Jilid 4

4.7K 60 0
                                    

Sebelas hari lamanya mereka berdua melakukan perjalanan yang sukar, naik turun Pegunungan Lu-liang-san, masuk ke­luar hutan-hutan lebat. Pada hari ke dua belas, setelah selama itu tak pernah bertemu dengan manusia karena agaknya Siangkoan Li memang memakai jalan yang liar dan tak pernah diinjak orang, sampailah mereka di sebuah dusun kecil di lereng bukit. Dusun ini hanya diting­gali beberapa puluh keluarga petani, akan tetapi di ujung dusun itu berdiri sebuah rumah makan yang kecil dan sederhana sekali.

"Kita sudah sampai." Kata Siangkoan Li.

"Apa? Di dusun ini?"

Siangkoan Li menggeleng kepala dan menudingkan telunjuknya ke depan. "Di puncak sana itu."

Kwi Lan memandang dan benar saja. Tak jauh dari dusun itu menjulang tinggi puncak bukit dan samar-samar tampak tembok putih panjang melingkari bangun­an-bangunan kuno.

"Bangunan apakah itu?" tanya Kwi Lan.

"Itulah kuil dan markas Lu-liang-pai. Di sana tinggal para hwesio Lu-liang­-pai yang merupakan partai persilatan besar di daerah ini."

"Ahhh, kedua orang Gurumu itu hwe­sio-hwesio yang tinggal di sana?"

Siangkoan Li menggeleng kepala dan keningnya berkerut, agaknya pertanyaan ini menimbulkan kekesalan hatinya.

"Apakah dugaanku keliru?"

Pemuda itu mengangguk dan menghela napas panjang. "Kedua orang Guruku adalah.... orang-orang hukuman di kuil itu....!"

"Apa....?" Kwi Lan benar-benar ka­get karena hal ini sama sekali tidak per­nah diduganya. "Kenapa mereka dihukum? Apakah mereka itu anggauta-anggauta Lu-liang-pai yang menyeleweng?"

"Bukan. Mereka bukan hwesio, tapi.... entah mengapa mereka menjadi orang-orang hukuman di sana, tak pernah me­reka mau katakan kepadaku. Akan tetapi, Kwi Lan. Tidak mudah menemui mereka di sana, kalau, ketahuan para hwesio, tentu aku akan ditangkap. Karena itu, kuharap kau suka menanti di dusun ini dan biarlah aku seorang diri pergi meng­hadap kedua orang Guruku."

Kwi Lan mengajak pemuda itu duduk di tepi jalan, di atas akar pohon yang menonjol keluar, "Siangkoan Li, keadaan Gurumu itu aneh sekali. Bagaimana kau dapat menjadi muridnya kalau mereka itu orang-orang hukuman di Kuil Lu-liang-pai?"

Setelah berulang-ulang menghela napas, pemuda berwajah muram ini lalu berce­rita. Ia tidak pandai bicara, ceritanya singkat namun menarik perhatian Kwi Lan karena cerita itu amat aneh.

"Terjadinya ketika ayahnya masih hidup. Ayah adalah Ketua Thian-liong-pang yang pada waktu itu masih bernama harum sebagai perkumpulan kaum patriot Hou-han. Ayah mengenal baik dengan para pimpinan hwesio Lu-liang-pai dan pada suatu hari Ayah datang ke Lu-liang-pai mengunjungi mereka. Aku baru berusia tiga belas tahun dan diajak oleh Ayah." Siangkoan, Li mulai ceritanya yang didengarkan oleh Kwi Lan dengan tertarik. Kemudian ia melanjutkan.

Sebagai seorang anak kecil berusia ti­ga belas tahun, Siangkoan Li menjadi bosan mendengar percakapan antara ayahnya dan para pimpinan Lu-liang-pai, maka diam-diam ia menyelinap pergi dan bermain-main di kebun belakang. Para hwesio dan ayahnya tidak melarangnya karena di kebun belakang memang ter­dapat taman bunga yang amat indah. Hawa pegunungan yang sejuk memungkin­kan segala macam kembang hidup subur di situ. Akan tetapi Siangkoan Li ternya­ta bukan hanya bermain-main di taman bunga, melainkan bermain terus lebih jauh lagi ke sebelah belakang bangunan Kuil Lu-liang-pai. Dilihatnya sebatang kali kecil di belakang taman, kali yang lebar­nya empat meter lebih. Di seberang kali terdapat tanaman liar dan kali itu tidak dipasangi jembatan.

Dasar Siangkoan Li seorang anak yang ingin sekali mengetahui segalanya dan ia selalu merasa penasaran kalau belum ter­penuhi keinginannya, maka biarpun sungai itu terlalu lebar untuk ia lompati, ia segera mendapatkan akal. Ia tak pandai renang, melompati tak mungkin, akan tetapi ia ingin sekali menyeberang. Di­carinya sebatang bambu dan dengan ban­tuan bambu panjang ini yang ia pakai sebagai gala loncatan, sampai jugalah ia ,di seberang dengan kaki dan pakaian berlepotan lumpur.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang