertawa-tawa sabil memeriksa muka seorang yang menggeletak di depqn kakinya. Ketika Kwee Seng mengenal orang yang menggeletak itu, ia terheran-heran dan kaget, karena orang itu bukan lain adalah Bayisan ! Memang aneh kakek itu, ia membungkuk, mengamat-amati muka Bayisan yang rusak, lalu terpingkal-pingkal ketawa lagi, membungkuk lagi, memeriksa dengan jari-jari tangan, lalu terkekeh-kekeh lagi seperti orang gila.

"Huah-hah-hah, lucu perbuatan si tangan jail iblis siluman ! Muka Si Cantik halus yang kuarah, kiranya malah bocah tolol ini yang terkena ! Heh-heh-heh!"

Makin yakin kini hati Kwee Seng bahwa kakek cebol ini sengaja mengirim obat bubuk beracun untuk merusak muka Tayami, maka ia menjadi makin marah. Di samping kemarahannya, ia pun ingin sekali mengerti mengapa kakek itu hendak berbuat sedemikian kejinya terhadap Tayami. Untuk melihat apa yang akan dilakukan selanjutnya oleh kakek itu Kwee Seng menanti sesaat. Bayisan agaknya pingsan, atau mungkin sudah mati, karena tubuhnya tidak bergerak sama sekali.

Tiba-tiba kakek itu berseru. "Aiiihhh, bau... bau...! Bau jembel tengik... !"

Terkejutlah Kwee Seng, dengan kening berkerut ia menggerakkan muka ke kana kiri, hidungnya kembang-kempis mencium-cium. Benar-benarkah ia berbau begitu tengik sehingga kehadirannya tercium oleh kakek itu ? Tentu saja pakaiannya yang sudah butut itu tak enak baunya, akan tetapi tidaklah begitu tengik sehingga dapat tercium dari jarak sepuluh meter jauhnya. Ia mendongkol dan berbareng juga kagum. Kakek cebol itu tentu sengaja memakinya dan kenyataan bahwa kakek itu dapat mengetahui kehadirannya menunjukkan kelihaiannya. Terpaksa ia muncul dari balik pohon dan melangkah maju menghampiri.

Kakek itu berdiri membelakanginya dan kini kakek itu mencak-mencak berjingkrakan sambil mengoceh. "Wah, baunya, baunya makin keras ! Jembel busuk tengik ini kalau tidak cepat dicuci bersih, bisa meracuni keadaan sekelilingnya. Wah, bau... bau... tak tertahankan... !" Kakek itu lalu berbangkis-bangkis.

Rasa mendongkol di dalam hati Kwee Seng seperti membakar, "Kakek cebol tua bangka tak sedap dipandang!" Ia memaki. "Sudah mukamu seperti monyet tua, tubuhmu cebol, mulutmu kotor watakmu pun keji seperti ular berbisa !"

Kakek itu kini membalikkan tubuhnya dan menghadapi Kwee Seng, matanya dibelalakkan lebar, mengintai dari balik alisnya yang panjang dan berjuntai ke bawah menutupi mata.

"Jembel tengik, jembel bau, kiranya benar engkau yang mengotori hawa udara di sini ! Ucapanmu tentang muka, tubuh dan mulutku tidak keliru. Memang mukaku seperti monyet, apakah kau mengira bahwa muka monyet itu lebih buruk daripada muka orang. Hah-hah-hah, coba kau tanya kepada monyet betina, muka monyet siapa yang lebih gagah menarik, muka monyet jantan berbulu ataukah mukamu yang licin menjijikkan ! Tubuhku memang cebol, lebih baik cebol daripada merasa tubuhnya besar dan gagah sendiri tapi tanpa isi seperti tubuh yang menggeletak di sini. Tentang mulut kotor, memang kau benar. Mulut manusia mana yang tidak kotor ? Segala macam bangkai dimasukkan ke mulut, sedangkan yang keluar dari mulut pun selalu kotoran-kotoran melulu. Bukankah segala penyakit disebabkan oleh yang masuk melalui mulut, dan bukankah segala cekcok dan ribut disebabkan oleh apa yang keluar melalui mulut? Memang mulut manusia kotor dan bau pula! Huah-hah-hah! Tapi tentang watak keji seperti ular berbisa? Eh, jangan kau menuduh dan memaki sembarangan, bocah jembel!"

Kwee Seng tersenyum mengejek dan menggerogoti sisa daging yang menempel di tulang paha, sedangkan dengan daun lebar ia mengipasi lehernya, padahal hawa udara di pagi hari itu amat dingin.

"Kakek cebol, omonganmu memang tidak keliru dan mendengar omonganmu tadi, agaknya kau tahu juga akan kebenaran. Akan tetapi, kau menyangkal watakmu yang keji berbisa, padahal sudah ada dua macam bukti di depan mata."

Kakek itu meloncat-loncat dan membanting-bantingkan kakinya di atas tanah, mukanya memperlihatkan kejengkelan dan kemarahan.

"Iihh... oohh... aku adalah Bu Tek Lojin! Selamanya belum pernah ada orang berani memaki kepada Bu Tek Lojin. Tapi hari ini kau jembel muda busuk tengik berani bilang bahwa Bu Tek Lojin berwatak keji dan dua buktinya. Heh, bocah, jangan main-main dengan Bu Tek Lojin. Hayo katakan, apa buktinya?"

Diam-diam Kwee Seng terheran-heran. Kakek ini memiliki nama yang hampir sama dengan Bu Kek Siansu, manusia setengah dewa yang suci dan yang tidak membutuhkan apa-apa lagi, yang sudah hampir dapat membebaskan diri sepenuhnya daripada ikatan lahir. Akan tetapi kakek ini namanya saja sudah membayangkan kesombongan. Bu Tek Lojin ! Orang Tua Tanpa Tanding! Belum pernah Kwee Seng mendengar nama ini. Banyak tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti ia kenal, baik mengenal muka maupun hanya mengenal nama, akan tetapi tak pernah ia mendengar nama Bu Tek Lojin! Ada Sin-jiu Couw Pa Ong, Ban-pi Lo-cia, Pat-jiu Sin-ong Liu Gan, Hui-kiam-eng Tan Hui, Kim-tung Lo-kai, disamping tokoh-tokoh besar yang menjadi ketua partai persilatan seperti Kian Hi Hosiang Ketua Siauw-lim-pai, Kim Gan Sianjin Ketua Kun-lun pai, dan lain-lain. Dari mana munculnya kakek cebol yang mengaku bernama Orang Tua Tanpa Tanding ini?

"Huh, tua bangka sombong, kau masih hendak berpura-pura lagi? Bukti pertama sudah jelas tampak di depan mata pada saat ini pun juga. Kau lihat yang menggeletak di depan kakimu itu! Siapa dia? Kau agaknya malah hendak menolongnya, bukan? Tadi kulihat betapa kau menotok beberapa jalan darah untuk mencegah menjalarnya racun di mukanya. Mengapa kau menolong seorang busuk dan jahat seperti Bayisan? Bukankah orang-orang gagah tahu bahwa membantu pekerjaan penjahat sama artinya dengan diri sandiri melakukan kejahatan ? Bukti pertama sudah jelas, kau membantu Bayisan Si Jahat !"

Tiba-tiba kakek cebol yang mengaku bernama Bu Tek Lojin itu tertawa bergelak, kembali tubuhnya meloncat-loncat berjingkrakan seperti seorang anak kecil diberi kembang gula.

"Ho-ho-ho-hah! Ada anak ayam mengejar terbang seekor garuda! Kau anak ayamnya dan aku garudanya!" Ia tertawa-tawa lagi.

Kwee Seng mendongkol sekali. Kakek ini selain lihai ilmunya, juga lihai mulutnya, seperti anak yang nakal sekali. Akan tetapi ia diam saja mendengarkan.

"Bocah, kau tahu apa tentang membantu? Tahu apa tentang menolong? Tahu apa tentang jahat dan baik? Membantu tidak sama dengan menolong, akan tetapi jahat tidak ada bedanya dengan baik, kau tahu??"

Kwee Seng seakan-akan menghadapi teka-teki. "Kakek sombong, apa bedanya membantu dan menolong?"

"Uuhhh, goblok! Kalau dia ini melakukan sesuatu dan aku ikut-ikutan mendorong agar apa yang ia lakukan itu berhasil, itu namanya membantu. Melihat lebih dulu sebab dan akibat sebelum berbuat, itulah membantu. Tanpa mempedulikan sebab dan akibatnya lalu turun tangan, itulah menolong. Siapapun juga dia, apa sebabnya dan bagaimana akibatnya, tidak peduli, pendeknya harus turun tangan, itulah penolong yang sejati!" Kakek itu bicaranya seperti orang membaca sajak, pakai irama dan berlagu pula sukar dimengerti.

Akan tetapi Kwee Seng terkejut karena mengenal filsafat ini, biarpun diucapkan seperti sajak berkelakar, namun adalah kata-kata filsafat yang amat dalam! Mulailah ia kagum dan tidak lagi main-main.

"Bu Tek Lojin, sekarang aku ingin tahu, mengapa kau katakan bahwa jahat tidak ada bedanya dengan baik?"

"Ho-ho-hah-hah, memang kau bodoh dan goblok! Semua manusia bodoh dan tolol, termasuk aku! Semua manusia goblok itu merasa diri pintar, termasuk aku! Apa bedanya baik dan buruk? Apa bedanya siang dan malam? Apa bedanya ada tidak ada? Kalau tidak ada matahari, mana ada siang malam? Kalau tidak tahu, mana bisa ada atau tidak ada? Kalau tidak menyayang diri sendiri, mana ada buruk dan baik? Ha-ha-ha! Eh bocah, siapa namamu?"

"Aku yang muda dan bodoh bernama... Kim-mo Taisu!"

Kwee Seng sengaja memakai nama ini untuk menandingi kesombongan Si Kakek. Ia memang telah mempunyai nama poyokan Kim-mo-eng (Pendekar Aneh Berhati Emas), akan tetapi untuk mempergunakan nama Kim-mo-eng, berarti memperkenalkan dirinya sendiri, padahal ia sudah merasa malu untuk menghidupkan lagi nama Kwee Seng yang di anggap sudah mati terpendam di Neraka Bumi, maka kini ia sengaja menamakan dirinya Kim-mo Taisu yang berarti Guru Besar Setan Emas!"

"Wah, wah, namamu hebat! Pandai kau memilih nama, memang memilih nama bebas, boleh pakai apa saja. Dalam hal ini kita cocok, maka aku pun memilih nama Bu Tek Lojin, huah-hah-hah! Eh. Kim-mo Taisu yang tidak patut bernama Kim-mo Taisu karena masih muda, aku Tanya, apakah kau seorang baik?"

Ditanya begini Kwee Seng melengak dan tak dapat menjawab.

"Ha-ha-ha, tentu saja dalam hatimu kau menjawab bahwa kau ini seorang baik. Tidak ada di dunia ini orang yang mengaku dirinya orang jahat. Biarpun mulutnya bilang jahat, hatinya tetap mengaku baik. Jadi, siapakah dia yang baik? Yang baik adalah dirinya sendiri, dan orang yang melakukan sesuatu yang menyenangkan dirinya sendiri, dianggap orang baik pula. Siapakah dia yang dinamakan orang jahat? Yang jahat adalah orang yang melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan dirinya sendiri, nah, mereka ini tentu akan disebut jahat. Baik dan jahat tidak ada, sama saja, yang ada hanya penilaian di hati orang yang membedakan demi kesenangan diri sendiri. Yang menyenangkan diri dianggap baik, yang tidak menyenangkan diri dianggap buruk. Ha-ha-ha-ha! Menolong yang dianggap baik, itu bukan menolong namanya! Bukan menolong orang, melainkan menolong diri sendiri, menyenangkan perasaan sendiri. Mengertikah kau, Kim-mo Taisu yang goblok?"

Di dalam hatinya Kwee Seng kembali terkejut. Kakek cebol ini kiranya bukan sembarangan orang! Betapapun juga, hatinya tidak puas. Kakek ini sifatnya terlalu berandalan, terlalu liar dan bahkan mungkin keliarannya dan suka menggunakan aturannya sendiri itu dapat menimbulkan bahaya bagi orang lain.

"Bu Tek Lojin, kau boleh mengeluarkan alasan apapun juga, boleh kau membongkar-bongkar filsafat untuk mencari kebenaran sendiri. Akan tetapi aku melihat sendiri betapa kau memberi sebungkus bubuk racun kepada Puteri Mahkota Tayami dengan nasihat supaya dia memakai bubuk itu membedaki mukanya. Apa kau mau bilang bahwa perbuatanmu ini termasuk baik? Kau hendak membikin rusak muka yang begitu cantik bukankah itu perbuatan keji sekali? Kalau kau masih mengaku seorang manusia, di mana perikemanusiaanmu?"

"Huah-hah-hah! Memang aku bukan manusia biasa, aku setengah dewa! Tentang pengiriman obat itu, memang ku sengaja, dan memang maksudku baik. Baik sekali! Kau tahu apa yang menyebabkan semua keributan itu? Apa yang menyebabkan pemuda-pemuda tolol itu berlomba dan saling membenci? Tak lain untuk memperebutkan hati Puteri Mahkota! Dan mengapa mereka berlomba memperebutkan hati Puteri Mahkota? Karena dia cantik jelita! Ha-ha-ha! Karena itu aku berusaha melenyapkan kecantikannya. Kecantikan hanya sebatas kulit muka! Kalau obatku dapat mengupas kulit mukanya, hendak kulihat apakah para pemuda itu akan mau memperebutkannya. Inilah namanya menghilangkan akibat dengan membongkar sebabnya!"

"Hemm, membongkar sebab secara merusak tanpa mengenal kasihan seperti itu, benar-benar mencerminkan hatimu yang keji. Kau tua bangka yang benar-benar berhati iblis!"

"Uwaaaahh! Kim-mo Taisu, mulutmu lancang benar! Apa kau mau mengajak aku berkelahi?"

"Bukan mau berkelahi, melainkan mau memberi hajaran kepadamu!"

"Wah-wah, kau mau menghajar aku? Heh-heh-heh! Ada ular kecil mau menghajar seekor naga. Lucu... lucu....!"

Makin mendongkol hati Kwee Seng. Benar sombong kakek ini, tadi menyamakan dia anak ayam dan dirinya sendiri garuda, sekarang memaki dia ular kecil dan mengangkat dirinya sendiri seekor naga!

"Biarpun naga, kalau matanya buta dan merusak sana-sini, apa boleh buat, wajib dihajar!"

"Bagus, mari kau layani aku beberapa jurus!" Kakek itu berkata, lalu meloncat ke kiri dan memasang kuda-kuda yang aneh, kedua sikunya mepet pinggang, jari-jari tangan terbuka dan miring, tubuhnya doyong ke depan, pundaknya diangkat pula ke depan, matanya melirak-lirik, persis gaya seekor jago aduan yang akan dipersabungkan!

Melihat kakek itu tidak bersenjata, Kwee Seng menyelipkan tulang paha kambing dan daun ke pinggangnya, kemudian ia pun menghampiri kakek itu, memasang kuda-kuda dan diam-diam ia mengerahkan sin-kangnya seperti yang ia pelajari di Neraka Bumi karena ia cukup maklum bahwa betapapun aneh dan lucu sikap kakek itu, namun sudah terbukti kemarin betapa kakek ini memiliki lwee-kang yang amat kuat serta gin-kang yang amat tinggi. Lawan ini amat berbahaya, dan dengan cerdik Kwee Seng lalu menanti sambil siap siaga, tidak mau menyerang lebih dulu.

Akan tetapi kakek itu juga tak kunjung datang serangannya. Hanya kepalanya bergerak ke kanan kiri, matanya lirak-lirik seperti ayam jago sedang menaksir-naksir kekuatan lawan, kemudian kakinya melangkah-langkah berputar mengelilingi Kwee Seng! Tentu saja Kwee Seng juga segera mengubah kedudukan kaki dan mengatur langkah mengikuti Si Kakek yang aneh. Ia melihat betapa jari-jari kakek itu yang telanjang seperti kakinya sendiri, terpentang seperti cakar ayam. Benar-benar kuda-kuda ilmu silat yang aneh sekali. Apakah kakek ini menciptakan ilmunya berdasarkan gerakan ayam jago? Ataukah semacam burung? Ia menaksir-naksir akan tetapi tetap waspada.

Tiba-tiba kakek itu berseru, "Awas !" dan tubuhnya mencelat ke depan, menerjang, kedua tangannya menggampar dari kanan kiri, kedua kakinya menendang.

Biarpun kelihatan hanya sebuah terjangan kasar, namun jari-jari kakinya serta jari-jari tangannya melakukan totokan di tujuh bagian hiato (jalan darah) yang berbahaya! Kwee Seng kaget sekali, tak mungkin mengelak dari terjangan liar ini, maka cepat ia menggerakkan kakinya melangkah mundur lalu kedua tangannya membuat gerakan membentuk lingkaran-lingkaran dan sekaligus ia dapat menangkis dua pasang tangan kaki kakek itu.

"Dukkk!"

Tubuh Bu Tek Lojin mencelat ke belakang membuat salto dua kali, akan tetapi kedudukan kaki Kwee Seng juga tergempur sehingga dia terhuyung-huyung ke belakang. Kagetlah Kwee Seng. Tenaganya setelah berlatih di Neraka Bumi, mengalami kemajuan pesat sekali. Namun kini ia ketemu batunya. Kakek yang menerjang di tengah udara itu ternyata mampu membuatnya terhuyung-huyung, dan kedua lengannya yang menangkis tadi seakan-akan bertemu dengan benda yang antep dan keras.

"Heh-heh, kau boleh juga!" Kakek itu memuji, kemudian mengulangi lagi pasangannya seperti ayam jago, berputar-putar sehingga terpaksa Kwee Seng juga berputaran.

Kembali Bu Tak Lojin menerjang maju dan kali ini terjangannya disusul serangkaian serangan yang ganas, memukul dan menendang bergantian, semua mengarah jalan darah yang berbahaya. Kwee Seng berlaku cepat, tubuhnya mencelat ke sana-sini dan ia pun membalas dengan pukulan tanpa memakai sungkan-sungkan lagi. Maka lenyaplah bayangan kedua orang ahli silat yang mengerahkan gin-kang ini, berkelebatan seperti petir menyambar. Berkali-kali mereka beradu tangan dan selalu Kwee Seng terdesak mundur. Terang bahwa ia kalah kuat dalam hal tenaga dalam, akan tetapi karena Kwee Seng memang memiliki ilmu silat yang tinggi maka penjagaannya rapat sekali. Setelah mengalami benturan tangan belasan kali yang membuat kedua lengannya terasa sakit-sakit, Kwee Seng segera mengerahkan Ilmu Silat Bian-sin-kun (Tangan Kapas Sakti). Kedua tangannya menjadi lunak seperti kapas dan tenaga kakek itu seperti amblas kalau bertemu dengan tangannya, sehingga ia tidak mengalami rasa nyeri lagi, malah dengan ilmunya ini ia dapat membalas serangan dengan mendadak dan cepat, membuat kakek itu berkali-kali mengeluarkan seruan memuji dan penasaran.

Tiba-tiba kakek cebol itu mengganti dan gerakannya yang tadinya amat cepat lincah itu, menjadi gerakan lambat. Malah kedua kakinya seakan-akan tidak bertenaga, seperti mengambang di atas air saja. Namun hebatnya, begitu mereka beradu lengan, Kwee Seng terlempar ke belakang sedangkan kakek itu hanya menari-nari dengan kedua kaki seperti tidak menginjak tanah.

Kwee Seng terkejut sekali, ia melihat kakek itu tadi hanya membuat gerakan mendorong dengan kedua tangan, mengapa begitu beradu tangan ia terlempar sampai tiga meter ke belakang? Seakan-akan dari kedua tangan kakek itu mengandung tenaga yang luar biasa kuatnya, padahal gerakan kakek itu lambat dan kelihatan lemah serta kosong? Ia tidak tahu bahwa ini ilmu ciptaan Bu Tek Lo-jin yang dinamainya Khong-in-ban-kin (Awan Kosong Mengandung Kekuatan Selaksa Kati)! Adapun ilmu ini adalah ilmu sin-kang yang mendasarkan ilmu memanfaatkan yang kosong seperti seringkali disebut-sebut oleh Nabi Locu dalam kitabnya To-tik-keng sehingga merupakan penggabungan ilmu silat dan ilmu batin yang tinggi.

Karena maklum bahwa kalau ia terus melayani kakek sakti ini dengan tangan kosong tentu ia akan kalah, Kwee Seng lalu mencabut tulang paha kambing dan daun lebar dari ikat pinggangnya.

"Bu Tek Lojin, dengan tangan kosong aku kalah, marilah kita gunakan senjata!"

Bu Tek Lojin bukanlah orang buta. Melihat lawannya yang muda mengeluarkan senjata yang begitu sederhana dan aneh, ia tahu bahwa lawannya ini benar-benar merupakan lawan yang tangguh sekali. Tadi pun diam-diam ia sudah terheran-heran mengapa ada orang muda yang begitu lihai. Selama hidupnya, belum pernah ia bertemu tanding yang semuda ini. Akan tetapi memang wataknya tinggi hati, tidak memandang mata kepada lawan manapun juga, maka ia tertawa sambil berkata, "Jembel tengik, keluarkan saja semua kepandaianmu untuk kulihat!"

Setelah berkata demikian kakek cebol itu langsung menyerang lagi dan kini kembali ilmu silatnya sudah berubah, tenaganya masih sehebat tadi namun kedua tangannya membuat gerakan yang membentuk lingkaran-lingkaran lebar dengan tangan kirinya, sedangkan yang kanan membentuk lingkaran-lingkaran sempit. Pukulan-pukulan dan tendangan-tendangannya datang bergulung-gulung seperti ombak samudera menerjang habis segala yang merintanginya. Melihat hebatnya gerakan ini, Kwee Seng segera memutar ulang paha kambing yang ia gunakan seperti pedang, untuk melindungi tubuh, sedangkan daun di tangan kiri mulai ia kebut-kebutkan yang juga mengeluarkan angin pukulan yang amat dahsyat.

Tiba-tiba terdengar suara keras, "Bagus, Bu Tek Lojin, kau hajar mampus bocah itu. Kalau kau kalah, baru aku yang maju!"

Suara itu terdengar dari jauh akan tetapi nyaring dan jelas sekali, kemudian sebelum suara itu lenyap kumandangnya, orangnya sudah berkelebat datang. Seorang raksasa tinggi besar berkepala gundul yang segera dikenal Kwee Seng sebagai musuh lamanya, Ban-pi Lo-cia!

Sejenak kakek cebol menghentikan serangannya, membanting-banting kaki dan memaki, "Kau bilang kalau aku kalah? Kuda gundul, kau lihat saja aku menjatuhkan jembel tengik ini, kalau sudah, biar kau punya selaksa lengan (ban-pi), pasti kedua tanganku yang hanya dua ini akan kenyang menempilingi gundulmu sampai kau berkuik-kuik dan berkaing-kaing!" Setelah berkata demikian, kakek cebol itu segera menyerang Kwee Seng lagi dengan hebatnya.

Kwee Seng mencelat ke kiri sambil memutar tulang paha kambing. "Stop dulu, Bu Tek Lojin. Dia itu musuh lamaku, biarkan aku membuat perhitungan dengan dia! Heh, manusia cabul, rasakan pembalasanku atas kematian Ang-siauw-hwa...!" Kwee Seng hendak menyerang Ban-pi Lo-cia, akan tetapi kakek cebol itu merintangi, bahkan menyerangnya lagi sambil mengomel.

"Kau belum kalah olehku, bagaimana bisa berhenti dan melawan orang lain?"

Karena serangan kakek cebol ini memang hebat sekali, Kwee Seng tidak dapat memecah perhatian dan terpaksa ia melayani lagi dengan hati mendongkol. Ia tahu bahwa percuma saja bicara dengan kakek cebol ini. Jalan satu-satunya mengalahkan Si Cebol ini lebih dulu, baru nanti menghadapi Ban-pi Lo-cia. Akan tetapi ini hanya rencana saja, pelaksanaannya sukar setengah mati karena Si Cebol ini benar-benar sakti luar biasa.

Sementara itu, baru sekarang Ban-pi Lo-cia melihat tubuh Bayisan yang menggeletak di atas tanah. Ia kaget sekali dan tidak mempedulikan lagi mereka yang sedang bertempur. Cepat ia berlutut di dekat muridnya dan setelah melihat muka muridnya ia mengeluarkan suara tertahan, menotok dan mengurut sana-sini. Akhirnya Bayisan dapat bicara.

"Suhu (Guru) ..." ia mengeluh.

"Muridku, siapa yang melakukan ini padamu? Hayo katakan, siapa? Akan kubeset kulit mukanya!"

Dengan suara terputus-putus Bayisan bercerita terus terang kepada gurunya bagaimana ia tergila-gila kepada Tayami dan memasuki kamarnya, kemudian puteri mahkota itu menggunakan bubuk beracun mengenai mukanya. Ketika bicara agak panjang ini, Bayisan telah terlalu banyak mengerahkan tenaganya, maka begitu habis bicara, ia jatuh pingsan lagi. Ban-pi Lo-cia menarik napas panjang, menggeleng kepala dan berkata.

"Ahhh, banyak wanita cantik di dunia ini, mengapa kau memilih Puteri Mahkota bangsa sendiri? Ah, tidak bisa aku menggangu Puteri Tayami. Tayami anak Kulu-khan, mengapa engkau begini kejam? Muridku, jangan penasaran. Aku akan menurunkan semua kepandaianku kepadamu agar kelak kau dapat menjagoi dan menjadi orang nomor satu di Khitan!" Setelah berkata demikian, Ban-pi Lo-cia memondong tubuh muridnya itu dan lari meninggalkan tempat itu tanpa peduli lagi kepada dua orang yang sedang bertanding.

"Ban-pi Lo-cia, kau hendak lari kemana?"

Kwee Seng menusukkan tulang paha dengan jurus maut Pat-sian-toat-beng (Delapan Dewa Mencabut Nyawa) dari Ilmu Pedang Pat-sian Kiam-hoat. Baru sekarang ia menggunakan jurus Pat-sian Kiam-hoat karena tadi dalam menghadapi Bu Tek Lojin ia belum mau mempergunakan ilmunya ini yang telah diperbaiki dahulu oleh Bu Kek Siansu, sekarang ia ingin sekali mengejar Ban-pi Lo-cia, terpaksa ia menggunakan jurus ini.

Kagetlah Bu Tek Lojin. Serangan ini memang hebat sekali dan tak mungkin ditangkis atau dielakkan. Tulang itu ujungnya tahu-tahu sudah mengancam ulu hati. Terpaksa Bu Tek Lojin menggunakan gerakan yang sebetulnya kalau tidak terpaksa, ahli silat tinggi enggan melakukannya, yaitu membuang diri ke belakang seperti batang pohon tumbang, lalu bergulingan di atas tanah.

Akan tetapi Kwee Seng memang hanya ingin membuat kakek cebol ini untuk sementara menjauhkan diri, langsung ia meloncat dengan gin-kangnya yang hebat ke arah Ban-pi Lo-cia yang sedang melarikan diri membawa muridnya, tulangnya menghantam ke arah lambung Ban-pi Lo-cia. Kakek gundul ini mendengar desir angin, menangkis dengan lengan karena tahu bahwa senjata lawan itu tidak tajam.

"Dukkk!!"

Tubuh Ban-pi Lo-cia terguling! Bukan main kagetnya hati Si Gundul, karena sama sekali tidak disangkanya Kwee Seng akan sekuat itu, jauh lebih kuat daripada beberapa tahun yang lalu. Tulang lengannya tidak patah akan tetapi rasa nyeri menusuk sampai ke jantung. Ia tidak berani main-main lagi dan karena ia memang amat kuat, sekali meloncat ia telah berada jauh di depan, lalu menggunakan ilmu lari cepatnya meninggalkan tempat itu.  

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang