Jilid 1

2.5K 39 0
                                    

Jalan kecil itu menuju ke kota Tai-goan. Jalan yang buruk dan becek, apalagi karena waktu itu musim hujan telah mulai. Udara selalu diliputi awan mendung, kadang-kadang turun hujan rintik-rintik, sambung menyambung menciptakan hawa dingin. Seperti biasa, segala keadaan di dunia ini selalu men­datangkan untung dan rugi, dipandang dari sudut kepentingan masing-masing. Para petani menyambut hari-hari hujan dengan penuh kegembiraan dan harapan, karena banyak air berarti berkah bagi mereka. Akan tetapi di lain fihak, para pedagang dan pelancong mengomel dan mengeluh karena pekerjaan atau per­jalanan mereka terganggu oleh jatuhnya hujan rintik-rintik yang tak kunjung henti.

Hujan rintik-rintik membuat jalan kecil itu sunyi. Dalam keadaan seperti itu, orang-orang yang melakukan per­jalanan melalui jalan kecil itu lebih suka menunda perjalanan, beristirahat di warung-warung sambil minum arak ha­ngat, di kuil-kuil atau setidaknya di bawah pohon rindang, pendeknya asal mereka dapat terlindung dari hujan. Kalaupun ada yang melakukan perjalanan melalui jalan kecil itu di waktu hujan rintik-rintik menambah dingin hawa udara pagi itu, mereka tentu bergesa-gesa agar cepat tiba di tempat tujuan. Beberapa ekor kuda dibalapkan lewat, jupa serom­bongan kereta lewat dengan cepatnya melalui jalan kecil, sejenak memecahkan kesunyian dengan suara roda kereta, derap kaki kuda dan cambuk, diseling suara pengendara yang menyumpah jalan buruk dan hawa dingin.

Akan tetapi pada pagi hari itu, se­ekor kuda kurus berjalan perlahan me­lalui jalan kecil itu. Kuda yang kurus dan buruk, berjalan seenaknya seakan-­akan menikmati air hujan yang berjatuhan jarang di atas kepalanya. Warna kulit kuda ini agaknya dahulunya merah, kini penuh debu basah sehingga warnanya menjadi coklat dan kotor. Penunggangnya sama dengan kudanya dalam menghadapi gangguan hujan. Tidak merasa terganggu sama sekali. Duduk di atas punggung kuda sambil meniup suling! Aneh, mana ada orang lain berhujan-hujan meniup suling?

Laki-laki itu tinggi tegap, usianya tentu mendekati lima puluh tahun. Raut wajahnya tampan dan gagah, pandang matanya sayu namun bersinar tajam. Kepalanya terlindung sebuah topi lebar, terbuat dari anyaman rumput dan sudah butut, robek-robek pinggirnya. Pakaiannya longgar dan amat bersih, akan tetapi sudah terhias tambalan di beberapa tempat. Biarpun keadaan orang dan ku­danya membayangkan kemelaratan dan sama sekali tidak menarik, namun suara sulingnya luar biasa sekali. Sayang bahwa tiupan suling seindah itu tidak pernah terdengar orang karena setiap kali ber­temu orang, laki-laki di atas kuda kurus ini selalu menghentikan tiupan sulingnya. Agaknya ia tidak suka kalau tiupan su­lingnya didengar orang.

Setelah keluar dari sebuah hutan kecil yang gelap, laki-laki itu menghentikan kudanya. Sepasang mata yang terlindung topi lebar itu memandang ke kanan kiri. Hutan terganti kebun dan sawah. Be­berapa orang petani sibuk bekerja di ladang, agak jauh dari jalan kecil itu. Laki-laki itu tampak tertarik dan sejenak wajah yang tampan itu berseri. Kemudian ia menarik perlahan kendali kudanya. Binatang kurus itu berjalan lagi, seenak­nya. Hujan gerimis sudah mereda, tinggal kecil dan jarang, sebentar lagi juga ber­henti. Di timur, sinar matahari mulai menerobos awan tipis mengusir dingin. Laki-laki itu sejenak memandang ke arah matahari yang belum menyilaukan mata, lalu mulutnya bernyanyi!

"Syarat memimpin negara dan dunia

adalah sembilan kebenaran

memperbaiki diri sendiri

menghargai orang bijak dan pandai

mencinta sanak keluarga

menghormat pembesar tinggi

mengasihi pembesar rendah

mencinta rakyat seperti anak

mengundang ahli-ahli bangunan

menghibur pengunjung dari jauh

mengikat persahabatan dengan negara lain!"

Sambil bernyanyi, laki-laki itu me­lakukan gerakan-gerakan aneh dengan sulingnya. Setiap kata-kata ia barengi dengan gerakan suling yang kalau diperhatikan merupakan gerakan menulis kata-kata itu, menulis di udara dan sungguh aneh, setiap gerakan menulis ini meng­akibatkan suara angin melengking yang berbeda-beda! Andaikata pada waktu itu terdapat seorang ahli silat tinggi yang menyaksikan gerakan-gerakan ini, tentu dia akan terheran-heran dan merasa ka­gum karena selain melihat gerakan luar biasa, juga akan merasa betapa dari gerakan ini keluar hawa pukulan mujijat! Akan tetapi, kalau gerakan-gerakan sambil bernyanyi itu terlihat oleh orang biasa, tentu ia akan mengira bahwa laki-­laki berkuda itu seorang yang miring otaknya.

Melihat keadaannya yang melarat, tak seorang pun akan mengira bahwa laki­-laki ini sesungguhnya adalah seorang pendekar besar, seorang pendekar sakti yang pada belasan tahun yang lalu amat terkenal dan sukar dicari tandingnya. Jarang ada orang yang mengetahui namanya, dan para tokoh dunia persilatan hanya mengenalnya sehagai SULING EMAS. Telah belasan tahun dunia persilatan kehilangan tokoh ini dan tidak seorang pun tahu ke mana perginya. Dahulu orang mengenal Kim-siauw-eng (Pendekar Suling Emas) sebagai seorang laki-laki yang tinggi tegap dan tampan gagah, pakaiannya terbuat daripada su­tera halus berwarna hitam, dengan sulaman benang emas menggambarkan bulan dan sebatang suling di bagian dadanya. Dahulu, belasan tahun yang lalu, sepak terjangnya amat mengagumkan kawan maupun lawan. Mulia seperti malaikat bagi yang tertolong, hebat mengerikan seperti iblis bagi penjahat yang dibasminya. Itulah dia Suling Emas!

Akan tetapi laki-laki setengah tua yang menunggang kuda kurus itu, yang pakaiannya membuat ia lebih patut di­sebut jembel, sama sekali tidak memper­lihatkan bekas bahwa dialah sesungguhnya Suling Emas. Jauh bedanya bagaikan bumi dengan langit. Suling yang tadi ditiupnya kini berselubung tembaga di luarnya, merupakan suling biasa. Hanya seorang ahli kalau melihat gerakan-gerakannya sambil bernyanyi tadi, akan mendapat kenyataan bahwa selama be­lasan tahun bersembunyi ini, kepandaian Suling Emas tidaklah mundur, bahkan makin hebat. Gerakan-gerakannya tadi­ sama sekali bukan gerakan seorang gila hendak menari, melainkan gerakan Ilmu Silat Hong-in-bun-hoat, yaitu Ilmu Silat Sastra Awan dan Angin yang berdasarkan gerakan penulisan huruf-huruf dari kitab Tiong-yong! Nyanyiannya tadi adalah ayat-ayat dari kitab Tiong-yong. Jangan dikira bahwa gerakan-gerakan itu hanyalah gerakan sembarangan, karena setiap huruf yang ditulis, merupakan gerakan lihai sekali, baik dalam bentuk serangan maupun dalam bentuk tangkisan.

Kuda kurus itu berjalan terus. Sinar matahari pagi kini mencipta suasana cerah dan indah. Burung-burung berkicau menambah keindahan suasana. Lalu lintas mulai ramai setelah kini hujan berhenti dan tembok kota Tai-goan sudah tampak dari jauh, Suling Emas tidak bernyanyi lagi, tidak pula meniup sulingnya. Bahkan sulingnya, kini tersembunyi di balik baju­nya yang penuh tambalan. Ia menunduk, tidak memperhatikan orang-orang yang lewat dan bersimpang jalan dengannya. Sudah terlalu lama ia mengasingkan diri, perhatiannya terhadap manusia dan dunia menipis. Kadang-kadang ketenangannya terganggu oleh batuk. Apabila serangkai­an batuk menyerangnya, mulutnya membayangkan rasa nyeri yang ditahan-tahan. Dan rangkaian batuk yang menyesakkan dada ini membuat ia kecewa.

Suling Emas kecewa akan dirinya sendiri. Percuma saja belasan tahun ia menyembunyikan diri. Ia dapat bersembunyi daripada dunia ramai, namun ia tidak dapat bersembunyi daripada pikiran dan hatinya sendiri! Kemanapun juga ia pergi, ke puncak-puncak gunung yang sunyi, ke dalam guha-guha yang sepi di mana tidak nampak bayangan manusia lain, pikiran dan perasaan hatinya selalu mengejarnya. Bayangan wajah wanita-wanita yang pernah merampas hatinya, selalu menggodanya. Ia mempergunakan kekuatan dan kekerasan hati, menekan semua itu, namun hasilnya merusak jantungnya sendiri. Suling Emas selama belasan tahun hidup bersengsara, hidup nelangsa, hidup menyiksa batin sendiri, korban asmara!

Ketika kudanya berjalan perlahan, bermacam kenangan memenuhi kepalanya, kenangan yang timbul dari serangkaian batuk yang menyerangnya tadi. Karena serangan batuk ini mengingatkannya kembali akan keadaan dirinya. Teringatlah ia akan nasib ayah bundanya, nasib gurunya. Mereka itu, orang-orang tua yang tidak sempat ia balas dengan kebaktian itu, yang telah lama meninggalkannya seorang diri di dunia ini, juga mengalami nasib buruk dalam cinta kasih. Ayah bundanya gagal dalam cinta kasih se­hingga bercerai sampai mati. Kemudian gurunya yang tercinta, gurunya yang menjadi pula pengganti ayah bundanya, mengalami kegagalan asmara yang lebih pahit pula. Kasihan gurunya Kim-mo-Taisu, pendekar sakti yang patah hati!

Suling Emas kembali menarik napas panjang, tangan kirinya membenamkan topinya makin dalam. Matahari di se­belah kanannya mulai menyilaukan mata dan topinya amat baik untuk melindungi matanya dari sinar matahari. Ia terme­nung kembali, tampaknya melenggut ngantuk di atas punggung kudanya. Be­tapapun sengsara orang tua dan gurunya menjadi korban asmara gagal, jika diban­dingkan dengan apa yang ia alami, me­reka itu masih mendingan! Terbayang wajah wanita yang menjadi cinta per­tamanya, gadis yang terjungkal ke dalam jurang dan tewas pada saat mereka ber­dua sedang bertunangan! Kemudian wajah cintanya yang kedua, yang kini menjadi nyonya pangeran, hidup mewah dan mulia ­bersama suami dan anak-anaknya! Akhirnya terbayang pula wajah cintanya yang ketiga, atau yang terakhir, wajah Kam Lin Lin, atau lebih tepat sekarang di­sebut Ratu Yalina, ratu suku bangsa Khitan di utara!

"Ahh, bodoh!" Suling Emas menyendal kendali kudanya merasa gemas kepada dirinya sendiri yang ia anggap amat lemah. "Engkau sudah tua bangka ber­pikir yang bukan-bukan!" Di dalam hati­nya ia menyumpahi diri sendiri. Lamunan-lamunan, kenangan-kenangan, dan pikiran macam itulah yang selalu mengejar dan menggodanya, kemanapun juga ia pergi, sehingga akhirnya timbul batuk yang menggeroti dadanya.

Kalau sudah terganggu oleh kenang­-kenangan seperti itu hatinya serasa di­remas, terasa sakit dan perih, semangat­nya melemah dan seluruh tubuhnya lelah, membuat ia malas dan satu-satunya ke­inginan hanya tidur, kalau mungkin tidur selamanya tanpa sadar lagi! Sebuah kuil tua di pinggir jalan, di luar kota Tai-goan menarik hatinya karena ia melihat tempat mengaso yang enak dalam kuil tua itu, di mana ia dapat mengaso dan tidur memenuhi keinginan hatinya. Di­belokkannya kuda kurus itu ke kiri me­masuki pekarangan kuil tua yang penuh rumput, seperti juga kuilnya sendiri yang sudah kosong dan tidak terpelihara, pe­karangan itupun kotor penuh rumput. Akan tetapi hal ini menguntungkan bagi kuda kurus yang terus saja melahap rum­put hijau di depan kuil. Kuda itu dilepas begitu saja oleh Suling Emas yang me­masuki kuil dengan mata setengah tidur! Tanpa menoleh ke kanan kiri tanpa mempedulikan beberapa orang pengemis yang duduk di sudut ruangan depan, ia terus melangkah ke dalam, mengebut-ngebutkan ujung baju membersihkan lantai di sudut yang kosong, lalu duduk bersandar din­ding, terus melenggut tidur! Hanya de­ngan istirahat beginilah batuk yang me­nyerangnya menjadi berkurang.

Mengapa pendekar sakti seperti Suling Emas sampai menjadi begini? Padahal, kalau ia menghendaki kedudukan, Kerajaan Sung akan membuka kesempatan sebesarnya kepada Suling Emas, tokoh yang sudah banyak dikenal, bahkan Kaisar sendiri memberi penghargaan kepada Suling Emas, memberi izin istimewa kepada Suling Emas, untuk memasuki istana setiap saat sesuka hatinya! Selain ini, juga para pimpinan Beng-kauw yang menjadi orang-orang paling berpengaruh di samping Kaisar Nan-cao, juga akan me­nerimanya dengan tangan terbuka. Betapa tidak? Suling Emas adalah cucu kepo­nakan dari ketua Beng-kauw! Mengapa ia menolak semua kemuliaan ini dan me­milih penghidupan miskin, terlantar, patah hati dan terserang penyakit?

Para pembaca cerita "SULING EMAS" dan cerita "CINTA BERNODA DARAH" tentu masih ingat betapa parah cinta kasih yang gagal merobek hati Suling Emas.

Cintanya yang terakhir lebih-lebih lagi menghancurkan hatinya. Ikatan cinta kasih antara dia dan Ratu Yalina, amat­lah erat. Masing-masing telah saling mencinta, bahkan Ratu Yalina tadinya rela mengorbankan kedudukannya untuk menjadi isterinya. Namun, Suling Emas terpaksa menolaknya. Menolak karena pertama, Suling Emas sebagai seorang tokoh besar di dunia kang-ouw tentu saja dimusuhi banyak orang, apalagi karena mendiang ibunya sewaktu hidupnya telah mengakibatkan banyak permusuhan dengan orang-orang dunia persilatan. Ia tidak mau menyeret Yalina dalam hidup penuh bahaya dan permusuhan. Kedua, Yalina adalah puteri angkat ayahnya, jadi masih adik angkatnya sendiri, sehingga kalau mereka berdua berjodoh, tentu akan menjadi bahan ejekan dan cemoohan, mencemarkan nama baik keluarganya. Ketiga, suku bangsa Khitan amat mem­butuhkan bimbingan Ratu Yalina untuk memperkuat kembali suku bangsa itu. Inilah sebabnya mengapa ia rela berpisah dari kekasihnya itu, rela hidup merana dan menderita tekanan batin.

Hampir dua puluh tahun ia menyem­bunyikan diri semenjak berpisah dari Ratu Yalina. Musuh-musuh ibunya akhirnya merasa bosan mencari-carinya untuk dimintai pertanggungan jawab akan sepak terjang ibunya puluhan tahun yang lalu. Akhirnya ia, Suling Emas, dilupakan orang!

Benarkah itu? Benarkah Suling Emas dilupakan orang? Mudah-mudahan demi­kian, pikir Suling Emas sambil meleng­gut. Mudah-mudahan dunia sudah lupa kepada Suling Emas! Lebih dilupakan lebih baik! Siapa yang akan mengenal Suling Emas yang sekarang telah menjadi seorang jembel setengah tua? Gurunya dahulu pernah hidup sebagai seorang jembel. Malah jembel yang gila! Berpikir sampai di sini, senyum pahit menghias mulutnya dan ia membuka sedikit mata­nya. Kebetulan sekali ia melihat dua orang pengemis tua yang tadi duduk melenggut di sudut luar, kini keduanya saling berbisik dan menoleh kepadanya. Kemudian, aneh sekali, dua orang penge­mis tua itu menghampirinya dan kedua­nya membuat gerakan aneh, yaitu tangan kiri menekan dada kiri arah tempat jan­tung, dan tangan kanan diangkat ke atas membentuk lingkaran dengan ibu jari dan jari tengah.

Apa artinya itu? Mengapa mereka memberi salam seaneh itu? Suling Emas tidak mengenal siapa mereka, juga yakin bahwa tidak mungkin mereka mengenal­nya. Akan tetapi mereka itu sudah me­nyalamnya, biarpun salam yang lucu dan aneh. Agaknya mereka itu memberi sa­lam karena mengira dia pun seorang pe­ngemis, jadi segolongan. Dan agaknya pa­ra pengemis di daerah ini sudah lajim menyalam seorang "rekan" secara itu. Untuk menjaga jangan sampai dua orang itu tersinggung Suling Emas lalu meniru gerakan mereka, membalas salam itu dengan gerakan yang sama, lalu ia me­ramkan mata dan melenggut pula, tidak memperhatikan lagi dua orang itu yang wajahnya sejenak berubah girang sekali ketika melihat balasan salamnya.

Agaknya seorang di antara dua pengemis tua itu hendak bicara dan Suling Emas diam-diam merasa geli hati­nya, akan tetapi mendadak mereka ber­dua itu sudah meloncat dan di lain saat sudah mendengkur lagi sambil duduk ber­sandar tembok. Gerakan mereka begitu cepat sehingga diam-diam Suling Emas tercengang, maklum bahwa dua orang pengemis itu bukanlah pengemis semba­rangan, melainkan pengemis kang-ouw yang berilmu tinggi! Selagi ia terheran mengapa mereka tidak jadi bicara dan bersikap seaneh itu, tiba-tiba di luar terdengar suara langkah kaki orang di­susul suara dalam bahasa Khitan yang dimengerti pula oleh Suling Emas.

"Tidak salah lagi. Dia tentu berada di dalam kuil ini. Lihat itu kudanya, aku mengenal kuda kurus ini!" Demikian suara itu dan diam-diam Suling Emas terkejut. Ia teringat bahwa kemarin ia melihat tiga orang laki-laki bangsa Khitan yang berpakaian seperti perwira, menunggang kuda dengan membalap. Me­reka itu ketika bersimpang jalan, me­mandang penuh perhatian kepadanya. Me­lihat perwira-perwira Khitan ini, Suling Emas teringat kepada kekasihnya, Ratu Yalina. Akan tetapi karena pada masa itu Kerajaan Sung bersahabat dengan Kerajaan Khitan dan adanya orang-orang Khitan di wilayah Kerajaan Sung bukanlah hal aneh lagi, maka Suling Emas tidak menaruh perhatian lagi. Siapa kira, tiga orang itu agaknya menyusul dan mencarinya sampai di sini!

Sedikit pun Suling Emas tak dapat menduga mengapa ada perwira-perwira Khitan mencarinya dan mulai timbul dugaan bahwa tentu mereka itu salah lihat, mengira dia orang lain, maka ia tetap saja duduk dengan sikap tenang. Tiga orang Khitan itu segera muncul di ruangan dalam kuil itu. Seorang diantara mereka, yang menjadi pemimpin, bertubuh gemuk dengan kumis melintang tebal. Si Kumis Tebal inilah yang sekarang berdiri dan menjura kepadanya, memandang tajam, penuh selidik ke arah wajah di bawah topi sambil berkata,

"Taihiap (Pendekar Besar), kami menjalankan perintah Ratu kami yang minta dengan hormat agar Taihiap suka pergi berkunjung sekarang juga bersama kami ke Khitan."

Jantung Suling Emas berdebar keras. Baru sekali ini setelah belasan tahun ia mengalami ketegangan batin. Ratu Khitan Yalina mengundangnya? Apa yang dikehendaki oleh Lin Lin? Mengapa ingin bertemu? Pertemuan yang tentu hanya akan membuat luka di hatinya menjadi makin parah saja. Di saat itu juga, ia sudah mengambil keputusan untuk menolak undangan ini. Akan tetapi ia tidak ingin pula lain orang mengetahui bahwa dia Suling Emas. Bagaimana perwira Khitan ini dapat mengenalnya?

"Apa.... apa yang kaumaksudkan? Aku tidak mengerti omonganmu!" Ia menjawab lirih, pura-pura tidak mengerti kata-kata tadi yang diucapkan dalam bahasa Khitan. Si Kumis Tebal itu saling lirik dengan dua orang temannya, pada wajahnya terbayang keheranan dan keraguan. Ia segera berkata dalam bahasa Han.

"Kami diutus junjungan kami untuk mengundang Taihiap berkunjung ke Khitan sekarang juga bersama kami."

Tentu saja Suling Emas maklum bahwa Lin Lin atau Sang Ratu Yalina yang mengundangnya, akan tetapi ia pura-pura tidak tahu. Diam-diam ia kagum dan heran sekali akan kecerdikan orang-orang Khitan sehingga berhasil mengenal dan mendapatkannya. "Ah, apa artinya ini? Aku sama sekali bukan Taihiap, dan aku tidak mengenal siapa itu junjunganmu di Khitan."

Kembali wajah gemuk itu dibayangi keraguan. "Harap Taihiap jangan berpura-pura lagi. Junjungan kami adalah Sang Ratu yang mulia di Khitan. Menurut petunjuk yang saya terima, tidak salah lagi Taihiap orangnya. Kuda kurus itu.... dan bentuk tubuh Taihiap. Perintah junjungan kami merupakan perintah besar yang harus dilaksanakan sampai berhasil, dan kami sudah bertahun-tahun dalam usaha mencari Taihiap!"

Diam-diam Suling Emas merasa ter­haru. Kembali terbayang wajah Lin Lin, terbayang semua peristiwa yang lalu. Lin Lin adalah puteri angkat ayahnya yang ternyata kemudian sebagai Puteri Mah­kota Khitan. Mereka saling mencinta, namun tak mungkin menjadi suami isteri. Ia telah memenuhi hasrat hatinya, me­menuhi permohonan Lin Lin sebelum ber­pisah sampai kini dari wanita yang tercinta itu. Ia telah secara diam-diam dan rahasia berkunjung di istana Sang Ratu Yalina, berdiam sampai satu bulan di dalam kamar Sang Ratu, hidup sebagai suami isteri penuh cinta kasih, penuh ke­mesraan selama sebulan, suami isteri di luar pernikahan yang tak mungkin dilaku­kan! Mereka berdua runtuh oleh gelora cinta dan nafsu. Namun hal itu tak da­pat dipertahankan terus. Demi menjaga nama baik Yalina sebagai Ratu, dan demi untuk menjaga nama baik keluarga. Terpaksa Suling Emas harus meninggalkan Khitan meninggalkan dengan keputusan hati takkan kembali lagi, takkan bertemu lagi dengan wanita yang dikasihinya, hanya dengan hiburan bahwa wanita yang dicintanya itu juga mencintanya sepenuh jiwa raga. Mereka bersumpah takkan menikah dengan orang lain.

Belasan tahun hal itu terjadi dan telah lalu. Hampir dua puluh tahun. Dan sekarang tiba-tiba Sang Ratu Yalina mengutus perwira-perwiranya untuk mencarinya sampai dapat, untuk mengundangnya ke Khitan. Apa perlunya? Bukankah kesemuanya itu sudah musnah habis?

"Aku yakin bahwa kalian tentu salah kira dan menganggap aku orang lain. Kalian mengira aku ini siapakah?" Suling Emas masih berusaha mempertebal keraguan orang.

"Siapa lagi Taihiap ini kalau bukan Kim-siauw-eng?"

"Aiiihhh....!" Teriakan tertahan ini terdengar dari sudut ruangan di mana dua orang kakek pengemis tadi duduk bersandar.

Berdebar keras jantung Suling Emas. Celaka, benar-benar orang-orang Khitan ini bermata tajam. "Ah, apa-apaan ini?" teriaknya. "Kalian benar-benar salah me­lihat orang! Aku bukan Taihiap, bukan pula Kim-siauw-eng, kalian lekas pergi saja jangan menggangguku."

"Taihiap, salah atau tidak, kami harus melakukan kewajiban kami! Petunjuk yang baru kami terima kemarin dari atasan kami tak salah lagi. Berpakaian sebagai pengemis, bertopi lebar butut, menunggang kuda kurus. Tidak salah lagi, Harap Taihiap tidak membikin repot kami dan suka, kami antar ke Khitan sekarang juga."

"Hemmm.... kalau aku tidak mau?"

"Kami mendapat perintah untuk mengawal Taihiap ke Khitan, mau atau tidak, karena kami sudah mendapat wewenang, kalau perlu kami akan memaksa Taihiap." Sambil berkata demikian, Si Kumis Tebal itu mengepal tinju dan me­langkah dekat. Akan tetapi jelas bahwa ia gelisah sehingga dahinya penuh ke­ringat.

"Waahh...., jangan menghina kaum jembel....!"

Kiranya dua orang pengemis tua itu sudah berdiri menghadang di depan tiga orang perwira Khitan dengan sikap melindungi Suling Emas. Di tangan kanan mereka tampak tongkat pengemis.

Perwira Khitan yang gemuk itu memandang dengan mata melotot, lalu mem bentak.

"Jembel-jembel tua bangka, kalian mau apa mencampuri urusan kami?"

Kakek pengemis yang punggungnya bongkok tersenyum lebar, lalu berkata.

"Melihat sekaum dihina orang, bagaimana kami dapat tinggal diam? Apalagi kalau yang kalian hina adalah saudara tua kami yang terhormat." Kemudian kakek bongkok itu menoleh ke arah Suling Emas lalu menjura. "Tianglo yang mulia silakan beristirahat yang enak, biarlah kami ber­dua mewakili Tianglo memberi hajaran kepada anjing-anjing Khitan ini!" Setelah berkata demikian, kembali ia menghadapi para perwita Khitan dan berkata meng­ejek, "Saudara tua kami tidak suka me­nerima undangan Ratu Khitan, mengapa memaksa? Sungguh Ratu kalian tak tahu malu!"

"Keparat, berani menghina....?" Per­wira gemuk itu segera menghantam ke arah dada pengemis bongkok. Hantaman yang amat kuat sehingga mengeluarkan hawa pukulan yang menyambar keras. Si Pengemis Bongkok maklum akan kekuatan lawan, maka ia cepat mengelak. Dua orang perwira lain yang memegang toya juga segera menyerbu dan terjadilah perkelahian seru di dalam kuil tua ini.

Ketika Suling Emas menyaksikan sikap kedua orang pengemis tua itu terhadap­nya, menjadi makin terheran-heran. Kalau para perwira Khitan itu dengan tepat dapat mengenal atau setidaknya menyangkanya Suling Emas, adalah para pengemis ini mengira dia orang lain dan menyebutnya Tianglo! Tentu dia dianggap seorang tokoh pengemis yang mereka hormati. Tidak beres kalau begini, pikirnya. Namun, masih mending dianggap seorang tokoh pengemis daripada dikenal sebagai Suling Emas! Ia merasa kesal melihat dirinya dijadikan sebab perkelahi­an, maka melihat lima orang itu bertan­ding seru, ia lalu menggunakan kepandai­annya, sekali berkelebat ia sudah lenyap dari tempat itu, meloncat keluar kuil dan di lain saat ia sudah menunggang kudanya yang kurus. Akan tetapi sekali ini, kuda kurus itu memperlihatkan ke­asliannya ketika Suling Emas menarik kendali dan menendang perutnya, karena kuda kurus itu berlari amat cepatnya dan melihat gerakan kakinya jelas bahwa kuda kurus itu adalah seekor kuda pi­lihan!

Biarpun para perwira Khitan itu tiga orang mengeroyok dua orang pengemis tua yang tubuhnya kurus kering malah seorang diantaranya bongkok, namun mereka itu segera mendapat kenyataan bahwa dua orang jembel tua itu benar-­benar amat lihai! Untung bagi orang-­orang Khitan itu bahwa dua orang jembel tua itu agaknya memang hanya ingin mempermainkan mereka. Seperti telah disebutkan tadi, pada masa itu, diantara Kerajaan Sung dan Kerajaan Khitan ter­dapat persahabatan.

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang