Jilid 3

3.2K 49 0
                                    

Enam orang laki-laki sederhana itu mengelilingi api unggun di dalam hutan. Mereka adalah pemburu-pemburu binatang yang tampaknya belum memperoleh hasil dan melewatkan malam gelap di dalam hutan besar membuat api unggun, duduk mengelilinginya sambil bercakap-cakap.

Tiba-tiba mereka berhenti bicara dan tangan mereka meraba senjata masing-masing, yaitu tombak panjang, dan mata mereka menatap ke satu jurusan dari mana mereka tadi mendengar suara men­curigakan. Dua orang segera memadam­kan api unggun. Kemudian mereka me­runduk dan menyelinap di balik pohon, menghampiri tempat itu dengan hati-hati. Siapa tahu malam ini mereka ber­untung mendapatkan binatang buruan yang kemalaman di situ.

Akan tetapi mereka keliru. Suara yang mereka kira ditimbulkan oleh binatang buruan, kiranya dibuat oleh tiga orang muda yang agaknya baru saja datang dan sedang berusaha membuat api unggun. Seorang tampan dan dua orang gadis cantik. Seorang di antara para pemburu, yang berjenggot pendek, pemimpin rombongan pemburu enam orang ini, tertawa dan disusul oleh te­man-temannya.

Bu Sin, Sian Eng, dan Lin Lin ter­kejut, cepat menengok menghadapi enam orang yang muncul dari kegelapan itu, tangan meraba gagang pedang.

"Ha-ha-ha, harap Sam-wi orang-orang muda jangan khawatir. Kami hanya pem­buru-pemburu binatang biasa, bukan pe­rampok," katanya.

"Cu-wi mengagetkan saja, muncul begini tiba-tiba dari tempat gelap," kata Bu Sin setengah menengur.

"Ha-ha, maafkan kami. Kami tadi sedang bercakap-cakap di sana, men­dengar suara Sam-wi (Tuan Bertiga) yang kami kira binatang hutan. Heran sekali, bagaimana orang-orang muda seperti Sam-wi ini berada di hutan liar?"

"Kami adalah pengembara-pengembara yang kemalaman di jalan," jawab Bu Sin singkat. "Maafkan kami kalau kami mengganggu Cu-wi sekalian."

"Ha-ha, tidak mengapa.... tidak mengapa.... hutan ini bukanlah milik kami. Tadinya saya heran melihat Sam-wi yang begini muda berani memasuki hutan liar ini di waktu malam gelap, akan tetapi melihat pedang Sam-wi, keheranan saya hilang. Mari kawan-kawan, kita membuat api unggun di sini saja."

Mereka membuat api unggun besar dan duduk mengelilinginya. "Tan-twako, kaulanjutkan dongengnnu tentang Suling Emas," kata seorang dan suara ini dibenarkan oleh yang lain.

Laki-laki berjenggot pendek itu ber­kata sungguh-sungguh, "Bukan dongeng, melainkan kenyataan. Aku sendiri pernah ditolongnya. Sungguhpun aku masih belum dapat memastikan apakah dia itu manu­sia atau dewa, namun aku sudah amat beruntung mendapat pertolongannya."

"Ceritakan.... ceritakan....!" teman-temannya mendesak.

Bu Sin bertukar pandang dengan dua orang adiknya. Mereka tadinya menaruh curiga terhadap enam orang yang meng­aku pemburu-pemburu ini, akan tetapi mendengar disebutnya nama Suling Emas, mereka tertarik sekali. Agaknya kata-kata suling itulah yang menarik perhati­an. Bukankah musuh besar mereka adalah seorang yang membawa suling? Karena itu mereka bertiga lalu ikut mendengarkan, sungguhpun mereka memilih tempat duduk yang agak jauh, di atas batu-batu besar dan selalu siap waspada menjaga segala kemungkinan.

"Terjadinya di hutan Hek-yang-liu (Cemara Hitam)," pemburu she Tan itu mulai bercerita, "kurang lebih tiga bulan yang lalu. Kalian tahu hutan itu penuh dengan ular besar. Aku memang hendak berburu ular, mendapat pesanan kulit ular dari saudagar kulit, dan jantung ular kembang dari seorang pemilik toko obat di kota Wu-han."

"Kau memang tabah sekali, Tan-twako, berburu ular besar sendirian saja," komentar seorang temannya.

"Aku sudah biasa berburu ular, cukup dengan tombak dan anak panah serta gendewa. Dalam waktu dua hari saja aku sudah dapat memanah mati dua ekor ular sebesar paha. Akan tetapi pada hari ke tiga, ketika aku sedang menjemur kulit dan jantung ular, tiba-tiba muncul empat ekor harimau yang langsung menyerang­ku. Mereka adalah dua ekor harimau tua dan dua ekor masih muda. Aku cepat meraih tombak dan melawan, akan te­tapi bagaimana dapat melawan empat ekor harimau yang menyerang sekaligus? Agaknya mereka berlumba untuk mener­kam aku lebih dulu. Aku dapat menusuk paha seekor harimau, akan tetapi pada saat tombakku masih menancap di paha, harimau jantan yang tua telah menubruk dan menerkam pundak kiriku. Aku me­lepaskan tombak, mencabut pisau, akan tetapi sebelum aku dapat menusuk dada berbulu putih di atas mukaku itu, hari­mau ke dua sudah menggigit pangkal lengan kananku sehingga pisau itu terlepas, seluruh tubuh terasa nyeri dan aku tak berdaya lagi...."

Lima orang pendengarnya menahan napas. "Twako, kukira apa yang dapat kaulakukan hanya berteriak mint atolong," kata seorang. Kata-kata ini kalau diucap­kan pada suasana yang tidak sedang tegang tentu terdengar lucu.

"Hutan itu sunyi, minta tolong apa artinya? Pula, aku sudah nekat dan siap menghadapi kematian sebagai seorang pemburu!" bantah pemburu she Tan de­ngan suara gagah. "Akan tetapi agaknya belum tiba saatnya aku mati. Pada wak­tu itu aku sudah hampir pingsan, pandangan mataku sudah kabur. Tiba-tiba terdengar suara suling yang melingking tinggi. Empat ekor harimau itu agaknya terkejut, aku sendiri merasa seakan-akan kedua telingaku ditusuk jarum dan agaknya aku sudah pingsan. Namun dalam keadaan hampir tak sadar itu aku me­lihat bayangan orang memegang suling yang berkilauan ditimpa sinar matahari. Jelas bahwa suling itu terbuat daripada benda kuning berkilauan, tentu suling emas. Terdengar suara gaduh ketika em­pat ekor harimau itu meraung-raung dan mengaum, lalu tampak harimau-harimau itu bergerak cepat, menerkam ke depan, terjadi perkelahian cepat yang tak dapat diikuti pandangan mata, kemudian aku tidak ingat apa-apa lagi...."

"Lalu bagaimana, Twako?" Lima orang pendengarnya makin tegang. Juga tiga orang muda itu mendengarkan penuh perhatian.

"Entah berapa lama aku pingsan, aku tidak tahu. Ketika aku membuka mata, kulihat bangkai empat ekor harimau menggeletak di sana-sini. Anehnya, pun­dak dan lenganku sudah terbalut oleh robekan bajuku sendiri, rasanya dingin nyaman dan aku tidak merasakan nyeri lagi. Ketika kuperiksa bangkai-bangkai itu, kiranya empat ekor harimau itu pecah kepalanya. Wah, aku pesta besar, tidak saja karena mendapat daging hari­mau yang menguatkan tubuh, juga men­dapatkan empat lembar kulit harimau yang utuh dan indah. Mau aku meng­alami hal itu sekali lagi kalau hadiahnya demikian besar."

"Jadi yang menolong itu adalah Suling Emas, pendekar ajaib yang sering kali kita dengar namanya namun belum pernah menampakkan diri kepada orang lain itu?"

"Agaknya begitulah. Siapa lagi kalau bukan dia yang dapat membunuh empat ekor harimau tanpa merusak kulitnya? Siapa lagi pendekar yang membawa suling emas kalau bukan Si Suling Emas?"

Tanpa mereka sadari, Bu Sin dan dua orang adiknya kini sudah duduk mendekat api unggun. "Twako, siapakah sebenarnya Suling Emas itu? Apakah dia itu seorang pendekar yang suka menolong orang? Ataukah dia seorang penjahat yang suka membunuh orang?" tiba-tiba Bu Sin ber­tanya.

Pemburu she Tan itu tersenyum. "Siapa yang tahu, anak muda? Sepak ter­jang seorang ajaib seperti dia itu tak dapat diketahui orang. Tentang pembunuh, agaknya dia memang suka membunuh. Pernah aku mendengar betapa gerombol­an perampok di muara Sungai Yang-ce sebanyak tiga puluh orang lebih semua terbunuh olehnya."

"Kabarnya dia pernah menggegerkan dunia kang-ouw dengan membunuh dua orang tokoh Siauw-lim-pai. Heran betul, membunuh perampok-perampok itu adalah pekerjaan pendekar akan tetapi dua orang hwesio alim dari Siauw-lim-pai, kenapa dibunuhnya?" kata seorang pemburu yang berhidung besar.

"Juga ketika terjadi geger di kota raja karena hilangnya burung hong mutia­ra milik permaisuri, orang-orang mengabar­kan bahwa Suling Emas yang mencurinya. Ada yang bilang dia itu sudah tua sekali, seorang kakek yang pakaiannya seperti seorang pelajar kuno. Betulkah ini, Tan-twako? Ketika kau ditolongnya, orang macam apa yang kaulihat?"

"Aku hampir pingsan dan gerakannya secepat kilat, hanya bayangannya saja yang kulihat. Tapi ada yang mengabarkan bahwa dia itu masih amat muda, seorang pemuda yang pakaiannya seperti pelajar. Yang sama dalam berita angin itu hanya tentang pakaiannya. Tentu dia seorang pelajar."

"Dan pandai bersuling."

"Suka menolong orang, suka pula membunuh, suka mencuri...."

Macam-macam suara para pemburu ini yang mengemukakan masing-masing, akan tetapi jelas bagi Bu Sin bahwa tak seorang pun di antara mereka tahu akan hal yang sesungguhnya. Diam-diam ia berpikir. Betulkah pembunuh orang tuanya adalah Suling Emas ini? Dan orang yang muncul dengan sulingnya, yang agaknya ditakuti It-gan Kai-ong, apakah dia itu Suling Emas? Pakaiannya memang seperti pakaian pelajar, tapi berwarna hitam. Tentang wajahnya, ia pun tak dapat melihatnya karena orang itu membelakanginya. Tapi jelas pakaian pelajar berwarna hitam dan tubuhnya tinggi besar.

"Sudahlah, apa pun dia, terang bahwa dia adalah seorang sakti yang berkepan­daian tinggi. Tidak baik kita membicara­kannya. Siapa tahu ia mendengarkan percakapan kita. Hiiihhh, meremang bulu tengkukku. Orang sakti seperti dia tidak boleh dibicarakan. Kalau sedang baik, memang menyenangkan sekali, akan tetapi kalau marah...." Pemburu she Tan itu menggigil seperti orang kedinginan, menyorongkan kedua lengannya dekat api. "Betapapun juga, kalau dia marah dan membunuhku, aku tidak akan penasaran karena memang aku berhutang budi dan nyawa kepadanya."

Sebentar kemudian, keenam pemburu itu sudah tidur mendengkur di dekat api. Mereka ini benar-benar sembrono dan tidak pedulian. Masa enam orang di da­lam hutan besar kesemuanya tidur? Tidak menjaga secara bergiliran? Bagaimana kalau api unggun menjilat baju? Mungkin mereka merasa aman karena di situ ada tiga orang muda yang agaknya tidak nampak lelah. Mendongkol hati Bu Sin. Kalau mereka menganggap dia dan adik-adiknya sebagai penjaga keselamatan me­reka, ia tidak sudi. Ia mengajak kedua orang adiknya menjauhi tempat itu dan membuat api unggun sendiri, kira-kira empat ratus meter jauhnya dari tempat para pemburu.

Menjelang tengah malam, keadaan amat sunyi di dalam hutan itu. Bu Sin tak dapat meramkan mata sedikit pun. Pengalaman yang mereka alami semenjak keluar dari dusun, amatlah hebat. Mulai­lah mereka berkenalan dengan kehidupan perantauan, bertemu dengan orang-orang kang-ouw dan malah mereka secara tidak sengaja telah terjun ke dalam permusuhan dengan golongan pengemis kang-ouw yang dikepalai atau dirajai oleh seorang tokoh sakti yang mengerikan bernama It-gan Kai-ong. 

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang