BUKU 9. KISAH SEPASANG RAJAWALI IX (TAMAT)

3.7K 58 2
                                    

  Mendengar ini, barulah terkejut para penjaga. Tadinya mereka juga terheran-heran melihat ada orang berani naik ke benteng seperti itu dan melihat betapa yang berusaha naik itu diserang oleh anak panah musuh juga.

Gak Bun Beng lalu meloncat turun lagi untuk menjemput Sri Baginda dan kini dari atas benteng dihujankan senjata ke arah musuh yang menyerang dari bawah. Hujan anak panah ini membuat serangan dari bawah mereda dan dengan mudah Bun Beng membawa Sri Baginda ke atas tembok yang disambut dengan sorak girang oleh para penjaga.

Milana sudah meloncat turun, disusul oleh Bun Beng yang sudah berhasil me­nyelamatkan Raja Bhutan. Kini Syanti Dewi dipondong oleh Milana, dan dilin­dungi oleh Gak Bun Beng yang membantu Jayin naik pula ke tembok benteng. Berkat perlindungan Bun Beng, semua anak panah dari bawah dapat diruntuhkan dan akhirnya mereka semua berhasil tiba di atas benteng dengan selamat. Sorak sorai gemuruh menyambut kedatangan Raja, puteri dan Panglima Jayin di atas benteng dan bangkitlah semangat semua perajurit Bhutan, apalagi setelah menyak­sikan kelihaian Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Malam itu juga Sri Baginda lalu meng­ajak dua orang tamu agungnya itu be­runding, dan pimpinan bala tentara dise­rahkan kepada Puteri Milana yang me­mang ahli dalam soal perang. Panglima Jayin menjadi pembantunya dan Milana lalu mengatur bagaimana penjagaan ha­rus dilakukan menghadapi pengepungan pihak musuh. Dia juga minta kepada Panglima Jayin agar melepas mata-mata dan penyelidik untuk mengetahui keadaan musuh, di bagian mana adanya pengepung­an yang paling kuat dan di mana pula yang paling lemah, berapa banyak adanya kekuatan musuh dibandingkan dengan ke­kuatan sendiri.

Kerajaan Bhutan adalah sebuah ke­rajaan yang beragama Buddha, maka ba­nyak pendeta Buddha yang bertugas di istana. Mereka ini oleh Milana dimanfaat­kan untuk menghibur para penduduk kota raja, dan juga semua laki-laki yang ber­ada di kota raja diharuskan ikut pula menjadi tentara suka rela, sedangkan yang wanita diharuskan mengatur agar ransum yang terdapat di kota raja dapat dihemat pemakaiannya. Pendeknya, segala persiapan untuk menghadapi musuh yang telah mengurung benteng kota raja di­persiapkan dengan teliti oleh Puteri Mi­lana dan diatur malam hari itu juga.

Ternyata berita bahwa Raja Bhutan dan puterinya secara luar biasa malam tadi dapat menyelundup ke dalam kota raja, terdengar pula oleh Tambolon yang kehilangan seorang pembantu cakap yang semalam tewas ketika berusaha meng­halangi Bun Beng dan raja liar ini men­jadi marah bukan main. Dia sendiri lalu memimpin pasukan-pasukannya, mendekati pintu gerbang utama dan berteriak-teriak menantang perang kalau Raja Bhutan tidak mau menyerahkan puterinya. Tentu saja Sang Puteri itu hanya untuk menjadi alasan saja, sedangkan tentu saja Tam­bolon sebetulnya ingin menguasai Bhutan!

Dari atas menara benteng, Puteri Milana dan Gak Bun Beng, juga Panglima Jayin dan para panglima lain, meman­dang ke bawah. Mereka melihat bahwa Tambolon masih disertai dua orang pem­bantunya yang setia, yaitu Si Petani Maut Liauw Ki, dan Si Siucai Maut Yu Ci Pok, di samping ada pula di situ Hek-tiauw Lo-mo. Dan biarpun tidak nampak, Milana dan Gak Bun Bung dapat menduga bahwa tentu guru dari Tambolon, Nenek Durganini yang akhir-akhir ini selalu muncul membantu muridnya, ada pula di antara barisan musuh itu.

Karena pihak musuh menantang untuk mengadakan perang terbuka di luar tem­bok kota raja, tentu saja pihak Kerajaan Bhutan tidak dapat menolak, maka Gak Bun Beng sendiri bersama Panglima Jayin dan beberapa orang panglima memimpin pasukan keluar dari pintu gerbang untuk menyambut musuh. Puteri Milana yang memimpin pertahanan itu tetap berada di menara benteng untuk melihat keadaan dan mengatur kendali gerakan barisan Bhutan dari tempat tinggi itu.

Beberapa orang Panglima Kerajaan Bhutan maju berkuda, disambut oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Dalam puluhan jurus saja para Panglima Bhutan ini ro­boh dari kuda mereka. Panglima Jayin dengan marah, setelah mendapat perke­nan Gak Bun Beng, maju sendiri. Dia menangkan beberapa orang panglima musuh, akan tetapi ketika berhadapan dengan Lauw Ki Si Petani Maut, baru bertempur dua puluh jurus saja pundak­nya sudah terpukul pikulan dan kalau dia tidak cepat mengundurkan diri tentu akan tewas pula!

Bun Beng menjadi penasaran dan ma­rah. Majulah pendekar ini dan segera dia dikeroyok dua oleh Liauw Ki dan Yu Ci Pok. Akan tetapi, dengan mudah saja Bun Beng mempermainkan mereka. Bah­kan ketika Hek-tiauw Lo-mo yang kini tahu-tahu sudah bergabung dan membantu Tambolon itu maju pula mengeroyok, tetap saja Gak Bun Beng mengamuk he­bat dan membuat Hek-tiauw Lo-mo sen­diri terdesak hebat. Ketua Pulau Neraka itu terkejut bukan main. Apalagi ketika beberapa kali dia mengadu tenaga, dia memperoleh kenyataan betapa pendekar ini memiliki tenaga Hui-yang Sin-kang, Swat-im Sin-kang dan juga tenaga mujijat Inti Bumi!

"Kau siapakah?" bentaknya berulang-ulang. Sudah banyak dia bertemu lawan lihai, akan tetapi baru sekarang dia me­lihat seorang yang memiliki ilmu-ilmu dari Pulau Es dan Pulau Neraka sedemi­kian sempurnanya, seolah-olah Pendekar Super Sakti sendiri!

"Hemm, Hek-tiauw Lo-mo. Engkau merendahkan nama Pulau Neraka dengan menjadi antek dari Tambolon si pembe­rontak!" Gak Bun Beng berseru sambil menangkap sambaran pikulan yang dipu­kulkan oleh Liauw Ki, kemudian sekali dia mengerahkan tenaga, terdengar suara "krakkk!" dan pikulan itu pun patah-patah. Tentu saja Liauw Kui menjadi pucat dan meloncat mundur. "Namaku adalah Gak Bun Beng."

Hek-tiauw Lo-mo terkejut. Pernah dia mendengar nama ini. "Apamukah Pende­kar Super Sakti dari Pulau Es?"

"Beliau boleh dibilang adalah guruku!" Bun Beng memutar tubuh dan dorongan telapak tangannya membuat Yu Ci Pok terpental dan terhuyung-huyung.

Pada saat itu, Milana yang melihat Bun Beng dikeroyok dan melihat betapa sudah tiba saatnya memberi perintah me­nyerbu, mengisyaratkan kepada peniup terompet tanduk binatang. Terdengarlah perintah penyerbuan ini dan dipimpin oleh Jayin yang terluka pundaknya, me­nyerbulah bala tentara Bhutan dan terjadilah perang campuh yang hebat.

Gak Bun Beng kini bertanding dengan hebat melawan Hek-tiauw Lo-mo. Tidak ada orang dari kedua pihak yang berani mendekati dua orang ini, karena sambar­an hawa pukulan dari tangan mereka sedemikian hebatnya sehingga dalam jarak dua meter saja orang yang terkena hawa pukulan bisa roboh dan tewas.

Hek-tiauw Lo-mo mainkan sebatang tombak tulang ikan yang ampuh, akan tetapi dengan tenang Gak Bun Beng yang masih bertangan kosong itu menghadapi­nya. Tombak tulang ikan itu ditangkisnya begitu saja dengan kedua tangannya dan dalam pertandingan mati-matian selama lima puluh jurus lebih, akhirnya Bun Beng berhasil memukul tombak itu se­hingga patah menjadi empat potong!

"Keparat!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah dan dia mencabut senjatanya yang lebih mengerikan lagi, yaitu sebatang golok gergaji yang amat tebal dan berat. Dengan penasaran dia menyerang mati-matian, namun Gak Bun Beng dapat menghindarkan diri dengan gesit dan tubuhnya berkelebatan di antara gulungan sinar golok.

"Mampuslah!" Tiba-tiba Hek-tiauw Lo­mo berseru, tangan kirinya terbuka dan segumpal uap tipis menyambar. Bun Beng terkejut karena tahu-tahu dirinya telah tertutup oleh sehelai jala tipis sekali yang ternyata amat kuat karena betapa pun dia meronta, dia tidak mampu membebaskan diri dari jala tipis itu.

"Ha-ha-ha, baru kau tahu kelihaian Hek-tiauw Lo-mo!" Ketua Pulau Neraka itu tertawa, goloknya bergerak menyam­bar.

"Haiiit....!" Gak Bun Beng mengeluar­kan pekik dahsyat, tubuhnya bergulingan dan Hek-tiauw Lo-mo tidak kuat mem­pertahankan tali jalanya yang ikut ter­bawa bergulingan. Kembali Gak Bun Beng mengeluarkan lengking panjang, terdengar suara keras dan.... jala itu putus-putus semua dan si pendekar sakti meloncat keluar dari dalam jala.

Hek-tiauw Lo-mo terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang mampu membebaskan diri dari jalanya. Dia tidak tahu bahwa Gak Bun Beng sudah memiliki tingkat yang amat tinggi dalam pengerahan tenaga sakti. Tadi pendekar ini mengerahkan seluruh tenaganya dengan tenaga Hui-yang Sin-kang (Tenaga Inti Api) yang amat panas dan ternyata jala itu kalah oleh hawa panas yang mujijat ini sehingga dapat dibikin putus.

Dengan marah Gak Bun Beng me­loncat dan menerjang, kedua tangannya bergerak dengan pukulan yang didasari dua tenaga yang berlawanan, yaitu tenaga Swat-im Sin-kang dan Hui-yang Sin-kang.

"Trakkk....!" Golok gergaji itu pun patah terpukul telapak tangan kanan Bun Beng dan pada saat itu, tangan kiri Hek-tiauw Lo-mo melakukan pukulan dengan ilmu keji Hek-coa-tok-ciang (Tangan Beracun Ular Hitam). Inilah kesalahan Hek-tiauw Lo-mo. Kalau dia mempergu­nakan ilmu keji ini terhadap lawan lain, biasanya dia berhasil baik, dan bahkan Ceng Ceng pernah menderita hebat oleh pukulan keji ini. Akan tetapi dia berha­dapan dengan Gak Bun Beng, seorang pendekar sakti yang selain telah memiliki kepandaian yang amat tinggi tingkatnya, juga memiliki pengalaman yang luas, ma­ka Bun Beng cepat menerima pukulan itu dengan telapak tangan sambil mengerah­kan Swat-im Sin-kang.

Ilmu pukulan berdasarkan tenaga Im yang amat dingin ini selain kuat juga amat baik untuk menghadapi pukulan-pukulan lawan yang beracun, karena ha­wa beracun membeku begitu bertemu de­ngan Tenaga Inti Salju ini.

"Desss....!" Hek-tiauw Lo-mo memekik dan tubuhnya terlempar dan bergulingan sampai beberapa tombak jauhnya. Pada saat itu, Tambolon menerjang maju de­ngan pedangnya disertai dua orang pem­bantunya.

Akan tetapi tiba-tiba terdengar tiupan terompet dari atas menara, tanda bahwa pasukan Bhutan harus mundur dan masuk kembali ke dalam benteng. Mendengar ini, Gak Bun Beng terkejut dan cepat dia pun mengatur pasukan itu bersama Jayin untuk mundur, meninggalkan pasukan mu­suh yang mengejar sambil bersorak-sorak. Akhirnya semua pasukan dapat ditarik ke dalam benteng dan pintu gerbang segera ditutup rapat dan penjagaan dilakukan ketat, anak panah dan batu-batu dihujan­kan keluar sehingga pihak musuh yang mengejar terpaksa mundur kembali.

Bun Beng segera menemui Puteri Milana. Puteri ini merasa agak gelisah karena ternyata bahwa pihak lawan amat kuat. Tadi dia menarik pasukan karena selagi pasukan induk berperang di luar, di empat penjuru benteng pihak musuh berusaha menyerbu. Maka terpaksa dia menarik pasukan dan memperkuat penja­gaan sehingga usaha penyerbuan dari empat penjuru dapat digagalkan dengan menghujankan anak panah dan batu-batu. Ketika dicacahkan, dalam perang tadi ada seperempat bagian pasukan yang te­was atau tertawan musuh. Biarpun pihak musuh juga banyak kehilangan pasukan, akan tetapi tetap saja jumlah mereka masih amat banyak, dan Tambolon tentu masih dapat mendatangkan bala bantuan dari luar, sedangkan pihak Bhutan sudah terkurung dan tidak dapat mengharapkan bantuan dari mana pun karena Kerajaan Ceng di timur terlalu jauh letaknya, se­dangkan negara-negara tetangga tidak ada yang mau mencampuri urusan itu. Sayang bahwa Kerajaln Bhutan tidak pernah berhubungan terlalu baik dengan Tibet, kalau tidak, tentu Tibet dapat membantu mereka.

"Besok harus ada penentuan," Puteri Milana berkata ketika mereka berunding. "Kalau dibiarkan musuh mengepung lebih lama, tentu mereka akan dapat memperkuat keadaan, mendatangkan bala bantu­an dan hal itu akan berbahaya sekali. Yang penting, Tambolon harus dapat di­tewaskan. Dialah yang menjadi biang keladi. Kalau tidak ada orang yang mem­punyai wibawa dan pengaruh besar di antara suku-suku bangsa petualang itu, pasti persatuan mereka akan membuyar."

"Akan tetapi, kekuatan pasukan kita kalah banyak, Gak Bun Beng berkata.

"Karena itu, besok kita harus menge­rahkan semua tenaga dan besok kita memberi isyarat kepada Panglima Sangita dan Tek Hoat agar mereka menyergap dan memecah kekuatan dan perhatian musuh."

"Bagaimana dengan siasat kita semula yang telah kita bicarakan dengan Tek Hoat?" Bun Beng mengingatkan kepada kekasihnya dan juga sumoinya itu.

Milana tersenyum. "Malam nanti, menjelang pagi, siasat itu boleh dilaksanakan. Dan pagi-pagi sekali, selagi mereka kacau-balau, kita menyerbu. Mudah-mudahan saja sergapan selagi mereka kacau itu akan mampu menghancurkan jumlah mereka yang lebih besar."

Malam itu sunyi. Pihak musuh me­mang beberapa kali mencoba untuk me­nerobos melalui berbagai jurusan, namun karena penjagaan dilakukan ketat sekali, semua usaha mereka gagal dan banyak di antara mereka yang menjadi korban anak panah dan batu-batu yang disambitkan dari atas. Mereka berusaha melepas anak panah berapi ke dalam kota raja melalui tembok benteng, akan tetapi tembok itu terlalu tinggi dan usaha membakar kota raja itu dapat digagalkan oleh regu-regu pemadam kebakaran yang memang sudah dipersiapkan oleh pihak Bhutan sebelum­nya.

Malam itu, para pimpinan di Bhutan tidak ada yang tidur, hanya meng­aso sambil duduk di tempat masing-masing. Lewat tengah malam, menjelang pagi, Puteri Milana dan Gak Bun Beng keluar dari kamar dan dua orang sakti ini lalu mementang gendewa. Terdengar tali gendewa menjepret dan tampaklah beberapa kali sinar kemerahan meluncur di angkasa seperti bintang-bintang pindah tempat. Itulah isyarat yang mereka berikan kepada Tek Hoat dan pasukannya untuk mulai dengan siasat mereka, untuk turun tangan.

Sesudah itu mereka menanti. Tidak lama kemudian, menjelang pagi, mulailah terdengar keributan di bawah sana, di luar tempok kota raja dan mulailah nampak api besar bernyala-nyala dan asap di dalam sinar api merah membubung ke angkasa. Makin lama makin banyaklah api yang mengamuk, kemudian terdengar teriakan-teriakan dan suara perang di antara api dan di waktu menjelang pagi itu. Pasukan pengawal istimewa yang di­pimpin oleh Tek Hoat dan Sangita telah mulai bergerak!

Puterl Milana tersenyum memandang keluar. "Pemuda itu memang hebat," bisiknya lirih akan tetapi cukup terde­ngar oleh Bun Beng.

"Tidak mengecewakan menjadi cucu tiri Suhu...." kata pula Bun Beng dan mereka bersiap-siap bersama para pengli­ma untuk menyerbu ke luar bersama pasukan mereka begitu saatnya tiba.

***

Kita tinggalkan dahulu kota raja Bhu­tan yang dikepung musuh, yaitu pasukan yang terdiri dari suku-suku bangsa No­mad yang dapat dibujuk oleh Tambolon sehingga terkumpul menjadi barisan yang amat besar jumlahnya dan yang meng­ancam keselamatan Kerajaan Bhutan, dan mari kita mengikuti perjalanan Ceng Ceng yang mengalami pukulan batin di Pegunungan Yin-san itu.

Setelah terbukanya topeng yang me­nutupi muka Topeng Setan, yang telah tidak bernyawa dan sekaligus membuka rahasia pendekar itu bahwa Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadanya yang telah berkorban untuknya, yang dipercaya dan disayangnya itu bukan lain adalah Kok Cu pemuda laknat yang mem­perkosanya, yang dibencinya dan yang hendak dibunuhnya, maka seketika lenyap­lah segala arti kehidupan bagi Ceng Ceng. Musuh besar yang paling dibencinya itu ternyata juga merupakan peno­long yang paling disayangnya, dan kini telah mati! Baru terasa olehnya betapa selama ini dia hidup berdasarkan hati benci dan sayang. Dan begitu orang yang dibenci dan disayangnya mati, mati pula dasar hidupnya. Ceng Ceng menjadi se­orang yang seolah-olah tidak bersemangat lagi, seperti boneka hidup!

Keinginannya hanya satu, kalau boleh dinamakan keinginan, yaitu kembali ke tempat asalnya, di mana dia dibesarkan dan untuk.... mati di tempat itu, di pegunungan luar kota raja Bhutan, bekas tempat tinggal kakeknya.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, perjalanannya ini disertai oleh Kim Hwee Li, gadis cilik yang nekat minta menjadi muridnya dan ditemani pula oleh Pendekar Siluman atau Pende­kar Super Sakti, Suma Han Majikan Pu­lau Es. Sungguh merupakan kelompok yang aneh sekali! Seorang pendekar besar yang namanya mengguncangkan dunia persilatan, yang namanya saja sudah cukup membuat orang-orang jahat men­jadi gentar dan tokoh-tokoh kang-ouw menjadi kagum, kini melakukan perjalan­an bersama seorang gadis yang sudah lenyap gairah hidupnya, dan seorang anak perempuan yang lincah, bengal, puteri dari seorang datuk sesat yang amat ke­jam, yaitu Ketua Pulau Neraka, Hek-tiauw Lo-mo.

Karena ditemani oleh Pendekar Super Sakti, perjalanan ke barat daya itu ber­jalan lancar dan tidak ada yang berani mengganggu mereka. Kadang-kadang, kalau melalui daerah berbahaya, Suma Han menggandeng tangan kedua orang gadis itu dan membawa mereka berjalan seperti terbang berloncatan melewati jurang-jurang dalam dan lebar sehingga diam-diam Ceng Ceng yang seperti bone­ka hidup itu menjadi kagum bukan main, sedangkan Hwee Li bersorak-sorak girang kalau mendapatkan dirinya dapat pula "terbang" tanpa duduk di atas punggung rajawalinya.

Perjalanan itu lancar dan cepat. Dan pada suatu hari tibalah mereka di suatu daerah padang rumput yang sudah dekat dengan kota raja Bhutan, karena daerah ini sebetulnya sudah termasuk wilayah Bhutan, dekat dengan perbatasan di ti­mur. Dan pada sore harinya, di tepi daerah padang rumput ini, tibalah mere­ka di sebuah perkampungan suku bangsa Nomad yang mengembala ternak. Mereka ini adalah peternak-peternak Nomad yang selalu berpindah tempat dan selalu hidup di dekat padang-padang rumput di mana mereka dapat membiarkan ternak kam­bing mereka makan sekenyangnya.

Untung bagi Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu bahwa yang berada di perkampungan peternak itu adalah suku bangsa yang tidak liar dan yang suka hidup damai. Maka mereka bertiga diterima oleh mereka sebagai tamu-tamu dan dipersilakan duduk ikut makan minum bersama mereka.

Ternyata malam itu suku bangsa pe­ternak Nomad ini sedang mengadakan keramaian untuk merayakan pahlawan-pahlawan mereka yang menang perang. Tentu saja Pendekar Super Sakti tidak tahu bahwa kepala suku bangsa ini ber­sama puluhan anak buahnya, terbujuk pula oleh Tambolon dan ikut mengga­bungkan diri untuk memerangi Bhutan! Dan malam hari itu, suku bangsa ini merayakan kemenangan para pahlawan mereka yang kabarnya telah mengepung kota raja Bhutan dan yang dianggapnya sebagai suatu kemenangan gemilang.

Sukarnya, di antara suku bangsa ini, hanya ada beberapa orang saja yang dapat berbahasa Han, itu pun tidak leng­kap sehingga sukar sekali bagi Suma Han dan dua orang gadis itu untuk bicara dengan mereka. Dengan bahasa tangan yang serba tidak lengkap, tiga orang tamu ini hanya dapat menangkap bahwa suku bangsa itu sedang merayakan pesta "menang perang", akan tetapi tidak jelas perang dengan siapa dan di mana! Akan tetapi, Suma Han yang tidak mau men­campuri urusan mereka dan merasa sudah untung diterima sebagai tamu, tidak ingin menyelidiki lebih lanjut dan ikut pula berpesta makan minum sekenyang­nya.

Hwee Li yang bengal itu tidak mau tinggal diam. Setelah kenyang makan minum, melihat kegembiraan suku bangsa itu, dia meninggalkan dua orang teman seperjalanannya untuk menonton keramai­an. Bermacam-macam pertunjukan diada­kan. Ada pertunjukan adu gulat, ada pula adu domba, tari-tarian, nyanyian dan lain-lain. Akan tetapi yang paling menarik hati Hwee Li adalah pertunjukan yang dilakukan oleh seorang yang agak­nya berasal dari India, memakai sorban kuning dan orang ini meniup sebatang suling mengiringi gerakan seekor ular cobra yang meliak-liukkan tubuhnya se­perti seorang penari yang genit. Para penonton merasa ngeri karena maklum akan bahayanya gigitan ular cobra yang amat beracun ini maka mereka menonton agak menjauh dan tempat pertunjukan ini pun berada di sudut perkampungan, dekat pintu pagar yang mengitari perkampungan itu.

Tentu saja Kim Hwee Li tertarik sekali karena gadis cilik ini memang sejak kecil biasa bermain-main dengan segala macam ular, dari yang kecil sam­pai yang paling besar, dari yang jinak sampai yang paling buas dan beracun. Yang membuat dia terheran dan geli hatinya adalah suara suling yang ditiup oleh orang bersorban itu. Suara suling itu melengking tidak pernah ada putusnya, seolah-olah orang itu tidak pernah mena­rik napas, dan lucunya, lenggak-lenggok ular itu tepat dengan irama suling seolah-olah ular itu mengerti pula akan lagu yang ditiup melalui suling.

Karena amat tertarik, tanpa disadari­nya, Hwee Li melangkah dekat, bahkan memasuki lingkaran penonton yang ber­jongkok agak jauh. Beberapa orang ber­seru dalam bahasa yang tidak dimengerti oleh Hwee Li, akan tetapi jelas bahwa nadanya melarang gadis itu mendekat. Mereka itu kelihatan khawatir, akan te­tapi Hwee Li menoleh kepada mereka, tersenyum dan mengangkat tangan mem­beri isyarat agar mereka tidak meng­khawatirkan dia. Lalu dia pun berjongkok di dekat orang bersorban sambil mengawasi gerak-gerik ular itu.

Orang India bersorban itu mengguna­kan tangan kirinya untuk memberi isyarat mengusir Hwee Li sedangkan tangan ka­nannya tetap memegang dan mempermainkan lubang-lubang suling yang ditiupnya. Akan tetapi Hwee Li yang sudah tertarik sekali dan timbul rasa gembiranya ber­temu "kawan lama", yaitu seekor ular berbisa seperti cobra itu, sama sekali tidak mempedulikan orang India itu. Bah­kan kini Hwee Li menggerak-gerakkan kedua lengannya yang kecil panjang, di­gerak-gerakkan dengan amat lemasnya seperti dua ekor ular menari-nari! Tangan­nya dibentuk seperti kepala ular dan le­ngannya seperti badan ular, melenggak-lenggok dan meliuk-liuk amat lemasnya.

Para penonton yang mula-mula merasa khawatir, kini menjadi geli dan tertarik, bahkan ada yang memuji karena memang indah sekali gerakan kedua le­ngan tangan Hwee Li, seolah-olah gadis cilik itu seorang penari ular yang amat pandai. Akan tetapi seruan-seruan pujian menjadi seruan-seruan keheranan bercam­pur kekhawatiran ketika mendadak ular cobra itu kini meninggalkan keranjang, meninggalkan orang India dan mengham­piri Hwee Li sambil menari-nari, mata­nya mencorong dan mulutnya mendesis-desis, lehernya mekar makin lebar.

Orang bersorban itu terbelalak, mata­nya melotot saking heran dan penasaran melihat betapa ularnya, ular yang dipeli­haranya bertahun-tahun dan selalu taat kepada sulingnya itu sekarang mendadak saja meninggalkan dia dan suara suling­nya tidak lagi mempengaruhinya. Dia menjadi penasaran, sulingnya ditiup ma­kin kuat sehingga lehernya menggembung besar seperti leher cobra itu, matanya melotot karena dia menahan napas ter­lalu lama.

Benar saja, ular itu terkejut dan me­nengok, lalu bergerak kembali ke tukang suling.

"Trak-trak.... cek-cek-cek....!" Tiba-tiba Hwee Li membunyikan jari-jari ta­ngannya dengan jalan menjentrekkan jari tengah dan ibu jarinya, disusul suara lidah dan bibirnya dan suara itu membuat si ular cobra kembali menengok ke­padanya. Terjadilah "adu kekuatan" antara suara suling dan suara jari tangan dan mulut Hwee Li, saling menarik ular itu yang kelihatan ragu-ragu. Akan tetapi akhirnya ular itu bergerak ke arah Hwee Li, lalu lehernya ditangkap tangan Hwee Li dan ular itu dengan sikap manja lalu melingkarkan tubuhnya pada tangan gadis cantik itu, lidahnya menjilat-jilat dan nampaknya jinak bukan main!

Orang bersorban itu bukan orang bo­doh. Dia tahu bahwa gadis cilik ini bu­kan orang sembarangan, melainkan se­orang "pawang ular" yang hebat, maka dia menghentikan tiupan sulingnya, bang­kit berdiri dan menjura ke arah Hwee Li sebagai penghormatan, kemudian menyo­dorkan keranjang ular, agaknya minta agar Hwee Li mengembalikan ular itu kepadanya. Para penonton juga menjadi kagum, ada yang bertepuk tangan dan tempat itu menjadi berisik sekali karena semua oreng membicarakan kelihaian gadis cilik ini dan menduga-duga siapa adanya pawang ular cilik yang hebat ini.

Akan tetapi Hwee Li memandang ke­pada orang bersorban itu dengan sinar mata tidak senang dan menghina, apalagi ketika melihat banyak di antara penon­ton memberi mata uang dan barang-ba­rang hadiah lain kepada Si Pemilik Ular itu. Dia membiarkan ular cobra itu me­lingkar di lengan dan lehernya, kemudian dia berkata, "Kau orang yang kejam dan tak tahu malu, menggunakan ular untuk mencari uang! Kau menyiksa ular ini de­ngan sulingmu, memaksanya menari-nari agar kau mendapatkan uang. Huh, tak tahu malu!"

Setelah berkata demikian, Hwee Li lalu meninggalkannya sambil membawa pergi ular cobra itu. Tentu saja orang bersorban menjadi marah. Dia sudah per­nah merantau ke timur dan sedikit-sedikit dia dapat juga berbahasa Han.

"Nona, tunggu....! Kaukembalikan ular­ku!" katanya marah.

Hwee Li berhenti melangkah dan membalikkan tubuhnya. "Apa? Siapa bi­lang ini ularmu? Dia tentu ular yang be­bas dan kau tangkap lalu kau paksa men­carikan uang untukmu!"

"Kembalikan!" Orang India itu mem­bentak.

"Tidak!" Hwee Li juga membentak dan kini dia lalu melepaskan ular itu dan menggebahnya dengan suara tertentu. Ular itu terkejut dan menghilang di da­lam semak-semak yang tebal.

"Kurang ajar!" Orang bersorban itu marah sekali, lalu dia mengeluarkan seekor ular dari dalam saku bajunya. Ular ini kecil saja, sebesar kelingking dan panjangnya hanya satu jengkal, kulitnya belang-belang merah hitam. Dengan ular ini di tangan, jari-jari tangannya yang coklat panjang menjepit leher ular, orang bersorban itu menyerang Hwee Li! Gadis cilik ini tersenyum mengejek, membiar­kan ular itu menggigit lengannya, kemu­dian dengan gerakan cepat dia menotok pergelangan tangan orang India itu. Dia adalah puteri Hek-tiauw Lo-mo, tentu saja lihai sekali dan totokannya membuat tangan orang India itu menjadi lumpuh, jepitan jarinya pada leher ular terlepas dan ular kecil itu membalik dan meng­gigit ibu jari tangannya.

Orang India itu menjerit, membuang ularnya dan dia berjingkrak-jingkrak sam­bil memegangi ibu jari tangannya yang tergigit ular beracun itu. Adapun Hwee Li dengan tenang saja mengobati luka di lengannya. Dia sudah kebal terhadap gigitan ular yang bagaimana beracun pun, karena di Pulau Neraka adalah pusat segala macam ular beracun maka dia pun hanya mengobati lukanya saja, bukan memunahkan racunnya yang tidak akan mengganggunya sedikitpun juga. Akan te­tapi, orang India itu ketakutan setengah mati karena dia maklum bahwa gigitan ular kecil itu amat berbahaya dan dia tidak tahu bagaimana caranya mengobati­nya.

Para penonton menjadi ikut sibuk ka­rena terjadinya hal yang tidak mereka sangka itu. Karena tidak mengerti bahasa­nya, maka para penonton yang tadi me­lihat orang India itu lebih dulu menye­rang, tidak ada yang menyalahkan si gadis cilik, apalagi melihat gadis cilik itu pun terkena gigitan ular kecil. Hanya yang membuat mereka terheran-heran, kalau gadis cilik itu tenang-tenang saja, mengapa orang India ini menjadi begitu ketakutan dan kini berjingkrakan sambil menangis?

Tiba-tiba di antara penonton muncul seorang gadis remaja yang menerobos masuk. Dia amat cantik jelita, sukar di­katakan siapa yang lebih cantik antara dia dan Hwee Li, karena keduanya memiliki kecantikan khas masing-masing, hanya gadis ini lebih dewasa daripada Hwee Li. Gadis ini dengan alis berkerut memandang kepada Hwee Li, kemudian menghampiri orang India itu, mengeluar­kan sebungkus obat dan dengan cekatan dia menggunakan sebuah pisau kecil me­robek ibu jari itu, mengeluarkan darah­nya dan membubuhkan obat ke ibu jari itu, kemudian membalutnya dengan ro­bekan baju orang India itu sendiri. Dan orang India itu berhenti menangis, agak­nya luka beracun itu seketika menjadi sembuh. Orang India itu lalu menjura de­ngan dalam sampai tubuhnya hampir ter­lipat menjadi dua kepada nona yang tan­pa banyak bicara telah mengobatinya itu.

Kini, nona itu berdiri menghadapi Hwee Li, sambil bertolak pinggang, si­kapnya galak bukan main seperti seorang guru memarahi muridnya! "Kau sungguh bocah yang kejam dan perlu dihajar!" Nona itu menudingkan telunjuknya ke arah hidung Hwee Li. "Masih sekecil ini sudah main-main dengan ular berbisa dan melukai orang! Kalau sudah besar kelak tentu akan menjadi iblis betina!"

Hwee Li tentu saja tidak takut. Dia meruncingkan bibirnya. Lincah dan manis sekali, akan tetapi juga membayangkan kebengalannya. "Phuih, sombongnya! Baru bisa menyembuhkan gigitan ular begitu saja lagaknya sombong seolah-olah telah menjadi Kwan Im Pouwsat! Padahal kau ini tentu hanya Nona penjual obat yang biasa berteriak-teriak di pasar-pasar. Apa sih anehnya?"

Nona muda itu bukan lain adalah Teng Siang In. Sebagai anak dari men­diang Yok-sian Si Dewa Obat, tentu saja dia adalah seorang yang ahli dalam hal pengobatan. Setelah menjadi murid See-thian Hoat-su, di sepanjang perjalanan kalau melihat tumbuh-tumbuhan yang mengandung obat mujarab, dia tidak dapat menahan diri untuk tidak meng­ambilnya dan dia lalu mengumpulkan bahan-bahan obat yang penting-penting di antaranya obat penawar luka-luka ber­bisa. Maka dengan mudah dia mampu mengobati orang India itu.

Seperti kita ketahui, Siang In juga memiliki watak lincah jenaka dan galak, maka kini berhadapan dengan Hwee Li yang bengal, diejek sebagap penjual obat di pasar, Siang In menjadi marah sekali. Biarpun dia belum sempat digembleng oleh See-thian Hoat-su, namun dia per­nah belajar ilmu silat bersama kakaknya, maka kini dia cepat menyerang Hwee Li.

Akan tetapi, biarpun dia lebih muda, Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka itu jauh lebih lihai. Dengan gesit dia meng­elak dan balas menyerang. Terjadilah perkelahian di antara dua orang gadis cilik yang sama-sama cantik jelita ini, dan kejadian ini amat menarik hati dan menggembirakan hati para suku bangsa liar yang memang menganggap perkelahi­an sebagai tontonan yang mengasyikan, apalagi kalau dilakukan oleh dua orang gadis yang demikian cantiknya.

Setelah saling serang selama belasan jurus, Siang In mulai terdesak dan sudah beberapa kali dia menerima tamparan tangan Hwee Li. Dia menjadi marah sekali dan mulailah Siang In yang galak itu memaki-maki. Tak lama kemudian, berkelebat bayangan yang gesit dan tahu-tahu Ceng Ceng sudah tiba di tem­pat perkelahian itu. Semua orang makin kagum dan gembira melihat datangnya seorang gadis dewasa yang amat cantik dan gagah perkasa, yang dengan mudah melerai dua orang gadis muda yang se­dang berkelahi mati-matian itu, hanya dengan menengahi dan menangkis pukulan-pukulan mereka.

"Berhenti, jangan berkelahi!" Gadis yang bukan lain adalah Ceng Ceng itu berseru. "Hwee Li, mundur kau!"

"Subo, dia kurang ajar!" Hwee Li ber­kata. "Mentang-mentang dia menjadi tukang obat di pasar, dia sombong dan dia yang lebih dulu menyerangku."

"Bocah setan!" Siang In yang bebe­rapa kali kena ditampar Hwee Li masih marah-marah sekali. "Muridnya setan gurunya tentu iblis!" Dia kini malah me­maki Ceng Ceng untuk melampiaskan ke­mendongkolan hatinya karena dia tadi ditampari dan belum sempat membalas sudah dipisahkan.

"Hemm, apakah kau tukang obat yang pandai?" Ceng Ceng menghampiri sambil mengerutkan alisnya, tidak senang men­dengar maki-makian gadis cantik itu.

Pertanyaan yang sewajarnya ini oleh Siang In dianggap penghinaan pula, maka dia lalu menjawab, "Aku tukang obat atau bukan, setidaknya lebih bersih daripada kalian guru dan murid iblis peng­ganggu orang!" Dan Siang In langsung lalu menerjang dan memukul Ceng Ceng.

Ceng Ceng adalah seorang wanita yang berwatak keras, dan pada saat itu dia sedang dilanda kedukaan hebat. Maka melihat sikap Siang In dia sudah menjadi marah sekali.

"Bocah lancang dan sombong! Coba kauobati ini kalau bisa!" Ceng Ceng menggerakkan tangan kirinya.

"Plakkk....! Oughhh....!" Siang In terpe­lanting dan roboh, pundaknya kena dipukul oleh Ceng Ceng. Biarpun tubuh Ceng Ceng sudah bersih dari hawa beracun berkat anak naga, akan tetapi gadis ini tentu saja masih menguasai pukulan beracunnya dan Siang In tentu saja tidak kuat menahan pukulan beracun ini dan dia roboh.

"Eh, Siang In, kau kenapa....?" Tiba-tiba seorang kakek tua renta memasuki tempat itu dan para penonton menjadi makin tegang. Kakek itu memeriksa pun­dak Siang In dan dia mengerutkan alis­nya, lalu bangkit menghadapi Ceng Ceng.

"Hemmm.... agaknya aku pernah ber­temu dengan engkau, Nona yang berta­ngan kejam. Sungguh kejam kau menja­tuhkan pukulan beracun kepada muridku. Hayo kau keluarkan obat penawarnya, jangan sampai aku orang tua menjadi hi­lang sabar kepadamu," kata kakek itu yang bukan lain adalah See-thian Hoat-su.

"Subo, dia ini tentu pembual yang suka menjual obat di pasar-pasar, inilah macamnya tabib palsu yang beroperasi di pasar-pasar. Jangan layani dia!" Hwee Li mengejek.

Ceng Ceng memandang kakek itu. "Muridmu yang lancang, mencampuri urusan muridku dan lebih dulu menyerang muridku, mengandalkan kepandaian meng­obati. Sekarang biarlah dia atau engkau mengobati luka bekas tanganku itu. Hwee Li, mari kita pergi!"

Akan tetapi baru saja Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, terde­ngar kakek itu berseru, "Tahan dulu! Lihat, apakah kalian mampu menahan serangan jubahku ini!"

Ceng Ceng dan Hwee Li membalikkan tubuhnya, siap menghadapi kakek itu yang disangkanya akan menyerang me­reka. Akan tetapi mereka melihat kakek itu menanggalkan jubahnya, melemparkan jubah itu ke arah mereka dan.... Ceng Ceng dan Hwee Li terkejut bukan main ketika jubah itu tiba-tiba menjadi "hidup" dan telah menyerang mereka kalang-ka­but, menghantam mereka dengan lengan jubah seolah-olah digerakkan oleh setan!

"Hiiiiiihhh...., tolongggg, Subo....!" Hwee Li menjerit-jerit dan berusaha mengelak ke sana-sini dengan perasaan tegang dan seram. Akan tetapi Ceng Ceng sendiri pun kalang-kabut oleh amukan jubah itu! Para penonton kini makin menjauh karena orang Nomad sederhana ini amat per­caya tahyul dan kini melihat sehelai jubah dapat mengamuk, mereka tentu saja menjadi ketakutan.

Ceng Ceng sendiri selama hidupnya belum pernah mengalami hal seperti ini. Mukanya yang memang sudah muram itu menjadi makin pucat, matanya terbelalak dan beberapa kali dia bergidik dan me­rasa ngeri. Jubah itu benar-benar telah menjadi "hidup"! Biarpun dia pandai dan tenaganya juga amat kuat, tentu saja dia kewalahan melawan sehelai jubah yang hidup! Dipukul betapa keras pun, tentu saja jubah itu tidak merasakan apa-apa sebaliknya tamparan-tamparan ujung le­ngan jubah itu mendatangkan rasa panas.

"Hiiiihhhh.... tolongg.... takuttt.... Locianpwe.... tolong, Locianpweee....!" Hwee Li menjerit-jerit dikejar oleh jubah itu yang menampari pinggulnya sampai terasa panas dan pedas.

Tiba-tiba muncul Pendekar Super Sakti yang tahu-tahu sudah berdiri di situ dengan sikap tenang. "Hemmm, menggunakan ilmu menggoda anak-anak perempuan, sungguh merupakan watak kekanak-kanakan saja!" Dengan tongkatnya Pendekar Super Sakti menuding dan.... jubah itu seperti ketakutan, seperti se­orang kanak-kanak yang ketakutan, dan lari kepada ayahnya. Jubah yang seperti hidupp itu kini "memasuki" lagi tubuh dan kedua lengan See-thian Hoat-su dan telah dipakainya kembali.

Sejenak kedua orang itu saling pandang. Ceng Ceng yang masih pucat dan Hwee Li yang masih gemetaran itu me­mandang dari tempat jauh, sedangkan Siang In juga sudah bangkit duduk dan menonton. Orang-orang yang tadinya menjauhkan diri, kini berani lagi agak mendekat akan tetapi tetap saja agak jauh dan mereka berjongkok untuk menonton apa yang selanjutnya akan terjadi.

Sampai lama kedua orang tua itu saling pandang. Kemudian See-thian Hoat-su tertawa bergelak, "Ha-ha-ha-ha, ham­pir tak dapat aku percaya. Benarkah aku berhadapan dengan Pendekar Super Sakti, tocu dari Pulau Es yang juga terkenal sebagai Pendekar Siluman yang tersohor itu?"

Pendekar Super Sakti belum pernah mengenal kakek ini, juga belum pernah mendengar namanya, maka dengan tenang dan sikap sederhana dia menjawab, "Saya memang datang dari Pulau Es."

"Ha-ha-ha, bagus, bagus! Kalau dicari sampai mati pun belum tentu dapat jum­pa! Pendekar Siluman, kabarnya engkau disamping memiliki kepandaian silat yang tak terkalahkan, juga amat kuat di dalam ilmu sihir. Nah, aku See-thian Hoat-su memang paling suka main-main dengan ilmu sihir, maka pertemuan ini tak boleh dilewatkan begitu saja. Mari kita main-main untuk melihat siapa yang lebih kuat di antara kita."

"See-thian Hoat-su, kita bukan anak kecil lagi. Perlu apa kita bersikap seperti anak kecil yang suka pamer? Kalau ada persoalan di antara kita, apakah tidak lebih baik kita selesaikan secara damai?" Suma Han berkata.

"Ha-ha-ha, justeru tidak ada persoalan! Ada pun kecil tidak berarti, dan aku tadi pun hanya main-main saja dengan mere­ka." Tiba-tiba pandang mata See-thian Hoat-su mengeluarkan sinar mencorong yang aneh. "Pendekar Siluman, kulihat tongkatmu itu bukan sembarangan tong­kat, lihat dia pandai terbang....!"

Pendekar Super Sakti menghela napas panjang. "Sesukamulah, Hoat-su." Dan dia membiarkan tongkatnya terlepas dari tangannya dan sekali See-thian Hoat-su menggerakkan tangannya, tongkat itu benar-benar melayang di udara, diantara mereka. Pendekar Super Sakti hanya ber­sedakap dan bersikap tenang saja. Semua orang yang menonton menjadi melongo saking herannya, melihat tongkat butut itu melayang-layang di antara dua orang kakek itu, seolah-olah tongkat itu adalah sebuah benda hidup.

"Pendekar Siluman, lihat tongkatmu menjadi harimau yang akan menelanmu sendiri, ha-ha-ha!" Terdengar suara See-thian Hoat-su. Dia bicara sambil tertawa-tawa, seperti orang berkelakar saja, akan tetapi di dalam suaranya itu terkandung kekuatan mujijat yang amat berwibawa.

Semua orang yang berada di situ menjadi pucat mukanya dan melotot penuh rasa ngeri dan takut ketika melihat betapa tongkat yang tadinya melayang-layang dan bergerak-gerak seperti hidup itu tiba-tiba kini telah berubah menjadi se­ekor harimau yang amat besar dan yang menggereng dengan suara menggetarkan tempat itu dan harimau itu meringis, memperlihatkan taringnya dan seperti hendak menyerang kakek berkaki buntung sebelah itu.

"Kau keliru, Hoat-su. Tongkatku itu tidak menjadi harimau, melainkan men­jadi seekor naga yang hendak menyerang­mu!" Pendekar Super Sakti berkata, suara­nya halus tenang namun juga mengandung wibawa yang amat kuat.

Para penonton kini menjadi makin ke­takutan, ada yang menggigil dan tidak dapat bangkit berdiri, kedua kaki mereka menggigil dan mata mereka makin lebar terbelalak ketika melihat betapa harimau besar itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor naga yang amat buas dan yang bersikap marah hendak menyerang Kakek See-thian Hoat-su!

See-thian Hoat-su menggerak-gerakkan kedua tanganya di udara dan bentuk naga itu berubah lagi menjadi bentuk harimau, akan tetapi tidak lama, karena segera berubah lagi menjadi bentuk naga seperti yang dikatakan oleh Pendekar Siluman tadi. Terjadilah adu tenaga sihir yang amat aneh dan orang-orang yang menonton di situ makin lama menjadi makin ketakutan. Siapa yang tidak akan merasa ngeri melihat tongkat butut itu berubah-ubah bentuknya antara bentuk harimau dan bentuk naga, bahkan kadang-kadeng "pertandingan" itu sedemikian hebatnya sehingga ada kalanya tongkat itu berubah menjadi seekor harimau yang tubuh ba­gian belakangnya berbentuk naga, atau seekor naga yang tubuh belakangnya ber­bentuk harimau! Tentu saja semua orang menjadi ketakutan dan mereka makin lama makin mundur menjauhi dua orang kakek yang mereka anggap siluman-siluman itu.

Setelah mengadu kekuatan sihir bebe­rapa lamanya, akhirnya See-thian Hoat-su terpaksa mengakui keunggulan Pende­kar Super Sakti ketika tongkat itu sepe­nuhnya berubah menjadi seekor naga yang beterbangan dan mengancam kepala kakek dari barat itu.

"Hebat engkau, Pendekar Siluman. Biar aku mengakui keunggulanmu!" kata­nya sambil menghentikan pengerahan te­naga mujijat.

Suma Han mengangkat tangannya dan "naga" itu terbang kembali ke tangannya dan berubah lagi menjadi sebatang tong­kat.

"See-thian Hoat-su, engkau sudah tua sekali akan tetapi masih suka main-main seperti seorang anak-anak saja." Pende­kar Super Sakti menegur.

"Ha-ha-ha-ha, memang orang tua bukan lain hanyalah anak-anak yang tu­buhnya besar. Anak-anak suka bermain-main dengan barang-barang mainan, orang-orang tua juga suka bermain-main dengan pikiran dan nafsu-nafsu keinginan­nya sendiri. Tidak begitukah?"

Suma Han tersenyum. "Engkau benar, Hoat-su. Harap engkau orang tua suka memaafkan kalau dua orang temanku yang muda itu tadi melakukan kesalahan terhadapmu." Suma Han menuding ke arah Ceng Ceng dan Hwee Li, akan te­tapi dia tersenyum melihat Hwee Li dan nona cantik murid kakek itu ternyata sudah duduk berdekatan dan bicara de­ngan asyik dan dalam suasana bersaha­bat! Memang demikianlah. Hwee Li dan Siang In yang keduanya memiliki watak yang hampir sama, ternyata sudah bersahabat, bahkan Hwee Li telah setengah memaksa subonya untuk mengobati Siang In. Tentu saja tidak ada lagi persoalan di antara mereka, bahkan mereka lalu ber­sahabat.

"Bagaimanakah Majikan Pulau Es yang berada jauh di utara bisa tersesat sampai ke tempat ini?" Kakek See-thian Hoat-su yang tidak biasa bersikap hormat terhadap siapapun juga itu bertanya.

"Aku sedang mencari puteraku, Hoat-su. Barangkali engkau melihatnya. Dia bernama Suma Kian Bu...."

"Heee, Siang In. Bukankah kau me­ngenal seorang pemuda yang bernama Kian Bu?" tiba-tiba kakek itu memanggil muridnya. Mendengar disebutnya nama itu, Siang In memandang kepada gurunya dengan kedua pipi berubah merah sekali. Akan tetapi dia meninggalkan Hwee Li dan mendekati gurunya, memandang ke­pada Pendekar Super Sakti dengan penuh selidik.

"Tentu saja aku mengenal dia, Suhu," jawabnya.

"Bagus!" Suma Han berseru girang. "Di mana kau terakhir ini bertemu de­ngan dia, Nona?"

"Nanti dulu," Siang In menjawab, "Sipakah Locianpwe yang aneh ini mengapa bertanya tentang dia?"

"Ha-ha-ha, bocah tolol. Yang berdiri di depanmu ini adalah Pendekar Siluman dari Pulau Es, ayah dari pemuda itu."

Siang In terkejut sekali dan cepat dia menjura dengan hormat. "Maafkan saya...."

Pendekar Super Sakti tersenyum. Se­orang dara yang cantik jenaka dan pan­tas menjadi murid seorang sakti seperti See-thian Hoat-su, pikirnya.

"Aku hanya ingin tahu di mana eng­kau bertemu dengan dia akhir-akhir ini, Nona?" Dia mengulang pertanyaannya.

"Di dalam hutan.... ketika terjadi pen­cegatan yang dilakukan gerombolan Tam­bolon terhadap rombongan pengawal Pu­teri Bhutan." Gadis itu lalu bercerita, akan tetapi tentu saja dia tidak mence­ritakan betapa dia telah dicium oleh pe­muda itu!

Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya. "Kalau menurut perkiraanmu, ke mana sekarang perginya anakku yang suka bertualang itu, Nona?"

"Dia agaknya diam-diam mengawal Sang Puteri Bhutan, dan tentu sekarang telah berada di tapal batas Bhutan dan...." Siang In menoleh ke kanan kiri, melihat banyak orang anggauta suku bangsa peng­gembala itu menonton, dia lalu berkedip dan mendekati Pendekar Super Sakti, berbisik, "Mereka ini adalah suku bangsa yang terbujuk oleh Tambolon, sekarang Tambolon sedang memerangi Bhutan dan saya berani bertaruh bahwa putera Locianpwe itu sedang ikut perang membela Bhutan."

Melihat Siang In tadi mendekati Suma Han dan berbisik-bisik, Ceng Ceng yang menaruh curiga lalu mendekat pula. Dia terkejut mendengar bahwa Bhutan diserang oleh Tambolon, maka dia pun lalu ber­kata kepada Pendekar Super Sakti, "Kalau begitu, saya harus cepat ke sana untuk membantu...."

See-thian Hoat-su tertawa. "Ha-ha-ha, kami guru dan anak tidak mau men­cari keributan, kami mempunyai urusan pribadi sendiri, maka maafkan kami yang harus pergi sekarang. Hayo, Siang In!" Dia memegang tangan muridnya dan pergi dengan cepat. Siang In melambai­kan tangan kepada mereka terutama ke­pada Hwee Li yang dibalas pula oleh Hwee Li.

Setelah guru dan murid itu pergi, Pendekar Super Sakti berkata kepada Ceng Ceng, "Kita harus berhati-hati dan jangan sembrono, Nona. Lebih baik kita mendekati pimpinan suku bangsa ini dan mencari keterangan dari mereka."

Baru saja dia berkata demikian, para penonton yang merasa kagum kepada pendekar kaki buntung ini yang tadi te­lah memperhatikan kehebatan ilmu sihir­nya sehingga mereka yang menonton menjadi kagum dan juga takut, kini ber­gerak minggir dan memberi jalan dengan sikap hormat kepada tiga orang yang berpakaian jubah lebar dan lebih mewah daripada pakaian mereka semua. Kiranya mereka ini adalah tiga orang pimpinan suku bangsa itu yang mendengar akan kehebatan ilmu sihir dari kakek berkaki buntung sebelah, juga kehebatan seorang dara muda yang mengalahkan orang India ahli bermain ular. Dengan sikap ramah tiga orang kepala suku itu lalu mengun­dang Pendekar Super Sakti dan dua orang dara cantik itu sebagai tamu kehormatan. Kesempatan ini tentu saja disambut de­ngan baik oleh Pendekar Super Sakti. Mereka lalu diajak memasuki perkemahan dan dijamu dengan masakan-masakan yang terbuat dari daging domba, menerima minuman yang bagi mereka merupakan minuman khas dan mewah, yaitu susu domba.

Melalui seorang penerjemah, Pendekar Super Sakti, Ceng Ceng dan Hwee Li mendengar penuturan mereka bahwa me­mang benar mereka itu merupakan suku bangsa yang berpihak kepada Raja Tam­bolon yang kini sedang memerangi Bhu­tan.

"Kami membutuhkan bantuan orang-orang pandai seperti Anda," kata kepala suku tertua sambil memandang Suma Han penuh perhatian. "Karena di pihak tentara Bhutan terdapat pemimpin-pemimpin yang amat pandai, bahkan seorang panglima wanita berada di sana memimpin pasukan pertahanan Bhutan. Kabarnya panglima wanita itu adalah puteri Kerajaan Ceng yang amat lihai. Dia dibantu oleh se­orang laki-laki setengah tua yang luar biasa tinggi ilmunya, juga terdapat se­orang pemuda yang luar biasa."

Mendengar ini, Pendekar Super Sakti menduga-duga dengan hati girang. Pangli­ma wanita Kerajaan Ceng itu siapa lagi kalau bukan Milana, anaknya sendiri? Dan pemuda lihai itu tentulah Suma Kian Bu.

"Baiklah, kami akan melihat-lihat pe­perangan itu kalau kalian suka membawa kami ke sana," katanya dengan girang.

Kepala suku itu menjadi girang dan pada keesokan harinya, berangkatlah se­rombongan orang laki-laki muda dari suku bangsa itu yang dipilih sebagai te­naga-tenaga bantuan untuk pasukan Raja Tambolon yang sedang sibuk mengurung kota raja Bhutan. Pendekar Super Sakti dan dua orang gadis itu ikut bersama mereka menuju ke medan peperangan. Karena suku bangsa liar itu sudah me­ngenal jalan dengan baik, maka perjalan­an dapat dilakukan dengan amat cepat­nya, dengan memotong jalan melalui pegunungan, menunggang kuda-kuda yang sudah terlatih baik.

Akan tetapi, sebelum mereka tiba di perkemahan yang didirikan oleh barisan pengurung kota raja Bhutan, ketika rom­bongan mereka tiba di lapangan terbuka, mereka terkejut sekali mendengar bunyi melengking tinggi dari atas, apalagi ketika mereka memandang dan melihat se­ekor burung rajawali yang besar dan ber­bulu hitam menyambar turun sambil me­ngeluarkan bunyi melengking keras. Bu­barlah pasukan itu dan pemimpin mereka lalu mementang gendewa, membidik ke arah rajawali.

"Jangan panah....!" Pendekar Super Sakti berseru, namun terlambat, anak panah itu telah meluncur ke arah burung.

"Hek-tiauw, awas panah....!" Hwee Li yang sudah mengenal burungnya itu ber­seru keras.

Namun penyerangan itu terlalu ringan bagi rajawali hitam. Dengan mudahnya dia menyampok anak panah itu dengan kakinya, kemudian dia menukik dan hen­dak menyerang ke arah kepala suku yang memanahnya tadi.

Akan tetapi, dengan sekali bergerak, Pendekar Super Sakti telah mencelat dari atas kudanya, memapaki rajawali hitam yang menyambar turun itu.

"Plak! Desss....!" Rajawali terpental dan terdengar teriakan kaget dari atas punggungnya. Kiranya ada orang yang menunggang rajawali itu.

"Ayah....!" Hwee Li berteriak ketika mengenal orang itu. Sedangkan Hek-tiauw Lo-mo juga terkejut mendengar suara anaknya. Dia tadi amat kaget ketika serangkum hawa yang kuat keluar dari tangan Pendekar Super Sakti, membuat burungnya terpental. Maka kini melihat puterinya berada di situ, dia menjadi girang dan juga heran dan setelah me­nyuruh burung rajawalinya turun, dia pun meloncat ke atas tanah.

"Ayah....! Kau sungguh terlalu, Ayah, selalu meninggalkan aku!" Hwee Li ber­seru dengan wajah bersungut-sungut. Se­mentara itu, rombongan suku bangsa liar itu terbelalak dengan muka pucat. Tentu orang ini bukan manusia, pikir mereka, melainkan dewa yang tinggal di langit dan kini turun menunggang burung raksasa untuk menghukum. Maka dua puluh lebih orang-orang yang tidak pernah takut menghadapi lawan manusia itu kini men­jatuhkan diri berlutut! Akan tetapi Hek-tiauw Lo-mo tidak mempedulikan mereka, juga tidak mempedulikan puterinya setelah sekilas pandang melihat puterinya sehat-sehat saja, melainkan dia meman­dang dengan penuh perhatian kepada kakek yang sebelah kakinya buntung dan yang tadi membuat rajawalinya terpental. Sampai lama kedua orang ini berdiri sa­ling pandang karena Suma Han juga su­dah meloncat turun dari kudanya setelah tadi menyelamatkan pimpinan rombongan yang diserang rajawali hitam. Sedangkan Hwee Li sudah lari ke dekat burung rajawalinya itu dan merangkul lehernya.

"Aih, hek-tiauw, kau sudah sembuh....?" katanya sambil membelai kepala burung rajawali itu yang mengeluarkan suara menguik seperti seekor anjing yang di­belai majikannya. Hal ini membuat se­mua orang suku bangsa liar itu menjadi bengong dan makin ketakutan. Kiranya rombongan tiga orang yang hendak mem­bantu mereka itu adalah golongan dewa!

"Kau.... kau.... tak salah lagi! Kau tentu Pendekar Siluman Suma Han, Maji­kan Pulau Es!" Akhirnya Hek-tiauw Lo-mo berseru keras, dengan sedikit keragu­an masih menempel di dalam suaranya.

"Hek-tiauw Lo-mo, engkau seharusnya berada di Pulau Neraka yang telah kau­rampas dan kuasai," kata Suma Han, nada suaranya keras dan berwibawa. "Ta­hukah engkau tempat apa yang kaurampas dan kuasai itu? Tempat pembuangan dan siapa sudah menetap di sana tidak boleh pergi lagi dari pulau itu, karena kepergi­annya berarti hanya menyebar malapetaka. Kembalilah kau ke Pulau Neraka."

"Ha-ha-ha-ha!" Hek-tiauw Lo-mo ter­tawa bergelak. "Sudah puluhan tahun aku ingin sekali bertemu dengan Pendekar Siluman sebelum aku mati dan selalu tidak pernah ada kesempatan. Siapa tahu sekarang bertemu di sini, sungguh girang sekali hatiku. Ingin aku merasakan sendiri kehebatan Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman yang namanya mengge­tarkan kolong langit." Setelah berkata demikian, Hek-tiauw Lo-mo menggerak­kan kedua lengannya. Terdengar suara berkerotokan dan dari kedua tangannya mengepul uap hitam! Agaknya karena maklum akan kelihaian Suma Han, kakek ketua Pulau Neraka ini telah mengerahkan ilmu Hek-coa-tok-ciang (Tangan Be­racun Ular Hitam) dan bagaikan badai mengamuk dia lalu menerjang Pendekar Super Sakti.

"Wuuuutttt.... syuuuuttt....!" Angin yang dahsyat menyambar, membuat pasir dan debu beterbangan saking hebatnya serang­an yang dilakukan oleh kakek ini. Rombongan suku bangsa liar itu terkejut dan ketakutan, cepat mereka mundur dan berusaha menenangkan kuda mereka yang meringkik ketakutan dan meronta ber­usaha melarikan diri.

"Hemmm....!" Suma Han mengeluarkan seruan dan tubuhnya sudah mencelat ke kiri dengan gerak loncat Soan-hong-lui-kun menghindarkan serangan Hek-tiauw Lo-mo. Akan tetapi kakek Pulau Neraka ini sudah menyerang lagi, menubruk se­perti seekor singa kelaparan dengan ke­dua tangan terpentang dan jari-jarinya membentuk cakar singa. Kembali Suma Han menggunakan kecepatan gerakan kaki tunggalnya, membiarkan lawan me­nubruk tempat kosong.

"Ayaaaah.... jangan....!" Hwee Li ber­teriak.

"Ssssttt, Hwee Li, jangan mencampuri urusan orang tua!" Ceng Ceng berseru mencegah muridnya karena dia tahu be­tapa berbahayanya kalau muridnya itu mendekati dua orang sakti yang sedang bertanding itu. Dia maklum akan kelihai­an dan bahayanya Hek-tiauw Lo-mo, bahkan dia pernah terluka parah oleh tokoh Pulau Neraka itu. Maka kini, ber­hadapan dengan Majikan Pulau Es, Ketua Pulau Neraka itu bertemu lawan dan tentu pertandingan itu akan hebat dan berbahaya sekali.

Hwee Li tidak berani bersuara lagi, lebih-lebih melihat burung rajawali hitam itu menjadi gelisah dan dia tahu bahwa kalau dia melepaskan burung itu, tentu burung itu akan membantu ayahnya dan mengeroyok Pendekar Super Sakti. Maka dia yang tidak ingin melihat pendekar yang dia tahu amat baik hati itu dike­royok, lalu merangkul leher burungnya dan menenangkannya, seperti rombongan itu menenangkan kuda masing-masing.

"Haaaihhh.... waaahhhh!" Hek-tiauw Lo-mo masih menyerang terus dengan dahsyat dan bertubi-tubi sampai dua puluh empat jurus dia menerjang terus menerus dan sambung menyambung tanpa memberi kesempatan sedikit pun kepada lawannya. Akan tetapi hal ini bukan ber­arti bahwa Suma Han terdesak. Sama sekali tidak, melainkan pendekar itu me­mang hanya mengelak saja, mengandalkan gerakan Soan-hong-lui-kun yang kecepat­an gerakannya tidak ada keduanya di dunia. Pukulan-pukulan Hek-coa-tok-ciang membuat di sekeliling dua orang itu tampak uap hitam berhamburan dan bau amis memenuhi udara.

"Hemm, kau sungguh tak tahu diri, Hek-tiauw Lo-mo!" terdengar seruan Pendekar Super Sakti dan tiba-tiba saja tubuhnya lenyap dari depan mata lawan, tahu-tahu dari belakang lawan tangannya melayang dan membalas serangan-serang­an itu. Hek-tiauw Lo-mo terkejut, mem­balik sambil menangkis, namun tubuh lawannya berkelebat dengan kecepatan yang luar biasa dan sudah lenyap lagi, tahu-tahu menyerang dari kanan. Dia cepat mengelak dan demikianlah, Hek-tiauw Lo-mo kini hanya mengelak dan menangkis karena tubuh lawannya bergerak terlalu cepat sehingga sukar dia ikuti dengan pandang mata!

"Pendekar Siluman, jangan mengguna­kan ilmu siluman, hayo hadapi aku secara jantan!" teriaknya marah dan juga jerih.

"Hek-tiauw Lo-mo, apa yang kaumak­sudkan dengan cara jantan?"

"Heiiit!" Hek-tiauw Lo-mo berteriak dan sinar hitam tipis menyambar ke arah berkelebatnya bayangan Pendekar Super Sakti yang menunda serangan-serangannya karena melayani lawan bicara.

"Plakkk!" Jala itu kena sambaran ha­wa pukulan tangan kiri Pendekar Super Sakti dan.... robek seperti terbakar. Itulah pukulan Hui-yang Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga benda pu­saka yang tahan api itu masih tidak mampu bertahan menghadapi pukulan itu.

"Keparat!" Hek-tiauw Lo-mo makin marah dan dia kini menghantam sambil berteriak, "Hadapi pukulanku ini!"

"Hemm....!" Pendekar Super Sakti ber­diri tegak, mengempit tongkatnya sehingga dia hanya berdiri dengan satu kaki, ke­dua tangannya menerima hantaman kedua tangan lawan.

"Desss....!" Tubuh Pendekar Super Sakti yang hanya ditopang oleh sebelah kaki seperti seekor burung bangau berdiri dengan satu kaki itu bergoyang-goyang, seperti batang padi tertiup angin, akan tetapi tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar dan terbanting roboh lalu bergulingan. Ketika dia meloncat bangkit lagi, mata­nya menjadi merah, mukanya pucat dan dia mengusap sedikit darah yang meng­alir keluar di ujung bibirnya! Sejenak dia memandang penuh kebencian, penuh ke­marahan, akan tetapi juga penuh takjub akan kehebatan lawan yang sudah bertahun-tahun dianggapnya sebagai musuh­nya yang nomor satu di dunia ini.

Sejenak mereka berpandangan dari jarak lima meter, kemudian Hek-tiauw Lo-mo menunduk, membungkuk lalu mem­bentak, "Pendekar Siluman, kausambutlah ini kalau memang kau jantan....!" Lalu tubuh Ketua Pulau Neraka itu bergerak lari ke depan dengan kepala di depan, seperti seekor kerbau menyerang dengan tanduk­nya. Kepalanya menuju ke arah perut Pendekar Super Sakti. Pendekar ini ter­kejut sekali melihat kenekatan lawan, akan tetapi dia tidak bergerak menying­kir, bahkan lalu menerima serudukan nekat itu dengan perutnya yang kecil.

"Cappp....!" Kepala Hek-tiauw Lo-mo seolah-olah memasuki rongga perut Pen­dekar Super Sakti, tubuh kakek Pulau Neraka ini kaku seperti sebatang kayu sehingga kakinya lurus ke belakang. Tiba-tiba kedua tangannya bergerak menghan­tam ke arah kedua pundak Pendekar Super Sakti, akan tetapi pendekar ini sudah menggerakkan dulu kedua tangannya menyambut hantaman itu!

"Plakkk!" Dua pasang telapak tangan itu bertemu dan melekat.

"Locianpwe, jangan bunuh ayahku....!" Tiba-tiba Hwee Li yang masih merangkul rajawali hitam itu berseru nyaring.

Sejenak Pendekar Super Sakti mengerling ke arah bocah itu, kemudian terdengar mulutnya mengeluarkan bunyi me­lengking nyaring yang membuat semua kuda rombongan suku bangsa liar itu me­ringkik ketakutan dan membuat rajawali hitam juga meronta-ronta ketakutan. Berbareng dengan pekik melengking ini, tubuh Hek-tiauw Lo-mo terlempar ke arah puterinya dan terbanting jatuh.

"Aduhhh....!" Tak tertahankan lagi Ketua Pulau Neraka ini mengeluh, ke­mudian menggoyang-goyang kepala meng­usir kepeningan, sekilas memandang ke arah lawan yang masih berdiri tegak dan tenang, kemudian secepat kilat dia me­nyambar pinggang Hwee Li, meloncat ke atas punggung rajawali hitam yang segera menggerakkan sayapnya terbang dari tempat itu.

"Hwee Li....!" Ceng Ceng berseru kaget.

"Ayah, lepaskan aku....! Aku mau ikut Subo....!" Hwee Li meronta-ronta akan tetapi tidak mampu melepaskan diri dari rangkulan ayahnya dan tak lama kemudian burung itu sudah terbang tinggi dan lapat-lapat terdengar tangis Hwee Li.

"Ohh...." Ceng Ceng mengeluh.

"Dia diajak pulang ayahnya, perlu apa disesalkan? Dan anak itu memang perlu berdekatan dengan ayahnya. Agaknya hanya anaknya saja yang akan mampu merubahnya," kata Pendekar Super Sakti. Ceng Ceng diam saja dan memang peris­tiwa ini hanya sebentar saja menggores hatinya yang sudah menjadi layu.

Kini pimpinan rombongan, diikuti oleh semua anak buahnya berlutut di depan Pendekar Super Sakti.

"Pendekar besar.... siapakah yang da­tang menunggang burung dewa tadi? Apakah dia itu dewa atau golongan iblis?" tanya pimpinan rombongan yang paling pandai berbahasa Han daripada yang lain.

Suma Han tersenyum. "Kalau dikata­kan bahwa dia itu iblis memang lebih cocok," jawabnya.

"Ahhh, kalau begitu paduka adalah seorang dewa!" Ucapan ini disusul oleh sikap yang amat menghormat, mereka berlutut dan menyembah-nyembah.

"Sudahlah, mari kita melanjutkan per­jalanan," kata Suma Han.

Gembira karena mereka merasa dibantu oleh dewa, rombongan itu melan­jutkan perjalanan menuju ke kota raja Bhutan yang sedang dikurung oleh pasu­kan-pasukan Tambolon.

Puteri Milana, Gak Bun Beng, Pangli­ma Jayin dan para panglima lainnya ma­lam itu mengadakan perundingan. Ben­trokan dengan pihak musuh secara ter­buka, ternyata tidak menguntungkan me­reka. Biarpun dalam perang pertama kali itu kalau dihitung jatuhnya korban, me­reka dapat dikata menang karena jumlah musuh yang menjadi korban jauh lebih banyak dibandingkan dengan jumlah ten­tara mereka, akan tetapi robohnya para korban di pihak mereka itu berarti ber­kurangnya jumlah mereka sehingga per­tahanan mereka menjadi makin lemah, sedangkan pihak musuh yang mengurung di luar tentu saja dapat menyusun kem­bali kekuatan dengan mendatangkan bala bantuan dari luar!

Mereka semua merasa bingung dan kehabisan akal. Akan tetapi Puteri Milana yang sudah biasa dengan siasat perang, dalam keadaan segawat itu tidak menjadi putus asa dan dia berkata, "Kalau meng­andalkan perang terbuka, jumlah kita yang belum tentu ada separuh jumlah mereka tentu akan menderita kerugian. Maka sebaiknya kita menggunakan siasat, menyerang mereka dari luar."

"Menyerang mereka dari luar?" tanya Jayin bingung. "Apa yang paduka mak­sudkan?"

"Sepasukan pengawal pilihan yang di­pimpin oleh Sangita dan Tek Hoat telah menanti saat baik di luar dan mereka tentu akan bergerak setelah kita beri tanda lagi. Kalau kita menyelundupkan pasukan-pasukan keluar, kemudian menye­rang mereka dari berbagai jurusan, tentu mereka akan menjadi kacau-balau. Ben­teng kita cukup kuat, dan tidak perlu dijaga terlalu banyak tentara. Kalau ba­nyak terjadi penyerangan oleh pihak kita dari luar, tentu mereka menyangka bah­wa penyerang-penyerang dari luar itu merupakan bala bantuan yang datang dari berbagai pihak dan hal ini pasti akan melemahkan semangat mereka. Barisan yang dipimpin Tambolon bukan merupakan suatu suku bangsa yang bersatu, me­lainkan dari banyak suku bangsa. Sekali semangat mereka dipatahkan, mereka tentu akan cerai-berai."

Semua orang tidak ada yang dapat membantah siasat yang dikemukakan oleh Milana.

"Biar aku memimpin pasukan menye­lundup dan menerobos keluar dari kepung­an musuh," kata Bun Beng.

Milana mengangguk. "Memang pene­robosan keluar ini saya percayakan ke­padamu, Gak-suheng. Kita memilih bagi­an yang paling lemah dijaga musuh, yaitu di bagian barat karena kini bagian sela­tan diperkuat, kemudian setelah berhasil keluar dari pintu gerbang, harus dapat berpencar menjadi pasukan-pasukan kecil yang dipimpin oleh perwira masing-ma­sing, kemudian mencari tempat persem­bunyian yang baik di empat penjuru dan mengadakan serangan-serangan gangguan di waktu malam agar pihak musuh tak dapat beristirahat dan mengalami keka­cauan."

Puteri Milana lalu mengemukakan rencana siasatnya, didengarkan penuh perhatian oleh para pembantunya. Sampai lewat tengah malam mereka berunding dan mengantar persiapan karena menurut rencana mereka, pada malam itu juga, menjelang pagi sehingga keadaan para penjaga pihak musuh sedang lelah-lelah­nya, mereka akan melakukan penyelundup­an atau penerobosan keluar itu.

Semua pasukan yang jumlahnya empat ribu orang, yang kemudian akan dipecah menjadi empat kelompok, sudah siap di pintu gerbang barat, menanti saat dibukanya pintu gerbang dan menanti isyarat yang akan diberikan oleh Sang Puteri Milana sendiri. Pasukan itu dipimpin oleh Gak Bun Beng yang berpakaian biasa, bahkan banyak sekali, sebagian besar di antara anak buah pasukan, mengenakan pakaian biasa seperti yang telah diatur dalam rencana siasat Puteri Milana sehingga oleh pihak musuh akan disangka bahwa pasukan-pasukan itu adalah bala bantuan dari luar.

Akan tetapi sebelum isyarat diberikan oleh Puteri Milana, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar tembok. Penjaga se­gera datang menghadap dan melaporkan bahwa di luar tembok benteng, di sebe­lah timur terjadi kekacauan di pihak musuh dan nampak api berkobar seperti terjadi kebakaran besar dan terdengar teriakan-teriakan dan tanda-tanda per­siapan dan perang!

Peristiwa yang sama sekali tidak di­sangka-sangka ini membuat Puteri Milana terpaksa menunda gerakan penerobosan itu. "Kita harus tahu lebih dulu apa artinya peristiwa itu," katanya kepada Gak Bun Beng. "Penerobosan dapat ditunda sampai besok malam.... aku khawatir kalau-kalau Tek Hoat melakukan sesuatu di luar rencana."

Semua orang berkumpul di atas ben­teng dan memandang ke tempat terjadi­nya kebakaran dan melihat perang yang hanya mereka ketahui dari suaranya saja. Akan tetapi tak lama kemudian, sinar matahari pagi menerangi keadaan di ba­wah dan tak jauh dari tembok benteng, pandang mata Bun Beng dan Milana me­lihat seorang laki-laki yang dikepung dan dikeroyok oleh banyak tentara musuh. Biarpun dari atas menara masih agak jauh tempat pertempuran itu, dan orang-orang yang bertempur itu kelihatan kecil-kecil saja, namun melihat gerakan silat orang yang dikepung di tengah-tengah itu membuat Bun Beng terkejut bukan main.

"Dia Tek Hoat....!" serunya.

"Eh, benarkah?" tanya Milana.

"Aku tidak lupa gerakan silatnya!"

"Hemm, seperti yang kukhawatirkan. Anak itu lancang sekali."

"Dan terlalu berani. Lihat, mungkin semua pasukannya sudah terbasmi habis. Yang bertanding tinggal dia seorang diri. Aku harus menolongnya. Milana, harap kauperintahkan penjaga pintu gerbang untuk siap menolongku masuk...., aku harus menolongnya."

"Tapi...."

"Tidak ada tapi...."

"Gak-taihiap, itu terlalu berbahaya." Sri Baginda yang juga ikut pula meninjau keadaan keributan di bawah itu berkata, "Lebih baik suruh sepasukan pengawal untuk keluar membantunya."

"Kita tidak boleh kehilangan banyak anggauta pasukan, Sri Baginda. Saya da­pat menolong dia. Sumoi, aku pergi!" De­ngan cekatan Gak Bun Beng lalu meloncat turun dari atas menara itu ke tembok tingkat yang lebih rendah, kemudian terus dia berloncatan dengan gerakan berjung­kir-balik, cepat sekali sehingga sukar bagi mata biasa untuk mengikuti gerakan tubuhnya yang seolah-olah terbang itu dan tak lama kemudian dia telah tiba di atas tanah di luar tembok benteng. Ter­dengar teriakan-teriakan dan anak-anak panah meluncur dari berbagai jurusan. Akan tetapi Puteri Milana yang mengikuti gerakan kekasihnya dengan penuh perha­tian itu telah memerintahkan barisan panah untuk menyerang dan melindungi Bun Beng yang meruntuhkan semua anak panah dengan gerakan kedua lengannya, kemudian pendekar ini terus berloncatan maju ke arah Tek Hoat yang dikepung oleh banyak musuh. Puteri Milana sendiri cepat turun dan mengatur pasukan pen­jaga pintu gerbang untuk bersiap-siap melindungi Bun Beng dan Tek Hoat kalau mereka nanti sudah mundur sampai di pintu gerbang.

Dugaan Bun Beng memang tepat sekali. Menjelang pagi itu, atau lebih tepat lewat tengah malam, Tek Hoat memimpin pasukannya untuk membakar perkemahan Tambolon dan mengamuk. Mula-mula Panglima Sangita tidak setuju akan niat pemuda itu.

"Kita harus menanti isyarat dari Pu­teri Milana," kata panglima itu. "Sungguh tidak baik kalau bertindak sendiri tanpa menanti perintah atasan."

"Ciangkun, keadaan musuh makin kuat saja dan pihak musuh dengan mudah da­pat memperkuat kedudukan dengan men­datangkan bala bantuan dari suku-suku bangsa liar. Akan tetapi kota raja ter­kurung dan dari mana diharapkan bantu­an? Jalan satu-satunya hanyalah mengacaukan keadaan mereka, menyerbu di te­ngah malam selagi mereka tidak me­nyangka, melakukan pembakaran perke­mahan mereka sebanyaknya dan kita me­nyergap di dalam kegelapan malam. Pem­bakaran-pembakaran yang kita lakukan merupakan pertanda bagi para pasukan kota raja untuk bertindak pula. Aku ti­dak tahan kalau harus berdiam diri me­nyaksikan kota raja dikurung dan diancam bahaya." Demikian Tek Hoat bicara pe­nuh semangat, didengarkan oleh semua pasukan yang segera menyatakan perse­tujuan dah kegembiraan mereka. Pasukan pengawal itu adalah pasukan pilihan yang gagah perkasa, maka mereka pun merasa gelisah harus bersembunyi dan diam saja menyaksikan kota raja dikepung musuh. Akhirnya Sangita, yang juga merupakan seorang panglima setia dan gagah per­kasa, menyetujui dan setelah lewat te­ngah malam, bergeraklah mereka me­nyerbu dan membakar perkemahan pihak musuh.

Tentu saja pasukan Tambolon menjadi terkejut. Datangnya serbuan itu amat tidak mereka sangka dan sepak-terjang Tek Hoat dan Sangita bersama pasukan­nya amat hebat, sehingga mereka kalang kabut dan banyak terjatuh korban di pihak musuh. Perang mati-matian dan hebat sekali di dalam gelap terjadilah, namun tentu saja pihak penyerbu lebih untung karena mereka sudah memperhi­tungkan segala-galanya, sedangkan pihak pasukan Tambolon yang terkejut dan panik itu tidak tahu sampai di mana ke­kuatan pihak penyerbu sehingga banyak di antara mereka yang saling serang antara kawan sendiri.

Akan tetapi, Tambolon yang menjadi marah oleh gangguan dari luar ini, sudah mengumpulkan pasukan besar dan mengu­rung hutan itu sehingga pasukan penga­wal pimpinan Sangita dan Tek Hoat itu kini tidak mempunyai jalan mundur lagi. Terpaksa mereka mengamuk dengan mati-matian dan biarpun mereka telah mero­bohkan banyak sekali jumlah lawan, se­tiap orang perajurit paling sedikit mem­bunuh lima orang musuh namun setelah pagi tiba mereka terkurung, terhimpit dan mulailah mereka berjatuhan satu demi satu karena kelelahan dan terlalu banyak musuh yang mengeroyok. Sangita yang sudah tua mengamuk dengan sepa­sang goloknya seperti seekor singa tua. Entah berapa puluh orang musuh menjadi korban sepasang goloknya, akan tetapi akhirnya dia pun roboh di bawah serang­an puluhan senjata sehingga tubuhnya menjadi hancur lebur, kematian yang amat gagah dari seorang perajurit, akan tetapi juga kematian yang amat menye­dihkan.

Serbuan dan pembakaran yang dilaku­kan oleh Tek Hoat dan pasukannya ini benar-benar berhasil baik, selain mem­bunuh banyak sekali musuh, juga membi­kin mereka panik, kacau dan menurun semangat mereka. Akan tetapi, pasukan itu sendiri pun terbasmi, roboh satu demi satu sampai akhirnya tinggal Tek Hoat sendiri yang masih mengamuk. Tak terhi­tung banyaknya lawan yang roboh oleh pemuda perkasa ini. Pedang rampasan di tangannya sudah menjadi merah sampai ke gagangnya oleh darah musuh, akan tetapi dia sendiri pun tidak terhindar dari luka-luka yang dideritanya karena hujan senjata musuh. Dengan pakaian compang-camping, tubuh luka-luka dan berlumuran darah sendiri bercampur de­ngan darah lawan, pemuda ini masih mengamuk hebat ketika Bun Beng mun­cul. Betapapun gagahnya pemuda ini, menghadapi jumlah musuh yang amat ba­nyak, yang roboh sepuluh datang dua puluh, yang seperti gelombang samudera hebatnya, dapat dipastikan bahwa melihat dari luka-lukanya, tak lama lagi Tek Hoat tentu akan roboh pula seperti Sa­ngita kalau pertandingan itu dilanjutkan.

"Plak-plak-desss....!" Enam orang di antara para pengeroyok Tek Hoat ter­lempar ke kanan kiri seperti disambar petir ketika Gak Bun Beng menyerbu.

Tek Hoat mengerling ke arah Bun Beng dan melanjutkan amukannya dengan pedang rampasannya.

"Tek Hoat, mari kita mundur ke pintu gerbang....!" Bun Beng berteriak sambil bergerak merobohkan dua orang pengero­yok lagi.

"Tidak!" Tek Hoat menjawab tegas. "Semua anak buahku telah tewas, aku harus melawan sampai titik darah ter­akhir membela mereka!" Pedangnya yang tadinya sudah agak lemah gerakannya karena kelelahan itu seperti memperoleh tenaga baru, berkelebat dan berubah menjadi sinar bergulung-gulung yang se­kaligus merobohkan enam orang lawan!

"Tidak ada gunanya, musuh terlampau banyak...." Bun Beng membujuk.

"Kalau kau takut, kembalilah!" Tek Hoat berteriak marah.

Bun Bcng menarik napas panjang. Pe­muda ini berhati keras sekali dan mem­bujuknya tidak akan ada gunanya. Akan tetapi membiarkan dia mati pun sayang sekali. Pemuda ini gagah perkasa dan tidak memalukan menjadi cucu tiri Pen­dekar Super Sakti, dan biarpun pernah melakukan penyelewengan, namun pemuda inilah yang kelak akan dapat menjunjung tinggi nama ayahnya yang tersesat.

"Kalau begitu biarlah kita mati ber­sama!" Gak Bun Beng berkata dan dia pun mengamuk di dekat Tek Hoat. Hatinya lega melihat pemuda itu tidak menaruh kecurigaan kepadanya dan bahwa pemuda itu sudah lelah sekali, hampir kehabisan tenaga dan menjadi lemah karena luka-lukanya yang amat banyak itu. Diam-diam dia merasa terharu dan dapat menyelami hati pemuda ini. Tentu pemuda ini merasa malu dan menyesal akan semua penyelewengannya dan kini hendak menebus semua itu dengan darah dan nyawanya! Dia bertempur makin dekat dengan Tek Hoat dan pada saat Tek Hoat lengah karena harus menghadapi serbuan dari depan dan kanan kiri, tiba-tiba Gak Bun Beng menggunakan totokan satu jari dengan pengerahan tenaga sin-kangnya yang amat kuat. Biarpun Tek Hoat memiliki kepandaian yang lebih hebat lagi, dalam keadaan lengah tak mungkin dia akan dapat menahan totokan dahsyat ini. Dia mengeluh, tubuhnya lemas dan pedangnya terlepas dari ta­ngannya. Bun Beng menyambar tubuhnya terus dipanggulnya, menyambar pedang lalu meloncat ke belakang. Pedang itu diputar sedemikian rupa sehingga setiap senjata lawan yang menyerangnya tentu patah-patah, dan banyak pula musuh roboh. Kehebatan pendekar ini membuat jerih para perajurit musuh.

"Tangkap dia! Kejar! Kurung....!" Tam­bolon berteriak sambil berlari cepat me­ngejar, dan kini dia sendiri ikut menye­rang. Akan tetapi, tangkisan pedang itu yang digerakkan oleh lengan tangan Bun Beng yang luar biasa kuatnya, membuat golok besar di tangan Tambolon menye­leweng. Raja liar ini terkejut dan jerih, akan tetapi dia masih memimpin orang-orangnya untuk mengepung dan selalu mengejar apabila Bun Beng meloncat makin mendekati pintu gerbang.

"Hujani anak panah!" Tambolon ber­teriak.

Teriakan ini melegakan hati Bun Beng. Dia tidak khawatir akan keroyokan anak panah dan sambil berlari mendekati pintu gerbang, dia memutar pedangnya. Semua anak panah runtuh dan dia terus berlari, dikejar oleh Tambolon dan anak buahnya sampai ke pintu gerbang.

Tiba-tiba pintu gerbang terbuka dan terdengar aba-aba yang nyaring dari Puteri Milana, maka hujanlah anak panah dan batu dari atas benteng, juga Puteri Milana sendiri menyambut kedatangan Gak Bun Beng itu dengan pedang di ta­ngan melindunginya. Akhirnya pendekar itu berhasil memasuki pintu gerbang sambil memondong Tek Hoat, dan pintu gerbang ditutup kembali, tentara Tambolon dipaksa mundur oleh hujan anak pa­nah dari atas benteng.

Puteri Milana girang sekali dan di depan Sri Baginda dia memuji-muji Tek Hoat. Serbuan pemuda itu dengan pasu­kannya secara nekat, membunuh banyak musuh dan menurunkan semangat mereka, benar-benar amat menguntungkan karena di dalam keributan tadi, Puteri Milana dapat melaksanakan siasatnya dengan baik sekali, berhasil menyelundupkan keluar empat ribu orang pasukan, hanya ada sedikit perubahan, yaitu Gak Bun Beng terpaksa tidak ikut karena pendekar ini tadi menyelamatkan Tek Hoat. Tem­patnya diwakili oleh Panglima Jayin yang sudah berhasil membawa keluar pasukan­nya, kemudian memecahnya menjadi em­pat bagian dan mereka berpencar ke empat penjuru, bersembunyi di hutan-hutan sambil menanti isyarat selanjutnya.

Puteri Syanti Dewi yang mendengar akan keadaan Tek Hoat, cepat berlari ke luar dan sambil menangis melihat tubuh pemuda itu penuh luka yang berlumuran darah, dia lalu memaksa ayahnya untuk mengijinkan dia sendiri merawat pemuda yang disebutnya sebagai penolongnya dan penyelamat nyawanya. Sri Baginda maklum akan keadaan hati puterinya, dan karena dia sendiri pun kagum dan suka sekali kepada pemuda yang gagah perkasa, yang dengan semangat luar biasa membela Bhutan, bahkan dengan rela hampir mengorbankan nyawanya. Seluruh prajurit Bhutan membicarakan kegagahan Tek Hoat ini dan memuji-muji.

Pihak musuh benar-benar mengalami kerugian hebat sekali. Pembakaran-pembakaran yang dilakukan oleh Tek Hoat dan pasukannya mengakibatkan kebakaran besar dan baru dapat dipadamkan setelah malam terganti pagi sampai hampir siang. Hampir semua peralatan dan ransum perang rusak oleh kebakaran itu. Banyak pula yang tewas oleh penyerbuan tiba-tiba itu, banyak juga yang terluka oleh amukan api. Yang lebih merugikan lagi, peristiwa itu mendatangkan rasa panik di antara mereka sehingga menurunkan se­mangat juang mereka sungguhpun Tambo­lon sendiri sudah berusaha membangunkan semangat mereka dan mengatakan bahwa setelah mengumpulkan kekuatan dan mendatangkan bala bantuan yang akan me­makan waktu satu minggu, mereka akan melakukan serangan besar dan menduduki kota raja Bhutan!

Dengan berdiri di atas panggung se­hingga tampak oleh para pimpinan suku dan para pembantunya, Tambolon meng­ajak gurunya, Nenek Durganini yang baru muncul, berkata dengan lantang, "Kita memang telah disergap di waktu malam dan mengalami sedikit kerugian. Akan tetapi tunggu sampai satu minggu, kita akan melakukan pembalasan! Jangan kha­watir, di dalam tembok benteng itu ter­dapat harta berlimpahan, dan wanita-wanita yang cantik untuk kalian semua. Dan jangan takut menghadapi Puteri Mancu dan para pembantunya, karena sekarang kita dibantu oleh guruku sendiri yang menguasai ilmu gaib."

Durganini terkekeh, kedua tangannya bergerak-gerak, mulutnya ternganga dan semua orang memandang takjub dan ngeri ketika dari kedua tangan dan dari mulut nenek itu keluar api berkobar-kobar! Tak lama kemudian nenek itu "menelan" kembali semua api itu dan Tambolon berkata, "Lihat betapa guruku akan da­pat membakar seluruh kota raja Bhutan dengan api mujijat dari mulutnya. Dan dapat pula menutup matahari menimbul­kan kegelapan!"

Nenek itu lalu mengangkat kedua le­ngan ke atas, berkemak-kemik diikuti oleh semua mata orang-orang yang me­nonton dari bawah. Dan mulailah cuaca menjadi gelap, makin lama makin gelap. Semua orang menjadi panik, ada yang menjerit-jerit dan ada yang berlutut dan minta-minta ampun kepada nenek yang memiliki ilmu seperti dewa itu! Nenek itu menyudahi permainan sihirnya dan dengan cara ini, Tambolon berusaha mem­bangkitkan kembali semangat para pem­bantunya yang terdiri dari bermacam suku bangsa liar itu.

***

Perawatan yang penuh ketekunan dan kemesraan dari Syanti Dewi membuat hati Tek Hoat menjadi terharu sekali. Berkat pengobatan dari Gak Bun Beng dan Puteri Milana yang pandai, dalam waktu tiga hari saja sembuhlah Tek Hoat.

"Dewi.... aku.... sungguh berhutang budi padamu...." Pagi hari itu Tek Hoat yang sudah duduk di atas pembaringan, ber­kata dengan suara tergetar karena ter­haru. Pagi-pagi sekali dia sudah mandi dan merasa tubuhnya segar, kesehatannya sudah pulih kembali, dan sepagi itu, Syanti Dewi sudah memasuki kamarnya membawa sarapan dan minuman panas.

"Jangan berkata demikian, Tek Hoat. Engkau tahu bahwa aku melakukan semua ini dengan hati tulus ikhlas, dengan rela dan tidak ada budi di antara kita...."

"Dewi, baru memperbolehkan aku me­nyebut namamu saja sudah merupakan kehormatan tiada taranya bagiku. Engkau seorang puteri raja, sedangkan aku.... aku...."

"Engkau seorang pahlawan Bhutan! Semua perajurit dan rakyat menyanjung­mu atas pembelaanmu terhadap Bhutan, Tek Hoat. Dan aku belum mengucapkan terima kasih atas jasamu." Syanti Dewi tersenyum dan Tek Hoat memandang ­silau.

"Tidak, Dewi...., ketahuilah bahwa da­hulu aku...."

"Sudah kauceritakan padaku, Tek Hoat. Engkau penjahat keji katamu. Akan tetapi aku tidak peduli apa adanya engkau da­hulu.... yang penting bagiku adalah apa adanya engkau sekarang ini, Tek Hoat. Bagiku.... engkaulah satu-satunya pria yang paling mulia, paling gagah, paling rendah hati.... dan di kereta itu.... kalau saja semua yang kudengar dari mulutmu itu benar...."

"Tentu saja benar! Aku cinta padamu, demi Tuhan.... aku cinta padamu, akan tetapi aku pun tahu akan keadaan diriku. Tidak! Kau terlalu agung dan aku terlalu rendah.... mencium ujung sepatumu pun masih terlalu terhormat bagiku...."

"Ihh, jangan berkata demikian, Tek Hoat.... perih hatiku mendengarnya. Aku tidak ingin melihat engkau merendah, karena.... engkaulah satu-satunya pria...." Syanti Dewi menundukkan mukanya dan kedua pipinya menjadi merah sekali.

Tek Hoat membelalakkan matanya. Dia sudah merasakan kemesraan dan getaran cinta kasih puteri ini, akan tetapi selalu dibantahnya sendiri karena dianggapnya tidak masuk akal.

"....ya....? Lalu bagaimana...., Dewi?" Suara Tek Hoat gemetar dan jantungnya berdebar seperti akan meledak.

"....engkau satu-satunya pria yang.... kucinta, Tek Hoat...."

"Ahhh....!" Tek Hoat meloncat ke de­kat jendela, membelakangi Syanti Dewi dan menutupi muka dengan kedua tangan untuk menyembunyikan dua butir air mata yang meloncat keluar.

"Tek Hoat....! Ada apakah....?" Syanti Dewi mengejar dan memegang lengan pemuda itu.

Tek Hoat membalik, mereka saling berpegang tangan, saling pandang dan melihat dua butir air mata di bawah mata pemuda itu, Syanti Dewi tersenyum lalu tertarik menangis!

"Kau.... kau menangis....?" bisiknya di antara isaknya.

Tek Hoat mengangguk, menggigit bibir sendiri lalu berbisik, "Tangis baha­gia.... akan tetapi mungkinkah ini....?"

Syanti Dewi tidak menjawab melain­kan kedua lengannya lalu merangkul le­her Tek Hoat dan dia membenamkan mukanya di dada pemuda itu yang me­meluknya, memeluknya dengan ketat se­olah-olah dia hendak menanamkan tubuh puteri itu di dalam dadanya dan mereka tidak akan terpisah lagi, agar tubuh pu­teri itu menjadi satu dengan tubuhnya.

Sampai lama mereka berada dalam keadaan seperti itu, saling peluk dan tidak bergerak, dengan seluruh tubuh mengalirkan getaran-getaran kasih yang hanya dapat dirasakan oleh mereka ber­dua. Mereka lupa akan segala hal, bah­kan Tek Hoat yang mempunyai pende­ngaran terlatih itu tidak mendengar ke­tika ada orang memasuki kamar itu. Suara berdehem dari Sri Baginda menge­jutkan mereka. Tek Hoat melepaskan rangkulannya, lalu menjatuhkan diri ber­lutut sambil memejamkan mata, sadar akan dosanya, sedangkan Syanti Dewi berlari dan menjatuhkan diri berlutut di depan kaki ayahnya.

"Ayah.... kami.... kami saling mencinta...." bisik Syanti Dewi seolah-olah hen­dak melindungi kekasihnya.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya. "Aku sudah mendu­ganya dan aku girang mendengar ini, Anakku. Dia memang pantas menjadi pelindungmu selama hidup dan engkau, Tek Hoat. Sadarkah engkau betapa engkau telah kejatuhan bulan, menerima kurnia yang tak terbilang besarnya karena telah menjadi pilihan hati Syanti Dewi?"

"Hamba.... hamba.... akan memperta­ruhkan nyawa untuk melindunginya dan membikin dia bahagia...." kata Tek Hoat lirih.

Sri Baginda mengangguk-angguk dan mengerutkan alisnya. "Engkau telah mem­perlihatkan pembelaanmu terhadap kera­jaan, akan tetapi hendaknya engkau ingat bahwa kini kota raja kita masih terku­rung musuh, dan selama bahaya ini be­lum dapat dihalau, pantaskah kalau kita memikirkan tentang urusan dan kesenang­an pribadi?"

Tek Hoat terkejut bukan main, dan mukanya menjadi merah sekali. Dia menyadari sepenuhnya betapa marah sebe­tulnya hati orang tua ini melihat puteri­nya bermain asmara sedangkan negara masih terancam bahaya.

"Harap paduka mengampunkan hamba.... sekarang juga hamba akan menyerbu ke luar!" Tek Hoat memberi hormat dan cepat bangkit lalu berlari keluar dari kamarnya.

"Tek Hoat...!" Syanti Dewi menjerit.

"Orang muda, rundingkan segalanya dengan Puteri Milana!" Sri Baginda juga berteriak kemudian dia merangkul puteri­nya dan berbisik, "Dia gagah perkasa, kita lihat saja apakah dia patut menjadi mantu Kerajaan Bhutan, Anakku."

Sementara itu, Tek Hoat sudah berlari ke dalam ruangan besar di mana Milana, Gak Bun Beng dan panglima lainnya te­lah hadir dan sedang mengadakan perun­dingan. Kedatangan Tek Hoat diterima gembira oleh Milana dan Bun Beng.

"Ah, kau sudah sehat kembali, Tek Hoat? Bagus! Memang kami amat mem­butuhkan bantuanmu, dan malam nanti kita harus bergerak."

Tek Hoat lalu duduk dan ikut men­dengarkan rencana siasat yang diatur oleh Puteri Milana. Diam-diam dia mera­sa makin kagum kepada puteri ini dan berdebar jantungnya kalau dia teringat akan cerita tentang dirinya. Ayahnya, manusia iblis yang memperkosa ibunya, adalah kakak tiri dari puteri ini!

"Panglima Jayin sudah mengatur pa­sukan yang berhasil menerobos keluar itu, mengambil kedudukan di empat pen­juru dan sudah mempelajari kedudukan musuh. Dengan penyergapan dari empat penjuru, musuh tentu dapat dibikin kacau dan biarpun jumlah kita kalah banyak, akan tetapi kita menang semangat dan menang perhitungan. Malam nanti cuaca amat gelap dan dingin, sedangkan bala bantuan dari para musuh belum tiba. Gak-suheng akan membawa pasukan, me­nyerbu keluar melalui pintu gerbang ti­mur, dan Tek Hoat memimpin pasukan menyerbu keluar melalui pintu gerbang selatan. Aku sendiri akan memimpin pasukan inti kemudian menyerbu keluar melalui pintu gerbang utara yang menjadi pusat barisan musuh. Serbuan kalian ha­rus diarahkan ke utara dan selagi perang berlangsung, kita akan memberi tanda kepada pasukan-pasukan yang dipimpin oleh Panglima Jayin agar bergerak dari luar dan menyerang bagian belakang pihak musuh."

Setelah membagi-bagi tugas, maka bersiaplah mereka dengan pasukan ma­sing-masing, dibantu oleh para perwira tinggi dan para pendeta Buddha yang memiliki kepandaian silat. Memang sudah diperhitungkan oleh Puteri Milana. Malam itu gelap karena tidak ada bulan, bahkan bintang-bintang di langit hanya nampak sedikit karena tertutup oleh awan. Hawa udara amat dinginnya sehingga para penjaga pihak musuh terkantuk-kantuk di udara terbuka.

Lewat tengah malam, menjelang pagi di waktu hawa sedang dingin-dinginnya dan semua orang sedang mengantuk-ngantuknya, tiba-tiba terdengar bunyi terompet melengking nyaring di pintu gerbang selatan. Pintu gerbang terbuka dan menyerbulah pasukan yang dipimpin oleh Tek Hoat, menyerbu ke tempat pihak musuh yang sudah diketahui sebelumnya. Tentu saja pihak musuh menjadi panik karena baru saja terbangun dari tidur dan tahu-tahu perkemahan mereka diba­kar lawan. Dengan pakaian tidak karuan, bahkan ada yang masih telanjang dan setengah telanjang, mereka berlarian keluar dari perkemahan, untuk mengha­dapi amukan pasukan Bhutan yang berada dalam keadaan segar dan bersemangat. Pula, pertempuran yang terjadi di tempat gelap itu dilakukan dengan baik sekali oleh pasukan Bhutan. Mereka mengenal teman-teman sendiri melalui isyarat ben­takan "houw" yang berarti "harimau" se­hingga biarpun bertanding di dalam gelap, mereka dapat saling mengenal kawan sendiri dan dapat bekerja sama dengan baik. Teriakan-teriakan "houw" terdengar di mana-mana disusul pekik kebingungan dan robohnya para anggauta tentara mu­suh yang tentu saja menjadi panik dan ada yang saling serang di antara kawan sendiri di dalam gelap.

Pada saat yang hampir bersamaan, di pintu gerbang timur, pasukan yang dipim­pin oleh Gak Bun Beng juga mengadakan penyerbuan yang sama, dan pasukan ini menggunakan isyarat bentakan "liong" (naga) untuk saling mengenal kawan sen­diri dalam pertempuran keroyokan dalam gelap itu. Seperti juga Tek Hoat yang memimpin pasukannya dengan penuh ke­beranian dan yang sepak-terjangnya meng­giriskan hati musuh, demikian juga Gak Bun Beng mengamuk seperti seekor naga sakti.

Selagi pihak musuh yang panik mulai dapat diatur oleh Tambolon dan para pembantunya, tiba-tiba di udara yang gelap kelihatan sinar merah meluncur di angkasa. Empat kali sinar merah itu me­luncur dan tiba-tiba terdengar bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai dari mana-mana, dari empat penjuru dan me­nyerbulah pasukan-pasukan yang bersem­bunyi di dalam hutan-hutan, yaitu pasu­kan-pasukan yang tiga hari yang lalu telah menyelundup keluar di bawah pim­pinan Panglima Jayin. Kejadian ini benar-benar mengejutkan hati Tambolon karena tahu-tahu barisannya diserang dari bela­kang dan di empat penjuru pula!

Pelepas anak panah api merah sebagai isyarat itu adalah Puteri Milana sendiri yang kini memimpin pasukan inti yang paling besar jumlahnya, keluar dari pintu gerbang utara disertai bunyi terompet, tambur dan sorak-sorai bergemuruh, lalu menyerbu keluar. Maka kacau-balaulah pasukan musuh karena seolah-olah me­reka menghadapi lawan dari depan, bela­kang, kanan dan kiri! Apalagi pihak Bhu­tan menyerang di malam gelap, dengan gerakan begitu teratur sehingga pihak Tambolon menyangka bahwa bala bantuan untuk Bhutan datang dari empat penjuru.

Memang siasat yang dilaksanakan oleh Puteri Milana itu hebat sekali. Semacam perang gerilya yang diperhitungkan dengan masak-masak sehingga biarpun jumlah tentara Bhutan jauh lebih kecil, namun sekali pukul ini membuat pasukan-pasukan Tambolon yang jauh lebih banyak itu menjadi kacau-balau dan kocar-kacir. Hal ini adalah karena Tambolon terlalu meng­andalkan jumlah besar pasukannya, akan tetapi pasukan-pasukan itu terdiri dari bermacam suku bangsa sehingga tentu saja tidak ada persatuan yang kompak. Mereka ini hanya mengandalkan keberani­an dan tenaga kasar saja, maka meng­hadapi siasat yang cerdik itu mereka menjadi panik dan banyak di antara me­reka yang menjadi korban dalam perang yang terjadi di malam gelap, hanya di­terangi oleh berkobarnya api yang mem­bakar perkemahan-perkemahan mereka.

Akan tetapi, Tambolon dan para pem­bantunya dengan nekat melakukan perla­wanan mati-matian sehingga pertempuran itu berlangsung sampai hari menjadi te­rang. Kini nampaklah pertempuran itu dan di mana-mana mayat anggauta pasu­kan-pasukan Tambolon berserakan, api masih berkobar dan pihak musuh yang tadinya mengepung di selatan telah dapat didesak oleh Tek Hoat sehingga mereka mundur ke arah timur kota raja di mana mereka menggabungkan diri dengan pa­sukan di timur yang juga mengalami hantaman dahsyat dari pasukan yang di­pimpin oleh Gak Bun Beng dan pasukan yang menyerbu dari luar. Kini pasukan "harimau" yang dipimpin Tek Hoat, bergabung dengan sisa pasukan yang me­nyerbu dari belakang musuh, bersatu dengan pasukan timur dan terjadilah perang yang amat besar di mana Tek Hoat dan Gak Bun Beng berkelahi bahu-membahu dan sepak-terjang dua orang ini memang hebat sekali, menggiriskan pihak lawan. Biarpun mereka tidak memegang senjata, namun kedua tangan dan kaki mereka merupakan senjata-senjata yang amat ampuhnya.

Pada saat perang sedang hebat-hebat­nya, tiba-tiba saja udara menjadi gelap, makin lama makin gelap sehingga meng­gelisahkan pasukan Bhutan, apalagi karena agaknya pihak musuh tidak merasakan kegelapan itu.

"Ini tidak wajar! Perbuatan sihir....!" Beberapa orang pendeta Buddha yang membantu pasukan Kerajaan Bhutan ber­seru dan mereka itu segera duduk bersila untuk melawan pengaruh sihir itu. Na­mun, pengaruh itu terlampau kuat se­hingga mereka tidak mampu menandinginya dan kini bahkan banyak anak buah pasukan Bhutan yang merasa ngeri karena mereka melihat awan hitam bergulung-gulung dan dari awan itu muncul naga-naga yang menyemburkan api! Tentu saja perasaan ngeri dan takut itu membuat mereka kurang waspada dan banyak di antara mereka yang roboh oleh babatan senjata lawan.

Gak Bun Beng dan Tek Hoat juga merasakan pengaruh mujijat ini. "Celaka, agaknya musuh menggunakan ilmu hitam!" kata Bun Beng yang sudah berpengalam­an, namun dia merasa tidak berdaya karena dia tidak menguasai ilmu itu.

"Tentu nenek iblis Durganini!" Tek Hoat berseru. "Gak-taihiap, biar aku mencari nenek iblis itu. Kalau dia dapat dibinasakan, tentu lenyap pengaruh mu­jijat ini!" Sebelum Bun Beng menjawab, pemuda yang perkasa ini sudah melompat dan merobohkan setiap orang penghalang. Bun Beng merasa khawatir karena maklum betapa lihainya nenek yang kabarnya adalah guru dari Tambolon dan memiliki kepandaian yang amat hebat itu, maka dia pun lalu mengejar bayangan Tek Hoat yang mengamuk dan menuju ke utara.

Dugaan Tek Hoat memang tepat. Me­lihat keadaan pasukannya kocar-kacir dan terancam kemusnahan, Tambolon menjadi bingung dan jengkel karena tidak melihat gurunya. Maka dia lalu mencari sendiri dan melihat nenek yang pikun itu masih enak-enak tidur mendengkur di dalam perkemahan, dia setengah menyeret gu­runya itu untuk disuruh membantu.

Nenek yang terganggu tidurnya itu mengomel, akan tetapi dia memenuhi permintaan muridnya, mengerahkan ke­kuatan ilmu hitamnya dan menciptakan awan hitam yang mengandung banyak naga siluman sehingga pihak musuh men­jadi panik dan ketakutan. Akan tetapi, selagi nenek ini berdiri dengan kedua lengan bersilang di depan dada, di depan­nya mengepul seikat dupa yang dibakar, mulutnya berkemak-kemik dan asap hio membubung tinggi menciptakan peman­dangan yang aneh itu, tiba-tiba muncul seorang kakek berkaki satu.

Kakek ini bukan lain adalah Pendekar Super Sakti Suma Han yang datang ber­sama Ceng Ceng dan rombongan peng­gembala liar yang hendak membantu "perjuangan" Raja Tambolon. Kebetulan sekali begitu memasuki daerah pertem­puran, Pendekar Super Sakti melihat gejala yang tidak wajar yang ditimbulkan oleh ilmu sihir Nenek Durganini. Tentu saja Suma Han terkejut bukan main.

"Nona, kautunggu dulu di sini...." katanya dan sebelum Ceng Ceng sempat menjawab kakek berkaki satu itu sudah berkelebat dan lenyap di antara banyak orang yang sedang bertanding.

Ceng Ceng berdiri bengong dan tentu saja dia segera membantu pasukan Bhu­tan yang dikenalnya dari pakaiannya. Me­lihat gadis asing ini tahu-tahu mengamuk dan membantu mereka para perajurit Bhutan menjadi girang dan mereka ber­tanding dengan penuh semangat.

Dengan kecepatan kilat karena gerak Ilmu Soan-hong-lui-kun, Pendekar Super Sakti kini tiba di depan Nenek Durganini yang masih mengerahkan ilmunya. Pendekar Super Sakti mengerutkan alisnya, tidak senang melihat nenek itu menggu­nakan ilmu hitam dalam perang. Maka dia lalu menggerakkan tangan kirinya, didorongkan ke depan, ke arah dupa yang mengepulkan asap itu.

"Blaaarrr....!" Tampak sinar kilat dan tempat dupa itu hancur berantakan, api­nya berhamburan dan seketika itu juga lenyaplah awan gelap yang mengandung naga-naga siluman.

Nenek Durganini terkejut bukan main dan cepat dia memandang ke depan. Ketika dia melihat seorang laki-laki ber­usia kurang dari enam puluh tahun, ber­kaki satu, berdiri tegak bersandar pada tongkat bututnya, laki-laki yang memiliki sepasang mata yang tajam dan seperti dua buah bintang amat berwibawa, dia menjadi marah.

"Heh-heh, manusia lancang. Berani engkau menentang Durganini? Lihat be­tapa api neraka membasmi orang-orang Bhutan!" Nenek itu menudingkan telunjuk­nya ke atas dan dari telunjuknya itu me­nyambar kilat ke atas yang berubah menjadi api berkobar dan api ini mengejar orang-orang Bhutan yang tentu saja lari ketakutan karena ada lidah-lidah api yang "hidup" mengejar-ngejar mereka.

"Hemm, mengapa engkau begitu ke­jam?" Suma Han berseru dan menggerak­kan tangannya ke atas. "Apa artinya api menghadapi air?" Tiba-tiba saja dari atas turun hujan lebat dan padamlah lidah-lidah api itu! Orang-orang Bhutan tidak melihat mengapa awan gelap yang me­ngandung naga-naga siluman tadi lenyap, tidak mengerti pula mengapa ada hujan turun memadamkan lidah-lidah api, akan tetapi hal ini membuat mereka bergembira dan bersorak-sorailah mereka. Suara sorak-sorai yang menggegap-gempita itu membuat Nenek Durganini menjadi makin marah karena dia merasa seolah-olah dia yang ditertawai!

"Keparat, siapa kau?" tanyanya ke­pada Suma Han sambil mengerahkan tenaga di dalam pandang matanya untuk menguasai orang yang kakinya buntung sebelah itu.

"Namaku Suma Han," jawab Pendekar Super Sakti dengan tenang dan dia pun menentang pandang mata itu dengan sikap tenang dan penuh kesabaran.

Nenek yang berpakaian serba hitam itu mengeluarkan suara melengking tinggi. "Engkau berani menentang Durganini, berarti engkau sudah bosan hidup!" Sam­bil berkata demikian, dia melontarkan tongkat hitamnya ke atas dan tongkat itu berubah menjadi Nenek Durganini ke dua yang menerjang ke depan dengan ke­dua tangan membentuk cakar harimau. Suma Han memandang tajam lalu melon­tarkan tongkatnya pula yang juga berubah menjadi bayangan dirinya. Maka bertem­purlah dua bayangan itu dengan hebatnya di udara! Orang-orang yang sedang bertanding di tempat itu, baik anak buah Tambolon maupun orang-orang Bhutan, berhenti bertempur karena mereka melihat peris­tiwa yang amat luar biasa itu. Mereka melihat nenek berpakaian hitam itu ber­diri berhadapan dalam jarak enam tujuh meter dari seorang kakek berkaki satu.

Keduanya berdiri tidak bergerak, akan tetapi di atas.... udara, di antara mereka, nampak dua batang tongkat bergerak sendiri dan saling serang seolah-olah kedua batang tongkat itu bernyawa!

Suma Han menjadi terkejut dan ka­gum. Tahulah dia bahwa dia bertemu de­ngan seorang ahli sihir yang amat kuat tenaga batinnya, maka maklumlah dia bahwa kalau hanya mengandalkan kekuat­an sihir, mungkin dia akan kalah. Akan tetapi sebelum dia bergerak untuk menggunakan kepandaian silatnya, tiba-tiba muncul See-thian Hoat-su dan gadis re­maja yang menjadi muridnya itu.

"Pendekar Siluman, dia itu isteriku, harap kau maafkan dia!" kata kakek ini yang sudah meloncat ke dekat Nenek Dur­ganini. Nenek itu memang kalah dalam hal ilmu silat terhadap bekas suaminya ini, dan karena dia sedang mencurahkan seluruh tenaga sihirnya untuk menghadapi kakek berkaki tunggal yang ternyata merupakan lawan yang tangguh dalam ilmu sihir, maka dia tidak mampu melawan lagi ketika bekas suaminya itu menotoknya dan dia roboh lalu dipanggul oleh bekas suaminya itu.

Suma Han sudah menarik kembali tongkatnya. See-thian Hoat-su tertawa dan berkata kepadanya, "Kalau tidak ada engkau yang membantu, sukar aku me­nundukkan isteriku yang binal. Terima kasih dan sampai jumpa, Pendekar Silu­man!" See-thian Hoat-su lalu memegang tangan muridnya. "Hayo kita pergi, Siang In."

"Ouhhh.... Suhu, aku ingin ikut main-main dalam keramaian ini. Bukkk!" kakinya menyambar dan tepat menendang pantat seorang anak buah Tambolon se­hingga orang itu berjingkrak-jingkrak dan mengaduh-aduh karena tulang di antara pinggulnya remuk terkena tendangan Siang In. Kemudian dara ini meloncat dengan elakan manis, ketika seorang lawan menusuknya dengan tombak, lalu membalik dan menuding ke arah orang itu.

"Eihhh, mengapa engkau memegang ular?"

Orang itu tiba-tiba terbelalak karena tombak di tangannya itu tiba-tiba saja berubah menjadi seekor ular! Sebelum dia sadar bahwa dia menjadi permainan seorang gadis yang baru saja mempelajari ilmu sihir, Siang In sambil tertawa sudah menampar kepalanya. Dia berusaha meng­elak, akan tetapi tetap saja jari-jari tangan yang kecil halus itu mengenai pelipisnya, membuat dia berputaran tujuh keliling dan dunia menjadi gelap baginya.

Seorang lain dengan golok di tangan menyerangnya marah sekali. "Hei, lihat, siapa aku? Aku adalah ibumu!" Siang In berteriak dan orang itu menahan goloknya, terbelalak memandangnya karena bagi pandang matanya, gadis remaja cantik itu tiba-tiba berubah menjadi ibunya yang telah mati beberapa tahun yang lalu.

"Dukkk!" Orang yang sedang bengong terlongong itu tentu saja tidak dapat mengelak lagi ketika kepalan tangan Siang In menonjok lambungnya. Dia ter­pelanting dan memegangi perutnya yang menjadi mulas, agaknya usus buntunya yang terkena hantaman kepalan tangan yang kecil namun kuat itu. Melihat hasil ilmu sihir yang baru saja dipelajari dari gurunya itu, Siang In menjadi gembira bukan main sehingga dia menjadi kurang waspada.

"Bocah setan, mau lari ke mana kau?" Tiba-tiba ada dua buah lengan yang pan­jang, kuat dan berbulu meringkusnya dari belakang. Siang In berusaha meronta, na­mun orang itu kuat sekali sehingga usaha­nya sia-sia belaka. Rasa takut membuat dia kehilangan kekuatan sihir yang baru saja dilatihnya itu. Akan tetapi dasar Siang In seorang yang cerdik, biarpun dia tahu bahwa ilmu sihirnya takkan dapat menolongnya, dia tidak menjadi khawatir, bahkan dia lalu tersenyum manis sekali dan mengangkat mukanya sehingga muka­nya dapat terlihat oleh orang tinggi be­sar yang meringkusnya. Orang itu me­nunduk dan terpesona oleh kecantikan wajah yang tersenyum luar biasa manis­nya itu.

"Aihh.... kamu benar jantan dan kuat sekali.... akan tetapi pelukanmu terlalu kuat.... menyakitkan...." kata Siang In de­ngan lagak yang amat genit karena dia telah meniru lagak Si Siluman Kucing atau Mauw Siauw Mo-li seperti yang pernah dia demonstrasikan kepada Suma Kian Bu. Mulutnya tersenyum agak ter­buka, matanya mengerling tajam penuh daya pikat dan biarpun dia menyandarkan kepalanya di dada orang itu, diam-diam dia melangkah maju. Laki-laki itu benar-benar terpesona dan otomatis dia me­longgarkan ringkusannya. Daya tarik yang keluar dari sikap dan kecantikan wajah Siang In kiranya tidak kalah hebat dan kuatnya daripada ilmu sihirnya, maka orang itu seperti kehilangan kewaspada­annya, tidak tahu betapa tiba-tiba kaki Siang In yang kecil itu membuat gerakan menyepak seperti seekor kuda ke belakang.

"Bukkk.... aughhhh.... adouuuuhhh...." Laki-laki itu mendekap bawah perutnya yang kena dihantam tumit kaki Siang In dan mengaduh-aduh setengah berjongkok. Siang In mengayun kakinya lagi menen­dang, mengenai dagunya dan orang itu roboh terjengkang, akan tetapi masih memegangi alat kelaminnya yang kena disepak dan yang rasanya kiut-miut menusuk tulang, terasa sampai ke ubun-ubun!

"Bocah nakal, hayo kita pergi!" See-thian Hoat-su kini berhasil memegang pergelangan tangan muridnya dan mem­bawanya loncat berkelebat dan lenyap dari situ membawa murid dan bekas isterinya.

Pendekar Super Sakti menggeleng-geleng kepala sambil tersenyum menyak­sikan keadaan kakek, bekas isterinya, dan muridnya itu. Dia tidak lagi bergerak, akan tetapi mereka yang bertempur di sekelilingnya tidak ada yang berani meng­ganggunya.

Sementara itu, Ceng Ceng yang tentu saja mempunyai rasa setia kawan dengan Bhutan, sudah mengamuk sampai terpisah agak jauh dari Pendekar Super Sakti, dan dia pun tidak tahu apa yang telah terjadi antara Pendekar Super Sakti dengan Ne­nek Durganini, karena pihak musuh sudah mengepungnya ketika melihat betapa lihainya dara ini yang telah merobohkan banyak lawan.

Tiba-tiba terjadi keributan tak jauh dari situ. Ketika Ceng Ceng menengok, dia melihat Tek Hoat yang juga meng­amuk dan merobohkan setiap orang anak buah Tambolon yang berdekatan dengan­nya. Begitu melihat pemuda ini, timbul kemarahan hebat di hati Ceng Ceng. Teringat dia betapa dia oleh pemuda ini diserahkan kepada Tambolon sebagai pe­nukar Syanti Dewi, betapa dia telah ditipu oleh Tek Hoat.

"Jahanam keparat!" Dia memaki dan meninggalkan musuh-musuhnya, lalu lari dan tiba-tiba saja dia menyerang Tek Hoat.

Serangan itu demikian dahsyatnya karena kemarahan di hati Ceng Ceng secara otomatis menggerakkan tenaga sin-kang mujijat di dalam tubuhnya yang timbul dari khasiat anak ular naga. Angin pukulan yang amat hebat menyambar dan Tek Hoat menjadi terkejut bukan main karena ketika dia menangkis, dia masih terhuyung ke belakang! Akan tetapi ke­tika dia melihat bahwa yang menyerang­nya adalah Ceng Ceng, dia memandang rendah dan juga menjadi marah.

"Hemm, kiranya engkau telah diper­alat oleh Si Keparat Tambolon pula?" teriaknya dan melihat Ceng Ceng me­nyerang lagi, dia cepat mengelak dan balas menyerang! Diam-diam Tek Hoat terkejut melihat kemajuan hebat dalam gerakan Ceng Ceng. Dia tidak tahu bah­wa selama ini Ceng Ceng telah menerima petunjuk-petunjuk dari Topeng Setan dan telah memiliki sin-kang mujijat dari anak ular naga. Maka terjadilah pertandingan yang amat seru dan para perajurit kedua pihak tidak ada yang berani mendekati karena gerakan dua orang itu mendatang­kan hawa pukulan yang bersiutan dan dari jauh saja mereka hampir tidak dapat menahan.

Betapapun juga, tingkat kepandaian Tek Hoat masih jauh di atas tingkat Ceng Ceng, dan mulailah Tek Hoat mendesaknya. Akan tetapi, semenjak dahulu, ada perasaan aneh di dalam hati pemuda ini terhadap Ceng Ceng, rasa suka yang aneh, maka sekarang pun dia merasa tidak tega untuk merobohkan Ceng Ceng. "Ceng Ceng, kau mundurlah dan jangan tolol membela Tambolon!" beberapa kali Tek Hoat berseru kepadanya.

Ceng Ceng maklum bahwa Tek Hoat membela Bhutan dan salah menduga dia menjadi kaki tangan Tambolon. Akan te­tapi dia tidak peduli. Dengan Tek Hoat dia mempunyai urusan pribadi yang tidak ada sangkut-pautnya dengan Bhutan atau Tambolon, dan dia tidak mau membela diri dari tuduhan itu. Dia tidak takut mati, bahkan kalau dia tidak dapat me­nangkap Tek Hoat, biarlah dia mati me­nyusul Topeng Setan. Coba kalau ada Topeng Setan di sisinya, Tek Hoat ini tentu tidak berani banyak lagak terhadap dirinya! Teringat akan Topeng Setan, hatinya berduka sekali dan dia menjadi makin nekat!

Tek Hoat merasa kewalahan juga ketika Ceng Ceng menyerangnya lebih hebat dan lebih nekat, seolah-olah dara itu tidak mempedulikan keselamatan diri­nya sendiri. "Ceng Ceng, jangan bodoh kau, mundurlah! Kalau tidak, terpaksa aku akan membunuhmu!"

"Sombong, keparat keji! Siapa takut mampus?" Ceng Ceng membentak marah sekali, lalu menerjang seperti seekor singa betina menghantam kepala Tek Hoat dengan tangan kanannya.

"Plakkk....!" Tek Hoat cepat menyam­bar pergelangan tangan Ceng Ceng dan ketika tangan kiri Ceng Ceng menampar, dia cepat menangkis sedemikian kuatnya sehingga pasangan kuda-kuda kaki Ceng Ceng tergempur dan saat itu digunakan oleh Tek Hoat yang masih memegang pergelangan tangan Ceng Ceng dengan tangan kirinya untuk menghantamkan ta­ngan kanannya yang terbuka dan yang mengandung penyaluran sin-kang Inti Bumi ke arah kepala Ceng Ceng. Hantam­an ini kalau mengenai kepala dara itu tentu akan menghancurkannya dan mem­binasakan, karena tenaga yang terkan­dung amat kuatnya, cukup kuat untuk membikin remuk batu karang.

"Tek Hoat, jangan....!"

Seruan Gak Bun Beng ini dibarengi dengan dorongan tangan kiri sehingga ada hawa pukulan menyentuh punggung Tek Hoat. Pemuda ini terkejut sekali, dan sekaligus dia pun sadar akan apa yang akan dilakukannya terhadap dara yang sebetulnya amat disukanya itu, bahkan andaikata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi, besar sekali kemungkinannya dia akan jatuh cinta kepada Ceng Ceng. Dan sekarang, karena desakan Ceng Ceng yang sudah nekat, hampir saja dia mem­bunuh gadis ini! Dia cepat meloncat mundur dan melepaskan pegangannya sehingga Ceng Ceng terhuyung-huyung.

"Tek Hoat, apakah kau sudah gila?" Gak Bun Beng membentaknya. "Tidak tahukah engkau, Ceng Ceng, bahwa kali­an sebetulnya adalah saudara-saudara se­ayah?"

Akan tetapi ucapan itu hampir tidak kedengaran karena pada saat itu Ceng Ceng sudah memaki-maki Tek Hoat, "Manusia sombong, manusia curang dan jahat. Kalau.... kalau Paman Topeng Se­tan tidak mati.... kalau dia ada.... kau tidak akan berani menjual lagak....!" Dan segera dara ini menangis terisak-isak karena teringat kepada Topeng Setan yang begitu baik, yang jauh sekali bedanya dengan Tek Hoat ini!

Akan tetapi Tek Hoat mendengar ucapan Gak Bun Beng tadi dan dia ber­seru, "Apa....? Dia.... Ceng Ceng ini.... saudaraku sendiri?"

Mendengar ini, Ceng Ceng terbelalak, lalu berjebi. "Huh, aku saudaramu? Siapa bilang? Tak sudi aku mempunyai saudara macam engkau!"

"Ceng Ceng, jangan kau berkata de­mikian. Tek Hoat ini pun putera dari ayah kandungmu, Wan Keng In, hanya bedanya, kalau ibumu adalah Lu Kim Bwee, ibu Tek Hoat adalah Ang Siok Bi. Kalian masih kakak beradik, seayah."

Tek Hoat menjadi bengong. "Pantas...." bisiknya lirih. "Pantas aku mempunyai perasaan yang aneh terhadap dia.... aku suka sekali padanya...."

"Hah, kau suka dan baru saja engkau hendak membunuhku?" Ceng Ceng ber­seru marah. "Kakak macam apakah kau ini?"

"Ceng Ceng...., maafkan aku.... karena engkau begitu nekat dan kepandaianmu hebat sekali sehingga amat berbahaya...."

"Sudahlah, nanti kita bicara. Musuh masih banyak," kata Gak Bun Beng yang sudah cepat melerai mereka. "Ceng Ceng, bagaimana kau bisa tiba di sini?"

"Saya datang bersama Locianpwe Pendekar Super Sakti."

"Ahhh....?" Gak Bun Beng terkejut dan berseru girang. "Di mana beliau?" Ketika Ceng Ceng menunjuk dengan jarinya ke arah perginya Pendekar Super Sakti, Bun Beng cepat pergi untuk mencari gurunya sambil berkata, "Tek Hoat, kau harus melindungi adikmu itu."

Setelah Gak Bun Beng pergi, dua orang muda itu saling pandang, Tek Hoat tersenyum dan wajahnya berseri karena sungguh girang hatinya mendengar bahwa gadis yang amat disukanya ini ternyata adalah adiknya! Akan tetapi Ceng Ceng tetap cemberut, masih panas hatinya teringat betapa tadi hampir saja dia dibunuh oleh Tek Hoat.

"Ceng Ceng, engkau.... engkau adik­ku...."

"Huh, belum tentu! Ibu kita berlainan, siapa tahu kalau-kalau aku yang lahir lebih dulu daripada engkau. Mungkin aku malah encimu!"

"Adik atau enci, pokoknya kita ber­saudara, dan aku girang sekali. Eh, Ceng Ceng, aku tahu bahwa sejak kecil engkau di Bhutan, mari kita berlomba untuk membunuh Tambolon!"

Ceng Ceng hanya mengangguk karena untuk membunuh musuh besar itu, tentu saja dia tidak dapat membantah.

"Hayo ikut dengan aku!" Tek Hoat cepat merobohkan dua orang sambil me­loncat, diikuti oleh Ceng Ceng yang juga membuka jalan sambil merobohkan anak buah Tambolon. Mereka mencari-cari dan akhirnya mereka melihat Tambolon se­dang mengamuk, dikeroyok oleh Panglima Jayin dan beberapa orang perwira Bhutan, akan tetapi mereka ini terdesak hebat oleh Tambolon yang mengamuk dengan kemarahan meluap-luap karena gurunya telah dilarikan oleh Kakek See-thian Hoat-su dan pasukannya telah kocar-kacir. Raja liar ini menggunakan senjata golok gagang panjang dan sepak-terjangnya dahsyat sekali.

"Ciangkun, minggirlah, biar kami ber­dua yang akan menghadapinya!" Tek Hoat berseru dan melihat pemuda ini, Panglima Jayin menjadi girang dan memerintahkan para pembantunya untuk mundur. Akan tetapi dia melihat Ceng Ceng dan dengan girang sekali dia berseru, "Sumoi....!" Seperti kita ketahui, Panglima Jayin ini adalah murid dari mendiang kakek Lu Kiong dan sejak dahulu dia memanggil Ceng Ceng sumoi.

"Suheng, biarlah aku menghadapi raja liar itu." Ceng Ceng berkata sambil me­lompat ke depan. Panglima Jayin tentu saja meragu dan khawatir sekali karena dia tahu bahwa tingkat kepandaian sumoi­nya ini tidak jauh dengan tingkatnya, bahkan dia masih lebih tinggi sedikit. Akan tetapi melihat loncatan Ceng Ceng yang seperti burung walet terbang itu, dia terkejut dan girang, maklum bahwa sumoinya itu tidak boleh dibandingkan dengan sumoinya di waktu belum meninggalkan Bhutan dahulu.

Melihat majunya Tek Hoat dan Ceng Ceng, Tambolon terkejut bukan main karena dia maklum akan kelihaian pemuda itu, dan teringat betapa dahulu nona ini pernah membebaskan diri dengan mem­perlihatkan tenaga mujijat, dia pun ma­klum bahwa nona yang telah memperoleh khasiat dari anak ular naga ini telah me­miliki tenaga sakti yang juga amat hebat. Akan tetapi karena dia sendiri percaya penuh akan dirinya sendiri, juga agar tidak menurunkan semangat anak buahnya, dia tertawa bergelak dan sekali tangan kanannya bergerak, terdengar bunyi "karakk!" dan gagang goloknya yang pan­jang itu telah dipatahkannya sehingga berubah menjadi sebatang golok gagang biasa. Kemudian tangan kirinya meraba pinggangnya. "Singgg....!" tercabutlah se­batang pedang yang mengeluarkan sinar yang mujijat dan menyeramkan.

"Ha-ha-ha, bocah perempuan setan! Engkau akan mampus di ujung pedangmu sendiri!"

Ceng Ceng terkejut dan marah ketika mengenal Ban-tok-kiam, yaitu pedang pemberian Ban-tok Mo-li yang telah di­rampas dari tangannya oleh raja liar itu.

"Tambolon keparat! Aku harus mem­bunuhmu!" Ceng Ceng yang sudah nekat itu menubruk ke depan dengan tangan kosong, mengirim pukulan yang dahsyat. Tambolon menggerakkan pedang itu me­mapaki.

"Ceng Ceng, hati-hatilah....!" Tek Hoat mengkhawatirkan keselamatan gadis yang nekat itu dan cepat dia pun mengirim pukulan dahsyat ke arah Tambolon. Raja liar ini terpaksa menggunakan goloknya menyambut serangan Tek Hoat.

Tentu saja Ceng Ceng tidak membiar­kan dirinya dimakan pedangnya sendiri begitu saja, tubuhnya sudah cepat meng­elak dan dari bawah kakinya menyambar ganas ke arah pergelangan tangan lawan yang memegang pedang. Akan tetapi Tambolon dapat menarik tangannya dan pada saat itu, Tek Hoat yang sudah mengelak pula telah menghantam dengan pukulan jarak jauh.

"Desss....!" Tambolon terpaksa mene­rima hawa pukulan itu dengan bahunya dan dia terhuyung. Bukan main kagetnya dan kini dia menggerakkan pedang dan golok itu, diputar-putar sehingga tampak­lah dua sinar saling membelit dan ber­gulung-gulung mengelilingi tubuhnya.

"Taihiap, pakailah ini! Sumoi, pakailah senjata ini!" Tiba-tiba terdengar Panglima Jayin berseru dan dua batang pedang melayang ke arah Tek Hoat dan Ceng Ceng yang cepat menyambarnya. Ceng Ceng girang melihat pedang di ta­ngannya karena dia mengenal pedang mendiang kakeknya yang dihadiahkan ke­pada suhengnya itu, sedangkan pedang yang diberikan kepada Tek Hoat itu pun merupakan pedang pusaka Bhutan karena pedang itu adalah pedang kebesaran tan­da pangkat Jayin yang diterimanya dari rajanya. Biarpun kedua pedang itu tidak dapat dibandingkan dengan Ban-tok-kiam yang mujijat dan beracun, akan tetapi keduanya terhitung pedang pusaka yang terbuat dari baja pilihan.

Maka terjadilah pertandingan yang amat hebat, Tek Hoat dan Ceng Ceng cukup cerdik untuk mengenal keampuhan pedang Ban-tok-kiam maka mereka tidak mau mengadu pedang mereka dengan Ban-tok-kiam, akan tetapi ketika golok di tangan kanan Tambolon menyambar, seperti telah bersepakat lebih dahulu, pemuda dan gadis itu menggerakkan pe­dang yang menggunting dari kanan kiri.

"Krekkk!" Patahlah golok itu dan Tambolon terpaksa meloncat mundur sambil memutar Ban-tok-kiam di tangan kirinya.

Ceng Ceng meloncat dan mengejar, diikuti oleh Tek Hoat. Keduanya mengu­rung dan menghimpit sehingga biarpun tangannya memegang pedang yang ampuh, tetap saja Tambolon terdesak hebat dan mulai merasa cemas.

Tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan muncullah dua orang lawan tangguh, yaitu Liauw Kui Si Petani Maut dan Yu Ci Pok Si Siucai Maut, dua orang pengawal pribadi dari Tambolon. Si Petani Maut telah memutar batang pikulannya dan Yu Ci Pok sudah menggerakkan siang-koan-pit secara hebat.

Melihat hal ini, tentu saja Jayin dan teman-temannya tidak tinggal diam, akan tetapi mereka didahului oleh bentakan halus nyaring, "Harap kalian minggir!"

Panglima Jayin terkejut dan girang mengenal Puteri Milana. Kiranya panglima yang memimpin seluruh pertahanan Bhu­tan itu sendiri yang berkenan turun tangan menghadapi dua orang lihai ini.

"Bibi Milana....!" Ceng Ceng berseru girang melihat Milana.

Milana yang sudah menggerakkan pe­dangnya menyambut sinar pikulan dan siang-koan-pit itu, tersenyum kepada Ceng Ceng. "Engkau membantu saudara­mu? Bagus!"

Tek Hoat juga girang melihat puteri ini, karena hal itu hanya menandakan bahwa pasukan mereka telah menang. Kalau tidak, tentu puteri ini tidak sem­pat turun tangan sendiri.

"Ceng Ceng, kaubantulah Sang Puteri!" katanya.

"Hushh, Sang Puteri itu adalah bibi kita, tolol. Ayah kita adalah juga kakak tirinya." Ceng Ceng menegur, akan tetapi dia tetap mendesak Tambolon.

"Kepala batu! Aku tidak suka kauban­tu! Aku ingin menghadapi Tambolon sendiri!" Tek Hoat berseru karena dia ma­klum bahwa betapapun juga, masih amat berbahaya bagi Ceng Ceng untuk meng­hadapi Tambolon yang amat lihai itu.

Puteri Milana mengerti akan isi hati Tek Hoat, maka melihat bahwa pemuda itu cukup tangguh untuk menghadapi Tambolon, dia berkata, "Ceng Ceng, kaubantulah aku. Aku sudah lelah."

Mendengar ini, tentu saja Ceng Ceng meloncat seperti kilat dan dia sudah me­nerjang Yu Ci Pok dan mendesak siucai ini dengan gerakan pedangnya yang mengandung tenaga mujijat sehingga tang­kisan siucai itu membuat tangannya ter­getar dan siucai itu pun terkejut bukan main.

Pertandingan terpecah menjadi tiga dan kini tempat itu dikurung oleh pasu­kan Bhutan yang ingin menonton pertan­dingan hebat ini, juga Jayin dan teman-temannya ikut pula menonton karena kini pihak musuh sudah kocar-kacir dan ke­menangan sudah di depan mata. Keadaan tidak berbahaya lagi maka "tontonan" yang demikian hebatnya tidak akan mereka lepaskan begitu saja.

Tanpa diketahui orang lain, Milana berbisik kepada Ceng Ceng, "Jangan robohkan lawan, biar mereka semua ini dirobohkan oleh saudaramu yang akan menjadi calon mantu Raja Bhutan."

Mendengar ini, sepasang mata Ceng Ceng terbelalak, jantungnya berdebar dan diam-diam dia merasa terharu sekali. Kakak angkatnya, Puteri Syanti Dewi akan menjadi isteri Tek Hoat! Dan Tek Hoat adalah saudaranya, satu ayah! Dia tidak mampu menjawab, hanya meng­angguk dan bersama Puteri Milana dia melayani lawannya seperti main-main saja. Kalau mereka mau, apalagi Puteri Milana yang menghadapi Si Petani Maut, tentu dengan amat mudahnya mereka mengalahkan lawan mereka itu.

Yang bertanding secara sungguh-sung­guh dan mati-matian adalah Tek Hoat. Hebat sekali pemuda ini menyerang dan mendesak Raja Liar Tambolon. Raja liar ini pun mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya karena dia maklum bahwa dia tersudut dan tidak dapat melarikan diri lagi. Jalan satu-satunya hanya mempertahankan diri sampai saat terakhir dan kalau mungkin membunuh musuh sebanyaknya. Akan tetapi pemuda ini terlalu tangguh baginya.

Setelah bertanding hampir seratus jurus, Tambolon makin terdesak dan mu­kanya sudah basah oleh keringat. Baiknya dia memiliki pedang Ban-tok-kiam, karena kalau tidak demikian, tentu sudah tadi dia roboh oleh pemuda yang luar biasa ilmu silatnya ini. Tiba-tiba ketika kaki­nya menendang, ujung kakinya dapat me­nyerempet paha Tek Hoat dan pemuda itu terguling jatuh. Semua orang menjerit, kecuali Puteri Milana yang berpeman­dangan tajam dan yang melayani Si Pe­tani Maut sambil menonton!

Tambolon mengeluarkan suara gereng­an seperti seekor harimau marah, pedang Ban-tok-kiam menyambar ketika dia me­nubruk lawan yang sudah roboh di tanah itu. Akan tetapi tiba-tiba kaki Tek Hoat bergerak dan hawa pukulan yang luar biasa dahsyatnya menyambar.

"Bresss....!" Tambolon memekik kaget dan kesakitan, pedang Ban-tok-kiam ter­lempar jauh dan dia terdorong sampai bergulingan. Kiranya Tek Hoat yang sengaja menjatuhkan diri itu telah meng­gunakan kekuatan Inti Bumi yang paling ampuh, yang diambilnya dari tenaga bumi ketika dia rebah, dan kakinya telah menyerang dengan kekuatan luar biasa, yang kiri menendang pergelangan tangan lawan sehingga pedang Ban-tok-kiam terlempar, kaki kanan menendang ke arah dada dan biarpun sudah ditangkis oleh tangan kiri Tambolon, tetap saja tubuh raja yang tinggi besar seperti raksasa itu terlempar dan bergulingan.

Tek Hoat sudah meloncat dan menge­jar. Tambolon mengeluarkan senjata jala yang ketika digerakkan berubah seperti uap, akan tetapi Tek Hoat yang sudah mengenal senjata ini tidak menjadi gen­tar. Bahkan dengan sengaja dia memapaki jala itu dengan pedangnya. Tambolon menjadi girang, jalanya berhasil menang­kap dan membelit pedang. Dia menyang­ka bahwa seperti biasa, tentu pemuda itu akan berusaha menarik kembali pedangnya. Akan tetapi Tek Hoat memang se­ngaja membiarkan pedangnya terampas dan secepat kilat, dia melepaskan gagang pedang dan menggunakan kedua tangannya untuk menyerang dengan pukulan tangan terbuka yang mengandung tenaga Inti Bumi, yang kiri ke arah pusar se­dangkan yang kanan ke arah pelipis.

Tambolon terkejut, berusaha menang­kis dan memang berhasil menangkis pu­kulan ke pusarnya, akan tetapi tangan kanan Tek Hoat sudah menyambar peli­pisnya.

"Desss....!" Tambolon terpelanting dan roboh dengan mata mendelik, tubuhnya kaku dan dia tewas seketika!

Jayin dan para pembantunya bersorak. Panglima ini cepat menyambar pedang, memenggal kepala Tambolon yang dipa­sangnya di atas tombak dan diangkat tinggi-tinggi ke atas agar kelihatan oleh semua orang dan untuk melenyapkan se­mangat tentara musuh.

"Tek Hoat, kaubantulah kami!" Puteri Milana berseru.

Hoat memandang dengan terheran-heran melihat betapa Puteti Mi­lana yang dia tahu amat lihai itu dan Ceng Ceng belum juga mampu meroboh­kan Si Petani Maut dan Si Siucai Maut. Dia memekik keras dan dengan tangan kosong dia menerjang Si Petani Maut Liauw Kui yang memang sudah jerih sekali karena dia bukan tidak tahu be­tapa Puteri Milana mempermainkannya, menyambut terjangan Tek Hoat dengan pikulannya. Namun, dengan mudah Tek Hoat menangkap batang pikulan itu, de­ngan pengerahan tenaga dia memaksa batang pikulan itu membalik dan roboh­lah Si Petani Maut, batang pikulan me­masuki perutnya menembus ke punggung.

Tek Hoat yang sudah beringas seperti harimau yang haus darah itu lalu menu­bruk ke arah Siucai Maut sambil berseru, "Ceng Ceng minggirlah!"

Yu Ci Pok menyambut dengan totok­an dua senjata siang-koan-pit, akan te­tapi Tek Hoat yang sudah melindungi tubuhnya dengan kekuatan tenaga sakti Inti Bumi dan menghentikan jalan darah di bagian yang tertotok, menerima dua totokan itu dan membarengi dengan ge­rakan jari tangannya dipergunakan seperti sebatang pedang menusuk ke depan.

"Craattt!" Jari-jari tangan kanannya memasuki dada Yu Ci Pok seperti seba­tang pedang dan robohlah pengawal ke dua dari Tambolon ini, berkelojotan dan tewas.

Puteri Milana dan Ceng Ceng berte­puk tangan memuji, kemudian mereka bertiga terus mengamuk sehingga pihak musuh makin kacau dan akhirnya larilah sisa pasukan dari suku-suku bangsa liar itu, apalagi setelah mereka semua men­dengar bahwa Raja Tambolon telah tewas. Berakhirlah perang itu dengan kemenang­an gemilang di pihak Bhutan. Panglima Jayin mengarak Tek Hoat sebagai seorang pahlawan gagah perkasa karena dia sen­diri telah menyaksikan betapa pemuda yang gagah perkasa ini telah berhasil membunuh Tambolon yang demikian lihai­nya, berarti bahwa pemuda ini memang telah membuat jasa besar sekali dan patut diperlakukan sebagai seorang pahla­wan yang dengan setia telah membela Kerajaan Bhutan.

Gak Bun Beng yang telah bertemu dengan Pendekar Super Sakti, cepat ber­lutut di medan perang itu, memberi hormat dengan hati terharu karena dia tadinya sudah tidak mengira akan dapat bertemu dengan pendekar sakti yang di­anggap sebagai gurunya ini.

Sejenak Pendekar Super Sakti juga menunduk dan memandang, kemudian mengangguk-angguk dan bertanya, "Bun Beng, aku sudah mendengar bahwa Ke­rajaan Bhutan dibantu oleh engkau dan Milana. Di mana sekarang dia?"

"Sumoi Milana sedang memimpin pa­sukan untuk membasmi barisan pembe­rontak, Suhu. Bagaimana keadaan Suhu dan Subo di Pulau Es? Mudah-mudahan dalam keadaan sehat."

"Kami baik-baik saja, Bun Beng. Aku meninggalkan Pulau Es untuk pergi me­nyusul dan mencari kedua orang sutemu. Kian Lee telah kujumpai dan sudah ku­suruh pujang, akan tetapi Kian Bu masih kucari-cari. Apakah engkau melihat dia?"

Bun Beng menggeleng kepala. "Teecu pernah bersama dengan Sute Kian Bu ketika membantu pemerintah menghadapi para pemberontak yang dipimpin oleh dua orang Pangeran Liong, akan tetapi sete­lah itu, Sute Kian Bu pergi meninggalkan kota raja, kemudian terdengar beritanya ketika dia menolong Puteri Syanti Dewi dari penghadangan Tambolon dan Durga­nini, lalu dia pergi lagi tanpa ada yang mengetahui ke mana, Suhu."

"Hemmm, mari kita mencari Milana, mungkin dia tahu tentang adiknya itu."

Bun Beng hanya mengangguk, tidak berani menceritakan betapa sejak dari kota raja, kekasihnya itu melakukan per­jalanan bersama dia dan tentu saja pengetahuan Milana tentang Kian Bu tidak ada bedanya dengan apa yang telah dia ketahui. Bahkan dia masih merasa sung­kan dan khawatir kalau-kalau pendekar sakti ini tidak akan senang hatinya men­dengar akan keputusan mereka berdua untuk hidup bersama setelah Milana menjadi janda. Tentu saja orang tua sakti ini tidak tahu bahwa puterinya itu sebetulnya telah menjadi janda yang masih pe­rawan!

Ketika mereka tiba di tempat per­tempuran di mana Milana yang dibantu oleh Ceng Ceng dan Tek Hoat mengamuk, pertempuran telah selesai dan musuh te­lah terbasmi, yang melarikan diri dikejar oleh pasukan-pasukan Bhutan.

"Ayah....!" Milana lari menyambut Pendekar Super Sakti dan di lain saat dia telah memeluk orang tua itu, air mata puteri yang perkasa ini membasahi baju di dada ayahnya.

Pendekar Super Sakti mengelus ram­but puterinya penuh kasih sayang. "Mila­na...., mana suamimu?"

Mendengar pertanyaan yang seolah-olah merupakan sebatang pedang yang langsung menikam ulu hatinya, Milana mengguguk tangisnya. Akhirnya dapat juga dia menjawab lirih, "....dia.... dia telah tewas...."

Pendekar Super Sakti Suma Han ada­lah seorang manusia yang sudah dapat mengatasi segala perasaan, maka dia biasa saja mendengar berita hebat ini, hanya bertanya, "Bagaimana terjadinya hal itu?"

"Ayah, marilah kita memasuki kota raja dan bicara di sana dengan jelas."

Pada saat itu, Raja Bhutan sendiri keluar menyambut dan dengan penuh ke­hormatan semua tamu agung yang sudah berjasa membantu Bhutan, terutama Tek Hoat, diarak masuk ke kota raja. Pende­kar Siluman tidak menolak karena dia ingin mendengar cerita Milana tentang Kian Bu dan tentang Han Wi Kong, man­tunya yang dikabarkan tewas itu.

Semua orang di kota raja menyambut para tamu agung, terutama sekali me­reka menyanjung-nyanjung Puteri Milana dan Tek Hoat. Bahkan Tek Hoat sekali­gus telah dikenal oleh mereka sebagai calon mantu raja!

Istana telah cepat sekali mempersiap­kan penyambutan yang dipimpin sendiri oleh Puteri Syanti Dewi sehingga ketika rombongan pemenang ini memasuki kota raja dan tiba di depan istana, tempat ini telah dihias dengan meriah dan penari-penari serta musik menyambut mereka.

Pertemuan yang amat menggembira­kan, semua orang tersenyum dan ter­tawa, semua wajah berseri-seri dan semua mata bersinar-sinar. Akan tetapi, suasana menjadi sangat mengharukan ke­tika tanpa disangka-sangkanya Puteri Syanti Dewi melihat Ceng Ceng di an­tara rombongan itu. Puteri ini terbelalak seperti mimpi saja dia melihat adik ang­katnya, kemudian kedua orang cantik itu menjerit dan saling menubruk.

"Candra....!"

"Enci Syanti....!"

Mereka berangkulan dan menangis, saling berciuman karena semenjak ber­pisah di tengah malapetaka ketika perahu mereka terguling, baru satu kali ini me­reka dapat saling bertemu kembali dan pertemuan ini terjadi di Bhutan! Sungguh merupakan hal yang aneh dan tidak ter­sangka-sangka oleh Syanti Dewi. Betapa hebat pengalaman mereka semenjak sa­ling berpisah. Dan betapa cepatnya wak­tu berlalu karena begitu saling bertemu dan berpelukan, mereka merasa seolah-olah baru kemarin saja mereka saling berpisah.

Saling bergandeng tangan karena tidak sempat bicara di depan banyak orang, Syanti Dewi dan Ceng Ceng bersama se­mua rombongan itu memasuki istana di mana Raja Bhutan mengadakan penyam­butan dengan pesta untuk merayakan ke­menangan yang gemilang itu.

Rakyat dan para perajurit semua juga berpesta pora merayakan kemenangan itu. Suasana Kerajaan Bhutan gembira bukan main, sungguhpun harus diakui bahwa banyak pula yang menangis dan dilanda kedukaan hebat karena kematian suami, anak atau ayah yang menjadi perajurit Bhutan dan gugur dalam perang itu. Akan tetapi suara tangis mereka tenggelam dan hanyut oleh arus kegem­biraan dari kota raja yang merayakan kemenangan.

Demikianlah adanya perang dan akibat-akibatnya! Di mana pun di bagian dunia ini, dan di jaman apa pun! Para korban perang yang membantu terlaksananya kemenangan, terlupa oleh yang merayakan kemenangan, oleh yang mengecap keun­tungan dalam kemenangan perang. Kalaupun para korban itu diingat oleh mereka, hal ini hanya sekilas saja, sekedar hibur­an bagi keluarga si korban, atau lebih tepat, sebagai penonjolan dari yang me­rayakan kemenangan bahwa mereka itu tidak melupakan para korban, sungguhpun yang dikatakan tidak lupa itu hanya un­tuk satu kali setahun, dan itu pun hanya beberapa menit saja, lalu tidak diperduli­kan lagi sama sekali sampai saatnya di­peringati! Perang merupakan bukti betapa busuknya si aku mementingkan diri pri­badi, secara keji mempergunakan manusia-manusia lain, kalau perlu mengorbankan laksaan nyawa manusia lain, demi untuk mencapai cita-cita yang tak lain tak bukan hanyalah merupakan pengejaran sesuatu yang menguntungkan diri pribadi lahir maupun batin. Perang merupakan bukti pula betapa bodohnya manusia, dipermainkan oleh slogan-slogan kosong, seperti sekelompok ikan memperebutkan umpan tidak tahu bahwa di dalam umpan tersembunyi maut!

Di dalam kesempatan berpesta-pora ini, Pendekar Super Sakti mendengar semua penuturan Milana tentang Suma Kian Lee dan Suma Kian Bu. Tanpa menyembunyikan sesuatu, Milana menuturkan tentang kepatahan hati dua orang pemuda Pulau Es itu.

"Aku kasihan sekali kepada mereka, Ayah. Kian Lee jatuh cinta kepada Ceng Ceng, dan ternyata kemudian bahwa Ceng Ceng adalah keponakan sendiri karena gadis itu adalah putera Wan Keng In dan Lu Kim Bwee."

Pendekar Super Sakti Suma Han memandang ke arah Ceng Ceng yang duduk menyendiri dengan wajah muram. Dia teringat akan pertemu­annya dengan gadis itu, mula-mula di ru­mah makan ketika dia dan isterinya Lulu tiba di tempat itu dalam usaha mereka mencari putera mereka. Kiranya gadis yang kemudian melakukan perjalanan bersama­nya itu adalah puteri Wan Keng In! Dengan demikian, Lulu telah menolong cucunya sendiri di dalam rumah makan itu! Lalu dia teringat akan Topeng Setan dan Pen­dekar Super Sakti menghela napas pan­jang. Ternyata buah perbuatan Wan Keng In masih terasa sampai sekarang!

"Tidak perlu dikasihani, Milana. Kalau dia melihat kenyataan bahwa gadis itu adalah keponakan sendiri, mengapa dia harus patah hati? Dan bagaimana dengan Kian Bu?"

"Bu-te lebih parah lagi, Ayah. Dia jatuh hati kepada Syanti Dewi, akan te­tapi agaknya Puteri Bhutan itu tidak membalas cintanya karena puteri itu agaknya jatuh hati kepada Tek Hoat." Puteri Milana mengerling dan Suma Han juga melihat betapa mesra puteri itu di dalam pesta melayani Tek Hoat yang du­duk di samping Raja Bhutan dan per­maisuri!

"Hemm, cinta yang menuntut balasan, kalau tidak dibalas lalu patah hati bu­kanlah cinta namanya...." Suma Han ber­kata lirih seperti kepada diri sendiri. "Kepatahan hati itu adalah salahnya sen­diri, timbul dari iba diri. Di mana kira­nya dia sekarang?"

"Aku tidak tahu, Ayah."

"Biarlah, aku akan mencarinya. Dan engkau sendiri, Milana. Bagaimana eng­kau bisa berada di sini tanpa suamimu? Dan apa artinya ucapanmu bahwa suami­mu telah tewas?"

Puteri Milana menekan perasaannya agar jangan sampai dia menangis di da­lam pesta itu. Kemudian, dengan hati-­hati dan lirih berceritalah dia ten­tang keadaannya dengan Han Wi Kong, betapa mereka itu menikah tanpa cinta kasih di pihaknya, hanya untuk memenuhi kehendak Kaisar, dan betapa Han Wi Kong telah bersikap jantan dan tidak memaksa dia memenuhi kewajiban sebagai isteri. Kemudian tentang perbuatan Han Wi Kong yang membunuh Pangeran Liong Bin Ong sebagai tindakan "bunuh diri" untuk memberi kesempatan kepadanya berkumpul kembali dengan orang yang dicintanya, yaitu Gak Bun Beng, dan tentang surat-surat Han Wi Kong yang sengaja ditinggalkan untuk dia dan Bun Beng.

Mendengarkan semua ini, Suma Han memejamkan kedua matanya dengan alis berkerut. Milana sudah siap untuk men­dengar teguran dan kemarahan ayahnya, akan tetapi setelah Suma Han membuka kembali matanya, pendekar bijaksana itu berkata perlahan, "Nasib manusia berada di dalam tangannya sendiri, tergantung dari sepak-terjangnya sendiri dalam ke­hidupan. Semua pengalamanmu itu hanya menjadi bukti bahwa apa pun yang kita lakukan di dalam kehidupan ini, Milana, haruslah kita lakukan dengan cinta kasih di dalam hati. Tanpa cinta kasih, maka semua perbuatan itu hanya akan menimbulkan pertentangan dan kedukaan belaka, se­perti perbuatanmu menikah dengan Han Wi Kong, dan perbuatanmu bersama Bun Beng yang saling berpisah mematahkan ikatan perasaan antara kalian. Jadi se­karang, engkau dan Bun Beng...."

Milana menundukkan mukanya yang menjadi merah sekali. "Kami telah ber­sepakat untuk menghadap ke Pulau Es mohon restu dan ijin dari Ayah dan Ibu, dan karena saya telah menjadi buronan di kota raja, maka kami berdua akan pergi mengasingkan diri, entah ke mana, saya hanya akan menurut dan ikut de­ngan Gak-suheng...."

Suma Han mengangguk-angguk. "Me­mang sebaiknya kalau kalian lebih dulu menghadap ibumu. Nah, biarlah sekarang juga aku pergi, Milana. Aku akan mencari Suma Kian Bu." Sebelum Puteri Milana menjawab, tampak tubuh ayahnya ber­kelebat dan lenyaplah pendekar itu dari tempat itu, seolah-olah menghilang be­gitu saja di tengah-tengah orang banyak yang sedang berpesta. Milana maklum akan sifat ayahnya yang aneh, maka dia cepat menghadap Raja Bhutan dan min­takan maaf bahwa ayahnya telah pergi tanpa pamit karena ayahnya mempunyai urusan pribadi yang penting. Semua orang terkejut dan kagum, akan tetapi hanya mengangguk-angguk dan merasa serem melihat ada orang dapat lenyap begitu saja di tengah-tengah mereka, seperti siluman! Tak lama kemudian, nampak Puteri Milana dan Gak Bun Beng duduk berdua menghadapi meja dan bercakap-­cakap dengan mesra, berbisik-bisik karena puteri itu menceritakan kepada kekasih­nya tentang reaksi ayahnya ketika men­dengar pengakuannya tentang mereka. Legalah hati Bun Beng karena tadipun, dari meja lain, dia melihat berkelebatnya gurunya itu lenyap, membuat dia khawatir sekali dan menduga bahwa pendekar itu pergi dengan marah. Kiranya tidak demi­kian, maka tentu saja hatinya merasa lega.

Semua orang di dalam pesta itu ber­gembira-ria, tenggelam dalam kebahagia­an masing-masing sehingga tentu saja melupakan orang lain. Tek Hoat yang di­hujani sanjungan dan kini dilayani dengan mesra dan dengan terbuka oleh Syanti Dewi, di depan Raja dan Permaisuri Bhutan yang memandang sambil terse­nyum penuh arti, tentu saja merasa ba­hagia sekali. Demikian pula Syanti Dewi yang melihat betapa pria yang dicinta dan dipilihnya itu kini telah kembali dalam keadaan selamat, sebagai seorang pahlawan pula, tentu saja menjadi sangat gembira sehingga dia pun lupa akan keadaan orang lain.

Semua orang bergembira-ria, kecuali Ceng Ceng. Sebaliknya, dara ini menjadi sedih sekali karena kebahagiaan orang-­orang itu mengingatkan dia akan nasib dirinya. Teringat akan Topeng Setan, satu-satunya manusia yang dicinta, dan teringat akan Kok Cu, satu-satunya ma­nusia yang dibencinya, ternyata kedua orang itu adalah sama, dan kini mati! Padahal, dua orang itulah yang membuat dia tadinya masih ada gairah untuk hidup di dunia yang penuh duka ini. Topeng Setan menghiburnya dan kebaikan hati Topeng Setan membuat dia jatuh cinta kepada orang yang selalu menyembunyi­kan wajahnya di balik topeng yang amat buruk itu. Dia jatuh cinta bukan karena wajahnya, melainkan karena kebaikan yang dilimpahkan kepadanya oleh pende­kar sakti itu sehingga kehadiran Topeng Setan di dalam jalan hidupnya itu menimbulkan gairah hidup yang baru. Ada­pun Kok Cu yang dimusuhinya dan di­bencinya karena pemuda itu telah mem­perkosanya, merupakan pula suatu dorong­an sehingga dia tidak ingin mati dulu se­belum dan dapat membalas dendamnya. Dengan cara yang amat berlainan, bah­kan dengan berlawanan, dua nama itu telah membuat dia bersemangat untuk hidup. Akan tetapi, seperti halilintar da­tangnya, terbukalah kenyataan bahwa yang amat dicintanya adalah orang yang amat dibencinya, sebaliknya pula yang amat dibencinya itu ternyata adalah orang yang dicintanya, dan kini keduanya, yang sesungguhnya satu orang juga, telah mati! Apalagi yang menahannya untuk hidup di dunia penuh duka kecewa ini? Lebih baik mati saja dan rasanya mati akan jauh lebih menyenangkan daripada hidup!

Betapa banyaknya manusia di dunia ini hidup dalam duka dan kesengsaraan batin sehingga dunia ini dianggapnya sebagai tempat yang amat buruk, sebagai neraka yang amat menyiksa. Seperti juga Ceng Ceng, kita manusia selalu dirun­dung duka yang seribu satu macam se­babnya sehingga kita selalu haus akan kebahagiaan, selalu haus akan kesenangan dan selalu merasa bahwa di dunia ini, hanya kita sendirilah yang paling sengsara sedangkan orang-orang lain semua jauh lebih bahagia daripada kita.

Benarkah demikian? Sesungguhnya tidaklah demikian kenyataannya. Selama kita memperhatikan keadaan orang lain, membanding-bandingkan dengan keadaan kita, akan timbul rasa kecewa dan iri, memupuk rasa iba diri. Dan kita lupa, seperti juga Ceng Ceng, bahwa justeru kekecewaan dan kedukaan itu datang ka­rena keinginan kita mencari yang lebih baik dan lebih menyenangkan itulah! Kita selalu menolak apa yang ada, selalu menolak kenyataan yang terjadi, membuta­kan mata terhadap kenyataan yang tidak menyenangkan dan mengejar-ngejar ba­yangan yang dianggap akan menyenangkan. Padahal, kenyataan seperti apa ada­nya tidak mengandung suka maupun duka. Kenyataan apa adanya adalah kebenaran! Adapun senang atau susah bukanlah bagi­an dari kenyataan itu, melainkan meru­pakan permainan dan pikiran kita sendiri, yang selalu menonjolkan dirinya pribadi, yang selalu akan senang kalau diuntung­kan lahir maupun batin, dan selalu susah, kalau dirugikan lahir maupun batin. Pikir­anlah biang keladi susah dan senang. Pikiranlah sumber segala duka dan seng­sara! Dan ini merupakan suatu kenyataan, nampak dengan jelas sekali asal kita mau membuka mata dan memandang kenyata­an tanpa dipengaruhi oleh segala macam pendapat, prasangka dan kesimpulan yang juga merupakan permainan dari pikiran pula.

Ceng Ceng tenggelam ke dalam la­munan yang menyedihkan. Namun dia hendak merahasiakan semua ini, demi kebahagiaan Syanti Dewi. Dia tidak ingin mengganggu kebahagiaan kakak angkatnya itu, maka ketika Syanti Dewi teringat kepadanya dan mendatanginya, lalu me­narik tangannya diajak duduk bersama satu meja dengan keluarga raja, juga bersama Puteri Milana dan Gak Bun Beng yang sudah diminta pula oleh Syanti Dewi, Ceng Ceng tidak menolak dan ber­usaha menyelimuti kedukaan hatinya dengan senyum manis.

Ketika Raja mengumumkan pertunanq­an Tek Hoat yang masih mengaku she Ang itu dengan Puteri Syanti Dewi, se­mua orang menyambut dengan tepuk tangan dan sorak-sorai, juga Ceng Ceng segera menghampiri kakak angkatnya, dipeluknya dan diciuminya Syanti Dewi sambil mengucapkan selamat. Kedua orang wanita cantik ini mengusap air mata keharuan dan Ceng Ceng lalu menghampiri Tek Hoat sambil menjura dan berkata, "Kionghi (selamat), semoga eng­kau akan menjadi suami kakak angkatku yang baik."

Tek Hoat tersenyum, menyatakan te­rima kasihnya dan berkata, "Ceng Ceng, kita adalah saudara seayah, maka kita semua ternyata bukanlah orang-orang lain, bukan? Harap kaumaafkan segala kesalahanku yang lalu terhadapmu."

Ceng Ceng tidak menjawab, hanya di dalam hatinya dia masih mengkhawatir­kan apakah kakak angkatnya akan bahagia kelak menjadi isteri Tek Hoat yang di­kenalnya sebagai seorang yang licik dan curang, dan jahat. Betapapun juga, dia tidak mengatakan apa-apa karena dia se­gera teringat akan laki-laki yang tak pernah dapat dilupakannya, biarpun telah mati itu. Topeng Setan atau Kok Cu itu, seperti juga Tek Hoat, baik atau jahat­kah? Kalau dia teringat akan Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya di dalam guha, maka jelas bahwa pemuda itu amat jahat, bahkan merupakan orang yang telah menghancurkan hidupnya, menghancurkan harapannya. Sebaliknya, kalau dia teringat akan Topeng Setan, jelaslah bahwa orang itu amat baik, ter­lalu baik malah, telah melimpahkan budi kebaikan kepadanya, telah mengorbankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir mengorbankan nyawa untuknya. Jadi baik­kah orang itu? Atau jahatkah?

Ceng Ceng termenung. Baik atau jahat ternyata tergantung daripada penilai­an kita sendiri, dan penilaian kita pun didasarkan atas kepentingan diri pribadi. Buktinya, kalau dia mengingat Kok Cu yang telah merugikan dia, maka otomatis dia menganggapnya jahat sekali. Dan kalau dia mengingat Topeng Setan yang telah menguntungkan dia, maka otomatis dia menganggapnya baik sekali. Padahal keduanya itu adalah orang yang sama! Tentu demikian pula dengan Tek Hoat. Siapa pun orangnya yang merasa dirugi­kan oleh Tek Hoat, tentu akan mengang­gapnya jahat, sebaliknya Syanti Dewi yang tentu telah menerima budi kebaikan dari Tek Hoat seperti dia menerimanya dari Topeng Setan, tentu saja mengang­gap Tek Hoat sebaik-baiknya manusia!

Ceng Ceng menghela napas panjang. Kenyataan yang membuka matanya lahir batin ini membuat dia menjadi muak akan kepalsuan manusia, akan kepalsuan dirinya sendiri. Setiap orang selalu meng­inginkan yang menguntungkan dan menye­nangkan bagi dirinya sendiri saja, dan menolak yang merugikan atau tidak menyenangkan, maka timbullah suka dan tidak suka, timbullah cinta dan benci, timbullah puas, dan kecewa dan kesemua­nya itu tentu saja mendatangkan per­tentangan dan kesengsaraan.

Syanti Dewi yang sedang tenggelam dalam kegembiraan itu kini mulai mem­perhatikan Ceng Ceng. Biarpun adik ang­katnya itu kelihatan tersenyum-senyum dan ikut pula berpesta, namun wajahnya pucat dan matanya muram, jelas kelihat­an oleh Syanti Dewi betapa kegembiraan Ceng Ceng hanyalah pura-pura belaka untuk menyembunyikan kedukaan yang amat besar.

Perang hebat terjadi di dalam batin Ceng Ceng. Di satu pihak dia menderita pukulan batin yang membuatnya amat berduka teringat kepada Topeng Setan, ditambah menyaksikan kemesraan antara Tek Hoat dan Syanti Dewi, dan pada lahirnya dia memaksa diri untuk ikut bergembira. Arak yang manis diminumnya terasa pahit, semua hidangan yang lezat terasa seperti racun di lidahnya. Dia berusaha menahan-nahan diri, akan tetapi makin diingat makin hebatlah tekanan yang menghimpit batinnya. Akhirnya dia mengeluh dan roboh terguling dari tem­pat duduknya.

"Adik Candra....!" Syanti Dewi menje­rit.

"Ceng Ceng, kau kenapa....?" Tek Hoat juga berseru dan cepat pemuda ini melompat dan memondong tubuh Ceng Ceng yang pingsan, dibawanya masuk bersama Syanti Dewi dan diikuti pula oleh Puteri Milana dan Gak Bun Beng.

Puteri Milana dan Gak Bun Beng cepat memeriksa keadaan Ceng Ceng, dan keduanya saling pandang, lalu Puteri Milana berkata kepada Syanti Dewi, "Bi­arkan dia beristirahat. Dia mengalami tekanan batin...." lalu dia bersama Bun Beng keluar dari dalam kamar itu, diikuti pula oleh Tek Hoat yang membiarkan Syanti Dewi sendiri menemani Ceng Ceng yang masih rebah pingsan.

Sri Baginda sendiri juga berkenan me­nengok, dan Sri Baginda lalu bertanya kepada calon mantunya apa yang terjadi dengan diri Ceng Ceng, adik angkat puterinya itu. Dengan halus Tek Hoat me­laporkan bahwa Ceng Ceng kelelahan dan perlu beristirahat. Sedangkan Milana sendiri berkata lirih kepada Bun Beng, "Heran sekali apa yang menyebabkan dia begltu tertekan batinnya?"

"Dan aku pun heran ke mana perginya Topeng Setan yang dulu selalu menemani­nya? Sayang Suhu tidak bercerita apa-apa sehingga kita tidak tahu bagaimana Ceng Ceng sampai berpisah dari Topeng Setan dan tahu-tahu datang bersama Suhu."

Mereka menduga-duga, akan tetapi tidak dapat mengerti apa sebabnya dara itu sampai menderita pukulan batin de­mikian hebatnya, yang dapat mereka ketahui dari pemeriksaan mereka tadi. Untuk menghormati perayaan kemenangan itu, Milana, Bun Beng, dan Tek Hoat sendiri melanjutkan kehadiran mereka dalam perayaan sungguhpun hati mereka tidak dapat melupakan keadaan Ceng Ceng. Hanya Syanti Dewi saja yang tidak muncul lagi karena puteri ini menjaga sendiri adik angkatnya dengan hati geli­sah.

Malam itu pesta dilanjutkan dengan meriah. Beberapa kali secara bergantian, Tek Hoat, Milana, dan Bun Beng mene­ngok keadaan Ceng Ceng yang masih saja rebah seperti tidur pulas dalam ke­adaan tidak sadar. Bun Beng menyalurkan tenaga sin-kang yang kuat dan halus untuk membantu gadis dan memperkuat jantungnya, kemudian dia pun keluar sambil memesan kepada Syanti Dewi bahwa apabila Ceng Ceng sadar, biarkan gadis itu menangis sepuasnya karena ke­adaan Ceng Ceng itu hanya akan terbebas dari bencana kalau gadis itu dapat menangis atau menyalurkan beban yang menekan batinnya dengan menceritakan kepada orang lain yang dipercayanya. Syanti Dewi mengangguk dengan air ma­ta berlinang.

Dalam keadaan tidur atau setengah pingsan itu Ceng Ceng mengigau, tubuh­nya mulai panas. Syanti Dewi memperha­tikan dengan gelisah dan menjadi bingung melihat sikap Ceng Ceng dalam igauan­nya. Kadang-kadang gadis itu memaki-­maki nama "Kok Cu", dan kadang-kadang dia memanggil-manggil "Topeng Setan" dengan mesranya. Menjelang tengah ma­lam, Ceng Ceng membuka mata dan tiba-tiba meloncat bangun sambil men­jerit, "Kau telah mati....!" Akan tetapi karena tubuhnya lemah dan kepalanya pening, hampir saja dia terguling kalau tidak cepat-cepat dirangkul oleh Syanti Dewi.

"Candra.... adikku.... ingatlah, aku si­apa....?" Syanti Dewi yang merangkul itu berbisik dengan suara parau dan air mata­nya mengalir di kedua pipinya.

Sejenak sepasang mata Ceng Ceng yang muram itu menatap wajah Syanti Dewi seperti yang tidak mengenalnya, tatapan pandang mata yang kosong se­olah-olah di balik sinar mata muram itu tidak ada semangatnya lagi. Syanti Dewi merasa seperti ditusuk jantungnya meli­hat tatapan pandang mata ini.

"Candra Dewi.... adikku.... kau.... kau kenapa....?" Dia merangkul lagi, menciumi pipi yang pucat seperti mayat itu.

Akhirnya Ceng Ceng sadar. "Enci Syanti....!" Dia merintih dan menangislah Ceng Ceng dalam pelukan Syanti Dewi, menangis sesenggukan akhirnya menggu­guk dan air matanya mengalir seperti air bah membobol bendungannya. Syanti De­wi juga menangis, akan tetapi menangis dengan hati lega karena dia teringat akan pesan Bun Beng bahwa tangis akan membebaskan Ceng Ceng dari ancaman bahaya. Maka dia merangkul dan mem­biarkan Ceng Ceng menangis sepuasnya. Setelah agak reda tangis adik angkatnya itu, dia lalu mengambil saputangannya dan menyusuti air mata Ceng Ceng dari pipinya, menyusuti muka yang pucat itu.

"Adikku.... adikku yang baik, kenapa kau begini berduka? Ceritakanlah kepada encimu ini dan aku bersumpah demi langit dan bumi, aku akan membantumu dengan seluruh kekuasaanku untuk melenyapkan ganjalan hatimu, Candra."

"Ohh, Enci Syanti...." Ceng Ceng kembali menyembunyikan mukanya di pundak puteri itu. Bagaimana dia akan dapat menceritakan persoalannya itu ke­pada orang lain?

"Ceritakanlah, Adikku...."

Ceng Ceng tak dapat menjawab, ha­nya menggelengkan kepala tanpa meng­hentikan tangisnya.

"Aihh, Candra. Kaukira aku ini siapa? Aku adalah kakakmu, tahukah kau? Lupa­kah engkau betapa kita bersama-sama meninggalkan Bhutan dan mengalami se­gala macam peristiwa hebat? Dan seka­rang setelah kita bersama dapat pulang dan berkumpul lagi di sini, engkau men­jadi begini. Lebih hebat lagi, agaknya engkau sudah tidak percaya lagi kepada kakakmu ini...."

"Enci Syanti....! Jangan kau berkata begitu.... jangan...." Ceng Ceng terisak, suaranya seperti orang merintih.

"Kalau begitu, kauceritakanlah semua kedukaanmu itu kepadaku. Kita ini selain saudara angkat, juga senasib sependerita­an, kalau engkau bahagia, aku pun ikut gembira, kalau engkau sengsara, aku pun ikut berduka. Bagaimana mungkin aku akan dapat menikmati kebahagiaanku se­karang ini kalau melihat engkau sengsara, Adikku?"

Ceng Ceng memejamkan matanya. Memang tidak salah ucapan kakak angkat­nya ini. Dahulu dia mempunyai kakeknya akan tetapi kini sudah tidak ada. Ke­mudian di dunia ini ada Topeng Setan yang dianggapnya satu-satunya orang yang paling baik dan dekat dengannya. Topeng Setan pun sudah tidak ada. Dan Syanti Dewi yang tadinya sudah terpisah dari dia dan disangkanya sudah tewas atau tertawan musuh, kini sudah kembali dan berkumpul dengan dia. Memang satu-satunya orang yang paling dekat dengan dia hanya Puteri Bhutan inilah.

Dia menarik napas panjang dan me­lepaskan rangkulannya. "Baiklah, Enci Syanti. Mari kita duduk dan dengariah ceritaku."

Dua orang wanita muda yang cantik jelita itu duduk di atas pembaringan, sa­ling berhadapan dan mulailah Ceng Ceng bercerita. Dia ingin menyingkat ceritanya yang amat panjang itu, hanya mengemu­kakan hal-hal yang membuat dia merana dan sengsara seperti yang diderita seka­rang ini.

"Ketika kita saling terpisah karena perahu terguling...." Ceng Ceng berhenti karena teringat betapa peristiwa itu ter­jadi gara-gara Tek Hoat yang kini men­jadi calon suami puteri itu!

Syanti Dewi agaknya dapat meraba perasaan hati adik angkatnya, maka dia tersenyum dan berbisik, "Lanjutkanlah...."

"Aku berjumpa dengan seorang pemuda yang tertawan musuh-musuhnya dan ber­ada dalam sebuah kerangkeng. Karena kasihan kepadanya, aku melarikan dia dengan kerangkengnya, membawanya ke sebuah guha dan di situ aku membuka kerangkeng dan membebaskannya...." Ceng Ceng berhenti lagi. Seperti tampak di depan matanya semua peristiwa itu, betapa pemuda itu dengan berkeras min­ta agar supaya dia tidak membebaskan­nya! Agaknya pemuda itu tahu bahwa dia keracunan dan akan terjadi hal yang hebat kalau sampai dia dibebaskan dari dalam kerangkeng!

"Lalu bagaimana, Adikku?" Syanti Dewi mulai tertarik oleh cerita yang di­persingkat ini.

"Setelah aku membebaskan dia.... lalu dia itu.... dia lihai sekali, dia merobohkan aku dengan totokan...."

"Ahhh....!"

"Kemudian.... kemudian.... dia memper­kosaku....!" Ceng Ceng menutupi mukanya dengan kedua tangannya seolah-olah tidak ingin melihat peristiwa yang kembali membayang di depan matanya.

"Ehhh....!" Syanti Dewi terbelalak, otomatis pandang matanya menjelahi tubuh adiknya kemudian dia bangkit ber­diri di depan pembaringan, kedua tangan­nya dikepal dan sepasang matanya ber­nyala-nyala. "Dia.... dia memperkosamu? Adikku, katakan siapa jahanam itu! Aku akan menyuruh Tek Hoat mencarinya sampai dapat dan aku tidak akan mau menikah dengan dia sebelum dia dapat menyeret jahanam itu di depan kakimu! Aku juga akan mohon bantuan Paman Gak Bun Beng! Hayo katakan, siapa ja­hanam itu!"

Ceng Ceng menurunkan kedua tangan­nya, memandang puteri yang marah-ma­rah itu dengan muka pucat, kemudian dia memegang kedua tangan puteri itu de­ngan perasaan berterima kasih sekali. "Enci Syanti, ceritaku belum habis...."

Syanti Dewi duduk kembali di atas pembaringan. "Apakah bukan peristiwa terkutuk itu yang membuatmu berduka? Kalau karena sakit hati itu, biar aku akan mengerahkan segala kemampuanku untuk membantumu membekuk jahanam itu!"

Ceng Ceng menggeleng kepalanya de­ngan lemas, pandang matanya muram dan sayu, lalu dia berkata, "Aku akan me­lanjutkan, dengarlah, Enci Syanti. Seperti dapat kaumaklumi, aku menaruh dendam kepada orang itu dan selama ini tiada hentinya aku mencari-cari dia untuk membalas sakit hatiku. Dalam perantauan­ku ini, aku bertemu dengan seorang lain, yaitu Topeng Setan."

"Hemm, aku sudah mendengar tentang dia, yang kabarnya selalu membantumu dan merupakan seorang manusia ajaib dan lihai sekali yang bersembunyi di balik topengnya."

"Benar. Dia adalah seorang manusia yang amat baik kepadaku, Enci, telah berulang kali menyelamatkan nyawaku, bahkan dia.... dia.... telah berkorban de­ngan lengan kirinya menjadi buntung ke­tika menolongku. Aku berhutang nyawa kepadanya, berhutang budi dan sudah sepatutnya kalau dia kuanggap sebagai manusia yang paling mulia di dunia ini...."

"Tentu saja! Aku pun tadinya meng­alami hal seperti engkau itu dan aku sampai kini selalu menganggap Paman Gak Bun Beng sebagai seorang manusia yang paling mulia di dunia ini, tentu saja sesudah orang tuaku dan.... Tek Hoat."

Ceng Ceng mengangguk-angguk. "Dan kemudian.... belum lama ini...., aku men­dapat kenyataan yang menghancurkan seluruh perasaanku, yang membuat aku hampir gila, sebuah kenyataan yang amat hebat, Enci Syanti...." dan Ceng Ceng tak dapat menahan air matanya lagi.

Syanti Dewi memegang kedua tangan adik angkatnya. "Kenyataan apakah, Can­dra? Cepat kau beritahukan kepadaku."

"Kenyataan bahwa Topeng Setan, orang yang paling kumuliakan dan karenanya paling kucinta.... ketika topengnya ter­buka.... ternyata dia.... dia.... adalah.... pemuda yang memperkosa aku dahulu...."

"Aihhhh....!" Syanti Dewi setengah menjerit dan kembali dia meloncat ber­diri, mukanya menjadi pucat dan pandang matanya penuh rasa iba, lalu mulutnya komat-kamit seperti berdoa akan tetapi terdengar bisiknya. "....jadi kau.... mem­benci dan sekaligus mencinta orang yang sama....? Dan dia itu.... musuhmu dan se­kaligus sahabatmu, pemerkosamu dan se­kaligus penolongmu....? Aihhh, bagaimana ini....?"

Seperti dalam mimpi, suaranya lirih dan datar, terdengar Ceng Ceng berkata membela, "Akan tetapi.... ketika dia mem­perkosaku.... dia dalam keadaan tidak sadar karena keracunan.... dan dia sudah berusaha mencegah aku membuka kerang­kengnya...."

Mendengar ini, Syanti Dewi mengang­guk-angguk, kemudian merangkul adik angkatnya itu dan berkata dengan suara serius, "Dengar baik-baik, Candra. Sekarang jawablah aku. Engkau sekarang ini, setelah semua itu terjadi, setelah semua itu lewat dan lupakan semua itu, seka­rang jawablah, apakah engkau sekarang ini membencinya ataukah mencintanya?"

Ceng Ceng tertunduk lesu dan sampai lama tidak menjawab.

Syanti Dewi mencium kedua pipinya. "Sadarlah, Adikku. Tak perlu membiarkan diri tenggelam ke dalam peristiwa yang lalu. Katakanlah kepadaku. Bencikah kau kepadanya? Ataukah engkau cinta kepadanya?"

Ceng Ceng menggeleng kepada. "Entah­lah, Enci Syanti. Aku tidak tahu. Dia demikian baik kepadaku, mungkin tanpa dia aku sudah mati, tak mungkin lagi bertemu denganmu. Dia mengorbankan segalanya untukku, bahkan lengannya putus sebelah karena aku.... akan tetapi.... dia.... dia yang memperkosaku."

Syanti Dewi memandang Ceng Ceng sambil tersenyum. Sampai lama dia me­natap wajah yang menunduk itu, kemudian dia memegang kedua pundak adik ang­katnya, lalu memegang dagu yang me­runcing itu dan tersenyum lebarlah Puteri Bhutan itu. "Adikku yang manis, kau cantik sekali! Tahukah kau apa yang tampak olehku? Jelas terbayang di wajah­mu, Adikku, dan aku tidak akan salah lihat bahwa engkau cinta kepadanya."

"Ehhh....?" Ceng Ceng terkejut sekali dan memandang tajam kepada kakak angkatnya itu, akan tetapi dia menunduk­kan mukanya lagi dan wajahnya makin muram.

"Candra.... adikku yang cantik, meng­apa kau khawatir? Engkau terlalu me­mandang rendah kepada kakakmu ini. Apa kaukira aku akan diam saja setelah melihat kenyataan bahwa engkau men­cinta pria itu? Jangan kau khawatir, biar kusuruh sekarang juga Tek Hoat, agar dia mencari dia sampai ketemu."

Ceng Ceng menghela napas panjang, terdengar dia mengeluh. "Aihh, Enci Syanti, sia-sia saja segala perhatianmu kepadaku, karena dia...., dia sudah mati...." Dan air mata mengalir turun lagi dari kedua mata Ceng Ceng.

"Heiiii....?" Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak dan wajahnya pucat. Kemudian dia menubruk, merangkul Ceng Ceng dan kini puteri itulah yang menangis tersedu-sedu. Dan anehnya, melihat kakak angkatnya me­nangis begitu sedih, Ceng Ceng merasa terhibur hatinya, atau setidaknya dia melupakan kesedihannya sendiri, bahkan kini dia yang berusaha menghibur Syanti Dewi!

"Sudahlah, Enci Syanti, sudahlah...., ditangisi pun sia-sia....!"

Memang aneh sekali, akan tetapi telah menjadi kenyataan bahwa kedukaan seseorang akan berkurang, menjadi ringan, atau setidaknya terhibur melihat keduka­an orang lain! Kenyataan ini pahit sekali, membayangkan dengan jelas bahwa kedu­kaan timbul dari rasa iba kepada diri sendiri, maka rasa iba itu menjadi ber­kurang kalau melihat orang lain juga menderita, apalagi kalau penderitaan orang lain itu lebih besar daripada pen­deritaannya sendiri. Rasa iba diri ini adalah penonjolan daripada si aku yang selalu ingin menguasai batin manusia maka terjadilah kesengsaraan dan kedu­kaan yang memenuhi kehidupan kita. Perlu sekali untuk disadari benar-benar bahwa kesengsaraan dan kedukaan ber­sumber kepada pikiran kita sendiri, yang membentuk si aku, karena pikiran kita sendirilah yang menimbulkan pertentang­an-pertentangan di dalam batin dengan selalu menginginkan hal-hal lain daripada kenyataannya yang ada, selalu mengingin­kan yang dianggapnya menyenangkan sehingga apa yang ada, yaitu kenyataan setiap saat yang dihadapinya, selalu tidak diamatinya benar-benar dan dianggapnya tidak menyenangkan. Semua ini adalah permainan pikiran kita sendiri setiap saat dan demikianlah pikiran kita menguasai kehidupan kita setiap hari! Mata kita baru akan terbuka, keindahan setiap saat yang terkandung dalam setiap peristiwa baru akan tampak apabila pikiran atau si aku tidak mencampurinya! Cinta kasih yang murni dan suci, terhadap apapun juga, baru ada apabila pikiran atau si aku tidak memegang kendali!

"Adik Candra...., betapa hebat pende­ritaanmu. Sungguh aku berdosa besar kepadamu, Adikku, aku bergembira, ber­bahagia, bersenang-senang tanpa memikirkan bahwa engkau sesungguhnya se­dang menderita kedukaan hebat...."

"Sudahlah, Enci Syanti. Engkau tidak bersalah apa-apa. Engkau tidak menge­tahuinya dan tidak perlu pula Enci ber­duka karena keadaanku. Lanjutkanlah kegembiraanmu, Enci, engkau berhak un­tuk hidup berbahagia. Setidaknya, meng­ingat bahwa engkau akan berjodoh de­ngan seorang yang masih seayah dengan­ku, membuat aku bersukur. Aku sendiri.... ah, hidup tidak ada artinya lagi, aku.... aku bermaksud.... akan pergi lagi dari sini besok...."

"Ehhh.... ke mana....?"

"Entahlah. Mungkin kembali ke bekas tempat tinggal Kakek, atau.... entah ke mana aku sendiri belum bisa memasti­kan...."

"Jangan, Candra....! Setidaknya, kau tinggallah di sini sampai hari pernikahan­ku."

Ceng Ceng menggeleng kepalanya dan menghapus sisa air matanya. "Tidak, Enci. Kehadiranku yang penuh kepahitan hanya akan mengganggu kebahagiaanmu saja. Aku sudah mengambil keputusan untuk pergi besok, pagi-pagi dari sini. Kau tidak boleh dan tidak bisa menahan­ku, Enci Syanti...."

"Candra....!" Syanti Dewi merangkul dan kembali kedua orang kakak beradik yang dipermainkan nasib sehingga keada­an mereka kini seperti bumi dan langlt itu saling bertangis-tangisan.

Malam itu juga Syanti Dewi pergi menemui Tek Hoat yang dimintanya agar sebagai saudara seayah, suka membujuk Ceng Ceng. Tek Hoat terkejut sekali ketika mendengar semua penuturan ke­kasihnya itu tentang Ceng Ceng dan Topeng Setan. Tak pernah disangka se­ujung rambut pun bahwa Topeng Setan adalah musuh besar yang selalu dicari-cari Ceng Ceng itu, dan baru sekarang dia tahu bahwa adiknya seayah itu, adik tirinya, telah menjadi korban perkosaan Topeng Setan sendiri yang kini kabarnya telah tewas! Tergopoh-gopoh dia menemui Ceng Ceng di kamar gadis itu.

"Kau tidak boleh pergi....!" begitu me­masuki kamar itu Tek Hoat berseru.

Ceng Ceng yang tadi duduk terme­nung itu, kini meloncat bangun. Mu­kanya yang tadinya pucat menjadi agak merah karena perasaan marah menyelinap dalam hatinya. Dia berdiri menentang wajah pemuda itu dan menjawab dengan ketus, "Ada hak apa engkau melarang aku pergi?"

"Ada hak apa? Hemm, lupakah kau bahwa aku ini kakakmu, bahwa kita ini seayah? Kau tidak boleh pergi dalam ke­adaan begini!"

"Dalam keadaan bagaimana?"

"Kau mengalami kedukaan, kau bisa jatuh sakit di jalan. Dan sudah menjadi kewajibanku sebagai saudara untuk men­jaga dan melindungimu, aku akan berusaha untuk menggembirakan hatimu, menghiburmu...."

"Dengan sikapmu yang keras dan se­lalu memusuhiku itu? Hemm, Tek Hoat, agaknya engkau mengandalkan kepandai­anmu dan mengandalkan kedudukanmu sekarang, maka kau hendak memaksaku. Kaukira aku mau tunduk begitu saja? Kau boleh bunuh aku sekarang juga, aku tetap hendak pergi besok pagi. Ingin kulihat kau bisa berbuat apa!" Ceng Ceng menantang, berdiri dengan kedua tangan dikepal.

"Kau.... kau keras kepala!" Tek Hoat menegur, kedua tangannya juga dikepal. Mereka berhadapan seperti dua orang musuh bebuyutan (musuh besar turun-temurun) yang hendak mengadu nyawa. Akhirnya setelah beberapa lama mereka saling pandang dengan sinar mata berapi, Tek Hoat menurunkan kembali tangannya dan menarik napas panjang. Kemudian dia berkata lirih setelah menghela napas lagi.

"Ceng Ceng, engkau tidak tahu.... biarlah selagi masih ada kesempatan aku akan mengaku semuanya kepadamu. Se­menjak kita saling berjumpa dahulu, ke­tika aku menolongmu dari air sungai, timbul rasa suka yang aneh dan menda­lam di dalam hatiku terhadap dirimu. Coba kauingat-ingat, kalau tidak begitu, mana mungkin aku membiarkan engkau menguasai aku hanya dengan sumpah dan saputangan, bahkan aku rela pula meng­hambakan diri menjadi pembantumu ketika kau diangkat menjadi bengcu! Andaikata di dunia ini tidak ada Syanti Dewi yang lebih dulu telah menjatuhkan hatiku, yang telah kucinta sejak pertemuan per­tama, agaknya.... aku tidak akan ragu lagi bahwa aku tentu akan jatuh cinta kepadamu. Sejak dahulu ada getaran perasaan yang mengikat hatiku kepadamu, tidak tahu bahwa sesungguhnya engkau masih sedarah dengan aku. Engkau adikku.... di dunia ini hanya ada seorang adik bagiku...."

"Hemm, kakak macam apa engkau ini yang selalu bersikap keras kepadaku." Akan tetapi suara teguran Ceng Ceng itu mengandung getaran keharuan karena memang dia terharu sekali mendengar pengakuan Tek Hoat itu. Teringat dia betapa dahulupun hampir saja dia jatuh cinta kepada pemuda ini dan di sudut hatinya memang selalu ada rasa suka terhadap Tek Hoat seperti yang diakui pula oleh pemuda itu. Ternyata pertalian darah itulah yang menimbulkan getaran itu.

"Memang, kita sama-sama keras ke­pala, Adikku. Agaknya inilah yang di­wariskan oleh mendiang ayah kita yang kabarnya amat jahat itu. Kita berdua adalah keturunan orang yang jahat.... akan tetapi hanya aku yang mewarisi ke­jahatannya, sedangkan engkau adalah seorang gadis yang gagah perkasa dan ber­budi mulia. Akan tetapi kenapa justeru engkau yang menderita kesengsaraan se­dangkan aku berenang dalam kebahagiaan? Tidak! Engkau tidak boleh menderita kalau aku berbahagia. Adikku, Ceng Ceng.... aku minta, aku mohon kepadamu, jangan kau pergi, Adikku...." Terdorong oleh rasa harunya, Tek Hoat pemuda yang berhati baja itu kini menjatuhkan diri berlutut di depan kaki Ceng Ceng!

"Tek Hoat...." Ceng Ceng juga berlutut dan seperti digerakkan oleh tenaga gaib, kedua orang saudara tiri seayah ini saling rangkul dan untuk beberapa lama­nya Ceng Ceng menangis di atas dada saudaranya.

Akan tetapi kekerasan hatinya timbul pula dan dia lalu bangkit berdiri, menyu­sut air matanya. "Tek Hoat, aku pun tidak pernah dapat membencimu. Terima kasih atas kebaikanmu kepadaku. Akan tetapi engkau tentu tahu, dalam keadaan seperti sekarang ini, aku membutuhkan ketenangan dan keheningan, aku harus pergi menyendiri, entah ke mana. Per­cayalah, kalau aku tidak mati, dan kalau luka di hati ini sudah tidak parah lagi, engkaulah satu-satunya orang yang akan kucari sebagai keluargaku."Tek Hoat menghela napas panjang dan juga bangkit berdiri. Dia telah mengenal bagaimana sifat Ceng Ceng yang amat keras. Seperti baja yang tak dapat dite­kuk lagi. "Kalau begitu, aku hanya dapat ikut prihatin

dan akan selalu mendoakan, Adikku."

Demikianlah, pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ceng Ceng berangkat pergi sebelum ada yang bangun dari ti­durnya. Tentu saja dengan mudah dara ini keluar dari istana, juga dengan mudah keluar dari pintu gerbang sebelah timur karena para perajurit yang menjaga se­mua mengenal adik angkat Puteri Bhutan ini. Dengan muka pucat dan pandang mata kosong Ceng Ceng keluar dari pin­tu gerbang tanpa menengok lagi, lang­sung saja dia melanjutkan perjalanan de­ngan langkah-langkah perlahan maju ke depan tanpa tujuan karena pikirannya kosong dan semangatnya seperti telah terbang meninggalkan tubuhnya.

Belum jauh dia meninggalkan pintu gerbang timur, tiba-tiba ada suara me­manggilnya, "Sumoi....!"

Ceng Ceng menghentikan langkahnya dan berdiri lesu tanpa menoleh karena dia mengenal suara itu, suara Panglima Jayin, yang juga merupakan suhengnya karena panglima ini pernah berguru ke­pada kakeknya.

Ketika Jayin tiba di depannya, Ceng Ceng berkata lesu, "Suheng, harap kau jangan ikut-ikut menahanku karena sudah bulat tekadku untuk pergi dan tak se­orang pun boleh menahanku."

"Sumoi, aku sama sekali tidak akan menahan dan mencampuri urusan pribadi­mu. Aku menyusulmu karena aku diutus oleh Sang Puteri Syanti Dewi. Beliau mengutus aku mengejarmu dan memang­gilmu kembali karena tadi malam ada seorang tamu yang datang ke istana mencarimu. Akan tetapi karena hari telah malam, terpaksa kusuruh tamu itu bermalam di gedung tamu dan menunggu sampai pagi. Baru pagi tadi aku meng­hadap Sang Puteri untuk menyampaikan permintaan tamu yang hendak menjumpai­mu itu. Akan tetapi pagi-pagi sekali engkau sudah pergi, maka Sang Puteri mengutus aku untuk menyusul dan memanggilmu kembali ke Istana."

"Suheng, aku tidak ingin bertemu dengan siapapun juga. Engkau kembalilah dan katakan kepada Enci Syanti Dewi bahwa aku tidak mau menemui siapa pun."

"Akan tetapi, Sumoi.... engkau tidak tahu siapa tamu itu!" Suara panglima ini tergetar karena dia pun sudah mendengar akan keadaan sumoinya itu dari Puteri Syanti Dewi. "Dia telah datang menyusul bersamaku. Inilah dia orangnya!"

Akan tetapi Ceng Ceng tidak mem­pedulikan kata-kata ini dan dia terus melanjutkan langkahnya. Siapa pun orangnya yang datang mencarinya, dia tidak ingin melihat dan menemuinya. Tanpa menoleh sedikit pun, Ceng Ceng melangkah terus, sama sekali tidak mem­pedulikan.

Baru beberapa langkah dia ber jalan, tiba-tiba terdengar suara, "....bengcu....!"

Ceng Ceng berhenti seperti disambar petir dan dia berdiri tegak, mukanya pucat, kedua kakinya menggigil dan dia tidak percaya akan pendengarannya sen­diri. Dia tidak berani menoleh, karena tentu pendengarannya yang menipunya dan kalau dia menoleh, dia akan kecewa. Tak mungkin! Tapi suara yang didengar­nya tadi amat dikenalnya, terlalu dikenal­nya malah, karena suara itu adalah suara Topeng Setan!

"Bengcu....!" Suara itu memanggil lagi, kini terdengar tergetar.

Untuk kedua kalinya Ceng Ceng ter­sentak kaget. Dia menoleh dan.... "Ouhhhhhh....!" dia menutupi mulut dengan pung­gung tangan kiri, menahan jeritnya. Be­tapa kagetnya ketika dia melihat laki-laki yang berlutut di depannya itu, laki-laki yang melihat pakaian dan lengan kirinya, jelas adalah Topeng Setan, akan tetapi melihat wajahnya yang tidak ter­tutup topeng itu, wajah yang tampan dan gagah sekali sungguhpun pada saat itu kelihatan pucat dan dicekam perasaan khawatir, adalah wajah Kok Cu, pemuda yang telah memperkosanya.

"Kau....? Kau....?" Hati Ceng Ceng menjerit, akan tetapi bibirnya hanya bergerak-gerak dan mulutnya terbuka tanpa ada suara yang keluar, kemudian terdo­rong oleh kedua kakinya yang tiba-tiba menjadi lemas seperti lumpuh dan keke­jutan yang meremas hatinya, Ceng Ceng menjatuhkan diri berlutut dan menubruk orang itu sambil merintih dan menangis.

"Kau.... kau.... masih hidup...., ohhh, kau masih hidup....?" berulang-ulang dia ber­bisik seperti dalam mimpi ketika dia mendekapkan mukanya di atas dada yang bidang itu.

"Suhu menolong dan menyembuhkan aku...." bisik Topeng Setan atau Kok Cu itu.

"....ahhh.... hu-hu-huukk.... aku.... aku girang sekali.... aku.... aku cinta padamu, Pam...." Ceng Ceng tiba-tiba menghenti­kan kata-katanya, tidak melanjutkan se­butan "paman" tadi karena dia segera teringat dan cepat dia mengangkat mu­kanya. Begitu melihat wajah tampan itu, dia berseru, "Ohhhh....!" dan merenggut­kan tubuhnya menjauh.

Sementara itu, begitu Ceng Ceng tadi merangkul "tamu" itu, Panglima Jayin sudah melangkah pergi dan memberi isyarat kepada para penjaga untuk pergi menjauh, memasuki pintu gerbang dan membiarkan kedua orang itu bicara de­ngan leluasa. Senyum penuh rasa syukur membayang di wajah panglima gagah itu.

"Aku bukan Topeng Setan lagi...." Pe­muda itu berkata. "Aku adalah Kao Kok Cu, aku adalah si pemuda laknat dan aku datang untuk menerima hukuman, Ceng Ceng. Semenjak peristiwa terkutuk yang terjadi di guha, aku selalu dikejar oleh dosa dan penyesalan. Apalagi ketika aku mendengar bahwa engkau adalah penye­lamat nyawa Ayah, aku makin menyesal, maka untuk menebus dosa dan untuk membalas budimu terhadap Ayah, aku lalu menjadi Topeng Setan yang selalu melindungi dan membelamu. Sekarang, rahasiaku telah kauketahui, maka aku datang untuk menerima hukuman. Kalau kau hendak membunuhku, lakukanlah, aku tidak akan menyesal mati di tanganmu, Ceng Ceng, karena aku akan mati di tangan seorang yang paling kucinta di dunia ini, yang paling kuhormati, kukagumi dan kujunjung tinggi."

Ceng Ceng yang masih meinggigil seluruh tubuhnya itu, mengeluh dan dia kembali menubruk, merangkul karena memang perasaan bahagia melihat "To­peng Setan" masih hidup mengusir semua perasaan lain. "Paman.... Paman.... melihat engkau masih hidup, aku.... ah, betapa bahagia rasa hatiku." Dia berkata dan kembali dia lupa akan wajah tampan itu, merasa bahwa dia berada dalam pelukan Topeng Setan. "Melihat engkau mati, baru aku tahu bahwa aku cinta padamu, Paman, dan aku tidak ingin lagi terpisah darimu...."

"Ceng Ceng, jangan menyebutku Pa­man.... engkau isteriku sayang.... engkau sudah kuanggap isteriku semenjak aku mengenakan topeng.... betapa bahagia hatiku mendapat pengakuan cintamu...."

Ceng Ceng merangkul dan menatap wajah itu, wajah tanpa topeng yang ter­nyata amat tampan gagah. Wajah yang semenjak peristiwa di guha itu tak per­nah dapat dilupakannya! Kok Cu yang melihat wajah jelita basah air mata itu, tergerak hatinya, penuh keharuan, penuh iba dan penuh kemesraan cinta, maka dia menunduk dan di lain saat dia sudah mencium mulut yang setengah terbuka itu, menciumnya dengan seluruh perasaan kasih sayang yang terluap dari lubuk hatinya, melalui bibirnya.

Sejenak Ceng Ceng terlena dan me­mejamkan mata, otomatis perasaan baha­gia dan kasih sayang dari hatinya mem­buat kedua lengannya melingkari leher pemuda itu dan bibirnya pun bergerak menyambut. Akan tetapi tiba-tiba ter­bayang peristiwa di dalam guha. Mulut­nya yang melekat pada mulut Kok Cu meronta, matanya terbelalak dan dia merenggutkan dirinya. Kok Cu meman­dangnya dengan mata terbelalak penuh kekhawatiran.

"Plak! Plakk!" Dua kali kedua tangan Ceng Ceng bergerak dan nampaklah garis-garis merah di kedua pipi Kok Cu yang pucat.

Pemuda itu tersenyum. "Terima kasih dan pukulan-pukulanmu baik sekali, me­rupakan obat yang akan menyembuhkan penyesalanku. Kaupukullah lagi, Ceng Ceng. Sudah kukatakan bahwa aku siap menebusnya dengan kematian sekalipun...."

"Ouhhh.... tidak.... tidak....!" Ceng Ceng kembali merangkul, kini dia memandangi wajah yang tampan itu dan jari-jari ke­dua tangannya mengelus dan membelai bekas tamparannya di kedua pipi pemuda itu. "Tidak.... kau.... kau adalah orang satu-satunya di dunia ini yang kucinta.... kau adalah Topeng Setan yang telah melimpahkan budi kepadaku...."

"Akan tetapi aku juga pemuda laknat yang telah memperkosamu, Ceng Ceng."

"Tidak.... tidak....! Ketika itu, engkau dalam pengaruh racun.... peristiwa itu adalah kesalahanku sendiri, engkau sudah berusaha mencegah aku membebasanmu dari kerangkeng.... dan engkau sudah berusaha sekuat tenaga mencegah, akan te­tapi racun itu lebih kuat.... tidak, engkau tidak bersalah...."

Wajah yang tampan gagah itu berseri. Tiba-tiba Kok Cu berdiri dan dengan satu tangannya yang luar biasa kuatnya itu, sekali angkat dia sudah mengangkat Ceng Ceng sehingga gadis ini berdiri pula. Wajah yang tampan itu menjadi ke­merahan, matanya bersinar-sinar penuh kebahagiaan.

"Kalau begitu.... kau mengampuni aku....?"

"Tidak ada ampun karena kau tidak bersalah."

"Aku berdosa dan aku mengharapkan ampunmu, Ceng Ceng."

"Kalau begitu, aku mengampunimu, Pam.... eh, Koko (Kakanda)...."

"Dan kau tidak membenci lagi kepada Kok Cu?"

Sambil merangkul leher pemuda itu, dan matanya masih mengalirkan air mata, Ceng Ceng tersenyum dan menggeleng kepala. "Sebaliknya malah, aku mencinta orang yang bernama Kok Cu."

"Moi-moi....!"

"Koko....!"

Kembali mereka berdekapan dan se­kali ini ketika Kok Cu mencium Ceng Ceng, dara itu menyambut dan membalas­nya dengan penuh kemesraan. Dekapan dan ciuman itu seolah-olah menjadi tempat pencurahan seluruh perasaan mereka, rasa cinta, rasa rindu, dan semua kebahagiaan yang terasa di hati masing-masing sehingga mereka seolah-olah tidak ingin saling melepaskan lagi.

"Ceng Ceng, Moi-moi.... betapa bahagia hatiku.... ketahuilah, aku datang bersama Ayah, selain menyusulmu, juga Ayah mem­bawa tugas dari Kaisar untuk menyampai­kan selamat kepada Kerajaan Bhutan, juga untuk menyatakan keampunan Kai­sar terhadap Puteri Milana. Selain itu.... juga Ayah akan meminangmu secara resmi.... marilah, sayang, mari kita kem­bali ke istana Bhutan...."

Tiba-tiba Ceng Ceng melepaskan diri­nya dari rangkulan lengan kanan keka­sihnya, dan sambil tersenyum di antara air matanya, dengan kedua pipi merah, dia menggeleng. "Tidak.... aku tidak mau kembali...." Dan dia pun membalikkan tubuhnya dan lari.

"Eh, Ceng Ceng....!" Kok Cu mengejar dan kalau saja dia mau tentu dengan mudah dia dapat menyusul larinya gadis itu. Akan tetapi melihat kekasihnya itu lari sambil tersenyum, dia sengaja me­ngejar dari belakang dan berteriak, "Ke­napa kau tidak mau?"

"Aku malu....!" Ceng Ceng berlari terus, memasuki sebuah hutan kecil.

Akhirnya, Ceng Ceng memperlambat larinya dan membiarkan dirinya disusul, ditangkap dan dipeluk di bawah sebatang pohon besar. Dia menyerah dan menyam­but ketika pemuda itu kembali menciumi­nya sampai keduanya gelagapan kehabisan napas. Akhirnya mereka duduk di bawah pohon, di atas rumput tebal dan hijau.

"Ceng-moi, kenapa kau malu?"

"Aku tidak ingin kembali ke sana, tidak ingin.... sementara ini menemui orang-orang lain, aku khawatir kebahagia­anku akan terganggu. Aku ingin berdua saja denganmu, Koko, kalau bisa, berdua saja di dunia ini, tidak akan saling ter­pisah lagi.... Koko, ah, Koko.... aku masih belum percaya.... apakah aku tidak se­dang mimpi....?"

"Ceng-moi, kau kekasihku, kau puja­an hatiku, kau isteriku.... apakah ini mim­pi?" Dia mencium dan menggigit leher Ceng Ceng sampai dara itu terpekik halus. "Aku sendiri pun hampir tidak percaya bahwa engkau dapat mengampuni aku, apalagi mencintaku! Aku selalu me­rasa ngeri untuk menghadapi pertemuan ini.... tidak ada kengerian yang lebih hebat daripada melihat engkau membenci aku.... bayangkan saja betapa sengsara hatiku sebagai Topeng Setan ketika eng­kau menyatakan betapa hebatnya keben­cianmu kepada Kok Cu...."

Sambil menyandarkan kepalanya di atas dada yang bidang itu, dan memain­kan jari-jari tangan kanan Kok Cu yang dia tarik ke atas dadanya, Ceng Ceng berkata, suaranya manja. "Siapa sih yang membenci Kok Cu? Aku membencinya karena dia.... menghilang saja setelah peristiwa itu....! Aku benci karena dia tidak muncul lagi, padahal dia kuharap-harapkan.... padahal hatiku sudah jatuh cinta begitu aku melihat dia di dalam kerangkeng itu....!"

"Tapi kau.... kau mencinta Topeng Se­tan!" Kok Cu menggoda.

Ceng Ceng menarik lengan baju kiri yang kosong itu dan mencium lengan baju itu. "Mengapa tidak? Topeng Setan telah mengobankan lengannya, bahkan beberapa kali hampir berkorban nyawa untukku. Aku mencinta Topeng Setan karena budinya, tanpa mempedulikan bagaimana macamnya wajah di balik topeng, tanpa mempedulikan usianya, akan tetapi aku mencinta Kok Cu karena pribadinya, karena tatapan sinar mata­nya, karena.... karena memang aku cinta dan sebabnya aku tidak tahu!"

"Hemm...., kalau begitu engkau men­cinta dua orang! Hayo, katakan, siapa yang lebih kaucinta, Kok Cu atau Topeng Setan?" pemuda itu menuntut, pura-pura cemberut.

Ceng Ceng membalikkan tubuhnya, tertawa geli. "Kau cemburu? Hi-hik, lucunya! Kau cemburu kepada siapa?"

Dengan muka dibuat seperti marah Kok Cu berkata, "Tentu saja kepada Topeng Setan! Hayo katakan, kau lebih mencinta Kok Cu atau Topeng Setan?"

"Ya ampun.... tentu saja aku lebih mencinta Kok Cu!"

Tiba-tiba Kok Cu mengeluarkan sebuah topeng dan sekali bergerak, topeng itu telah dipakai di mukanya dan berubahlah ia menjadi Topeng Setan, suaranya pun agak berubah karena terhalang topeng. "Bagus, Ceng Ceng....! Jadi cintamu ke­padaku palsu, ya? Jadi kau lebih cinta kepada pemuda laknat itu daripada kepadaku?"

Sambil menahan gelinya, Ceng Ceng berkata, "Siapa bilang, Paman? Aku cinta padamu, Paman Topeng Setan!"

Kok Cu membuang topengnya dan sambil memegang dagu yang runcing itu, dijepit antara telunjuk dan ibu jarinya, mengangkat muka Ceng Ceng menenga­dah, dia menghardik, "Perempuan tamak! Sebetulnya kau lebih mencinta yang ma­na?"

"Aku cinta keduanya, dan cintaku itu kini menjadi satu, tiada bandingannya lagi, dan.... ehmmm...." Ceng Ceng tak dapat melanjutkan kata-katanya karena mulutnya telah ditutup oleh sepasang bibir yang seolah-olah tidak akan ada puasnya itu. Dia memejamkan matanya, menyambut dengan hati terbuka dan pe­nuh penyerahan.

Angin semilir di atas mereka, mem­buat daun-daun pohon berkeresekan saling sentuh seperti saling berbisik membicara­kan pertemuan asyik-masyuk penuh kemesraan di bawah pohon besar itu. Bagi Ceng Ceng dan Kok Cu, waktu dan se­gala sesuatu lenyap, bahkan diri pribadi juga lenyap, yang ada hanyalah kebahagiaan dan keindahan. Hidup adalah bahagia, hidup adalah indah. Hanya sayang sekali, hanya sewaktu-waktu saja, hanya selewat saja, dalam keadaan seperti yang dialami oleh Ceng Ceng dan Kok Cu, kita me­ngenal kebahagiaan dan keindahan itu. Selebihnya, waktu dalam hidup kita pe­nuh dengan pertentangan, penuh dengan kebencian, iri hati, angkara murka yang kesemuanya itu hanya pasti mendatang­kan kesengsaraan belaka.

Adakah yang lebih indah daripada cinta? Sayang, betapa cinta oleh kita telah dipecah-belah, ditafsirkan menurut kecondongan hati yang menyenangkan sehingga timbul bermacam pendapat dan kesimpulan. Cinta bukanlah sex semata, bukanlah kewajiban semata, bukanlah pengorbanan semata, bukanlah pemberian atau permintaan semata. Kesemuanya itu terdapat dalam cinta dan cinta mencakup segala karena cinta hanya terisi keindahan. Cinta tidak mengenal perbedaan suku, tidak mengenal perbedaan ras, tidak mengenal perbedaan bangsa, tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal kaya atau miskin, pintar atau bodoh, tidak mengenal tingkat tinggi atau rendah. Cinta tidak mengenal kebencian, tidak mengenal permusuhan, tidak mementingkan diri pribadi. Cinta adalah kebahagiaan. Tanpa cinta matahari akan kehilangan sinarnya, bunga kehilangan keharumannya, dan manusia kehilangan kemanusiaannya. Oleh karena itu, segala macam gerak perbuatan tanpa dasar cinta kasih yang kita adalah palsu belaka. Adapun yang kita lakukan di dunia ini barulah benar dan suci apabila didasari oleh cinta kasih di dalam hati sanubari kita.

Demikianlah, cerita Kisah Sepasang Rajawali ini berhenti sampai di sini, akan tetapi tentu saja bukan berarti telah berakhir, karena sesungguhnya tidak ada keakhiran dalam kehidupan manusia. Harapan pengarang, di samping fungsinya sebagai penghibur hati yang kesepian, semoga cerita ini mengandung hal-hal yang ada manfaatnya bagi para pembaca. Sebagai penutup, pengarang mengajak siapa saja yang berminat untuk bertanya-tanya dan menyelidiki diri sendiri, yaitu : Adakah cinta kasih itu di dalam lubuk hati kita? Kalau tidak ada, mari kita selidiki sebabnya agar sebab itu dapat lenyap sehingga sinar cinta kasih akan dapat menembus dan menerangi lahir batin kita. Sampai jumpa di dalam karangan berikutnya.

TAMAT  

Serial Bu Kek Siansu (Manusia Setengah Dewa) - Asmaraman S. Kho Ping HooTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang